seorang kakek yang awalnya di hina, namun mendapat kesaktian
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri muda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Mendekati sore hari, kakek Surya keluar dari kosnya, yang sebuah gudang itu. Sebenarnya dia tahu bahwa pemilik kos sengaja memberikan kamar seperti itu, sehingga dia merasa sedikit dendam pada pemilik kos.
Kakek Surya keluar untuk mencari makan karena perutnya sudah keroncongan. Namun, dia harus sangat berhemat mengingat uangnya tinggal sedikit. Hari ini dia berniat membeli mi saja di warung yang ditunjukkan oleh pemilik kos tadi.
"Neng, Bapak mau beli mi," ucap kakek Surya.
"Maaf, Pak, di sini kami jual nasi. Kami tak jual mi. Kalau Bapak mau cari mi, mungkin di warung sebelah itu," jawab pedagang itu ramah sambil menunjukkan sebuah warung yang tak jauh dari sana.
Saat kakek Surya melihat ke warung itu, dia juga melihat sebuah rombong di samping warung tersebut yang sepertinya menjual bakso.
"Terima kasih, Neng," jawab kakek Surya lalu melangkah pelan ke arah warung itu. Namun, dia bukannya berhenti di warung itu, melainkan terus melangkah hingga ke penjual bakso.
"Mau cari apa, Pak? Bakso ya?" tanya penjual bakso dengan ramah.
"Iya, Mas. Berapa harga baksonya di sini?" tanya kakek Surya, takut nanti harganya terlalu mahal.
"Bisa murah, Pak, tapi porsinya sedikit. Kalau mau lebih banyak, ya harganya lebih mahal," jelas penjual bakso itu.
"Biasanya yang paling murah berapa?" tanya kakek Surya lagi, khawatir nanti malah terlalu murah atau terlalu mahal.
Lalu, pedagang bakso itu menyebutkan sesuai kebiasaan orang-orang membeli bakso.
"Emang Bapak mau beli berapa?" tanya penjual bakso itu.
"Kalau gitu, saya beli setengah saja, Mang," jawab kakek Surya sambil menyebutkan harga sesuai setengah harga.
"Silakan duduk dulu, Pak, biar saya buatkan," sahut pedagang itu.
Penjual bakso itu pun membuatkan bakso untuk kakek Surya, sementara kakek Surya duduk di kursi plastik yang sudah disediakan.
"Saya baru lihat Bapak hari ini, di mana tinggalnya, Pak?" tanya penjual bakso itu.
"Saya tinggal di kos-kosan itu," jawab kakek Surya sambil menunjuk ke arah tempatnya ngekos. Penjual bakso itu mengangguk, lalu keduanya terlibat obrolan yang terasa nyambung. Pria penjual bakso tersebut sangat ramah pada kakek Surya, membuat suasana semakin akrab.
Setelah kakek Surya selesai membeli bakso, dia pun kembali ke tempat kosnya. Saat memasuki halaman, dia mendapati seorang perempuan sedang duduk di teras kos-kosan itu, yang tak jauh dari kamar kosnya, hanya dipisahkan satu kamar saja.
"Kakek, ngapain ke sini? Jangan ngemis di sini!" teriak perempuan itu sambil terlihat sedang memotong kukunya.
Dari raut wajahnya, terlihat bahwa perempuan itu memandang rendah dan menghina kakek Surya. Perempuan yang cukup cantik dengan tubuh montok itu terus melotot ke arah kakek Surya.
"Saya tidak ngemis, saya tinggal di sini," jawab kakek Surya.
"Apa? Kamu tinggal di sini? Jangan ngawur!" sahut perempuan itu sambil menatap kakek Surya dengan tatapan tajam. Lalu, perempuan itu terlihat menutup hidungnya seperti merasa jijik melihat kakek Surya.
"Ya, saya tinggal di sana," jawab kakek Surya sambil terus melangkah ke kamar kosnya.
"Oh, di gudang, toh," sahut perempuan itu.
Perempuan yang hanya memakai daster itu memperlihatkan kehalusan kulit putihnya. Lalu, kakek Surya duduk di teras sambil sesekali melirik ke arah perempuan muda itu.
"Ngapain sih ngeliatin terus? Belum pernah lihat cewek cantik, ya?" bentak perempuan itu. Perempuan yang baru berusia 24 tahun itu terus memandang kakek Surya dengan tatapan seolah jijik saat tahu dirinya dilirik-lirik.
"Maaf, saya cuma mau tanya, kenapa kamu bilang tadi ini gudang?" jawab kakek Surya lalu mengalihkan pandangannya ke lain tempat.
"Ya, itu memang gudang!" jawab perempuan itu.
"Oh…" sahut kakek Surya sambil menoleh sebentar.
"Matanya itu dijaga! Jangan ngeliatin terus begitu, bikin risih aja!" ucap perempuan muda itu ketus. Perempuan muda itu bernama Ratna.
Tak lama kemudian, datanglah seorang lelaki dengan mengendarai sepeda motor.
"Mas!" teriak Ratna sambil tersenyum.
"Sayang, lagi ngapain?" tanya laki-laki itu yang merupakan suami Ratna setelah turun dari motor dan melangkah mendekat ke arah istrinya.
"Aku lagi duduk-duduk aja, untuk menunggu Mas pulang," jawab Ratna sambil terus tersenyum.
"Siapa dia?" tanya suami Ratna sambil menunjuk ke arah kakek Surya.
Kakek Surya yang mendengar ucapan itu lalu menoleh dan menatap sebentar ke arah suami Ratna.
"Tak tahu, Mas. Katanya dia penghuni kos di sini, tapi tinggalnya malah di gudang. Mungkin dia cuma numpang aja, penampilannya aja seperti pengemis gitu," jawab Ratna memandang hina kakek Surya.
"Apa dia tadi mengganggumu?" tanya suami Ratna.
"Mana mungkin orang seperti dia berani mengganggu aku. Sekali dorong pasti langsung jatuh. Tadi jalannya saja sudah sempoyongan gitu," jawab Ratna tersenyum sinis.
"Sudah, Mas. Ayo kita masuk aja," pinta Ratna lalu bangun dari duduknya sambil perlahan sedikit memeluk suaminya.
"Kita nggak bisa tinggal dekat dengan orang seperti dia. Ini bahaya. Siapa tahu dia pencuri. Masa dia bisa ngekos di tempat ini dengan penampilan seperti itu? Aku mau menghampirinya dulu untuk memberikan peringatan agar jangan main-main di tempat ini," jawab suami Ratna.
"Dia tinggalnya di gudang, Mas, bukan ngekos di sini. Mungkin dia cuma numpang," jawab Ratna.
"Makin mencurigakan. Kenapa ibu kos membiarkan dia numpang di sini?" tanya suami Ratna lagi.
Ratna hanya menggeleng sebentar sambil menatap Pak Surya.
"Pak, Bapak tinggal di sini, benar?" tanya Joko, suami Ratna, dengan nada sedikit membentak.
"Iya, Mas. Saya ngekos di sini. Tadi sudah bayar sama ibu kos dan diberikan kamar di sini. Mas ngekos di sini juga, ya?" tanya kakek Surya ramah.
"Ya. Bapak dari mana?" tanya Joko dengan nada ketus.
"Saya baru saja datang dari Desa Palasari, Mas. Oh, perkenalkan, nama saya Surya," jawab kakek Surya.
"Aku tidak ingin tahu namamu. Tapi selama kamu tinggal di sini, jangan berbuat macam-macam. Jika ada barangku yang hilang, aku akan mencurigaimu. Sudah tua begini masih saja ngekos, apa tidak punya anak?" tanya Joko dengan nada tinggi.
"Punya, tapi tinggalnya di kota. Dia sedang kerja di kota," jawab kakek Surya.
"Kalau memang tidak punya anak, kenapa dibiarkan berkeliaran seperti ini?" jawab Joko, suaranya naik satu oktaf.
"Iya, saya memang punya anak," jawab kakek Surya.
"Oh, jadi kamu ditelantarkan, ya?" ucap Joko lagi tanpa rasa hormat sedikit pun.
"Tidak, Mas. Saya hanya ingin menyendiri saja. Ngomong-ngomong, itu istrinya ya?" tanya kakek Surya ramah.
"Iya, dia memang istriku. Kenapa? Cantik? Kamu jangan macam-macam," ucap Joko dengan nada sedikit membentak.
"Masnya ganteng dan istrinya cantik. Jadi terlihat sangat serasi," ucap kakek Surya. Dia lupa kalau kata cantik adalah pembuka pengasihannya, lalu dia pun cepat-cepat menutup mulutnya, namun sudah terlanjur keceplosan.
"Kamu berani bilang istriku cantik?" bentak Joko sambil melotot menatap tajam ke arah kakek Surya.
"Sudah, Mas. Dia bicara jujur. Aku memang cantik, kok. Jangan dimarahi," jawab Ratna sebelum kakek Surya sempat menjawab, sambil tersenyum dan makin memeluk suaminya. "Benar kan aku cantik, Pak?" tanya Ratna lagi.
Melihat tingkah laku mereka, kakek Surya pun berniat mencoba ilmu yang diberikan oleh kakek Udin. Apakah manjur atau tidak? Kalau tidak dicoba, mana mungkin dia tahu, apalagi harus berpisah dari anaknya selama 42 hari.
"Ya, Mbak memang cantik. Saya bicara jujur. Permisi, saya mau masuk dulu," jawab kakek Surya lalu bangun dari duduknya. Dia tak mau meladeni Joko lama-lama.
"Kakek-kakek aneh, awas aja dia main-main saat tinggal di sini. Aku akan kasih pelajaran," celoteh Joko.
"Sudah, Mas. Dia memang bicara jujur. Udah, ah. Kita cepat masuk. Jangan berdiri di sini saja," ucap Ratna.
"Iya, ayo…"
Bersambung...