Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Panggilan telepon pertama itu telah membuka gerbang bendungan. Setelahnya, obrolan mereka seakan menemukan muara baru yang lebih dalam dan deras. Panggilan suara menjadi ritual malam yang tak terlewatkan, menggantikan sebagian besar percakapan teks mereka. Mendengar suara satu sama lain sebelum tidur menjadi sebuah candu yang manis, sebuah penawar untuk jarak ratusan kilometer yang memisahkan mereka.
Akbar kini hafal nada suara Erencya saat ia bersemangat menceritakan gosip terbaru dari sekolahnya, juga saat suaranya sedikit merendah ketika ia lelah setelah seharian les. Sebaliknya, Erencya bisa mengenali helaan napas Akbar yang menandakan ia sedang jenuh dengan skripsinya, atau cara bicaranya yang lebih bersemangat ketika mereka membahas topik sejarah yang ia sukai. Mereka menjadi begitu akrab dengan suara, sebuah keintiman yang anehnya terasa begitu lengkap meskipun mereka belum pernah bertatap muka.
Namun, seiring berjalannya waktu, suara saja terasa tidak lagi cukup. Keinginan untuk memasangkan wajah pada ekspresi, untuk melihat senyum yang mereka tahu ada di sana, mulai tumbuh menjadi rasa penasaran yang tak tertahankan.
Malam itu, saat mereka sedang asyik membahas rencana liburan akhir semester, Akbar memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh.
"Ren," ucapnya di tengah percakapan telepon, suaranya terdengar sedikit ragu.
"Iya, Kak?"
"Aku... aku ingin melihatmu," katanya pelan, namun lugas. "Bukan hanya dari foto. Aku ingin melihatmu saat kamu tertawa mendengar ceritaku. Aku ingin melihat ekspresimu saat kamu tidak setuju dengan pendapatku. Boleh kita... coba video call?"
Di Jambi, Erencya yang sedang berbaring nyaman di tempat tidurnya sontak terduduk. Jantungnya terasa seperti jatuh ke perut. Video call. Dua kata itu terdengar begitu sederhana, namun baginya terasa seperti sebuah ujian akhir. Foto-foto di profilnya adalah versi terbaik dari dirinya—diambil dengan sudut yang pas, pencahayaan yang bagus, dan senyum yang sudah dilatih. Tapi video call? Itu adalah versi mentah. Tanpa filter. Langsung.
Ribuan skenario buruk langsung berkelebat di benaknya. Bagaimana kalau pencahayaan di kamarnya jelek? Bagaimana kalau ada jerawat kecil di dagunya yang tidak terlihat di foto? Bagaimana kalau rambutnya terlihat lepek? Bagaimana kalau ia terlihat aneh saat berbicara?
"Ren? Kamu masih di sana?" suara Akbar membuyarkan lamunannya.
"Eh, iya, Kak. Masih," jawabnya cepat. "Itu... aku... aku lagi nggak dandan, Kak. Muka bantal banget," dalihnya, mencari alasan paling klasik yang bisa ia pikirkan.
Di seberang, Akbar terkekeh pelan. Kekehannya yang hangat itu seolah mengirimkan getaran menenangkan. "Aku tidak memintamu untuk dandan, Erencya. Aku hanya ingin melihatmu. Aku ingin berbicara dengan Erencya yang baru bangun tidur, Erencya yang sedang mengerjakan tugas, bukan Erencya yang ada di foto. Itu tidak masalah buatku. Sungguh."
Kata-katanya yang tulus melucuti sebagian besar rasa takut Erencya. Permintaannya bukan didasari oleh keinginan untuk menilai, melainkan oleh keinginan tulus untuk mengenal.
"Kasih aku waktu sepuluh menit," balas Erencya akhirnya, menyerah pada keinginannya sendiri yang sebenarnya sama besarnya.
"Aku tunggu," jawab Akbar lembut.
Panggilan telepon itu berakhir, dan Erencya langsung melompat dari tempat tidurnya, memulai sebuah operasi senyap yang panik. Ia berlari ke depan cermin besar di meja riasnya. Wajahnya memang tidak sekacau yang ia bayangkan, tapi tetap saja, ia merasa perlu melakukan sesuatu. Ia menyisir rambutnya cepat-cepat, mengikatnya asal lalu melepasnya lagi, dan mengulanginya tiga kali hingga ia puas. Ia memoles sedikit bedak tipis dan pelembap bibir, hanya agar tidak terlihat terlalu pucat.
Lalu, bagian tersulit: pencahayaan dan latar belakang. Ia menyalakan lampu belajarnya, mengarahkannya ke wajah, tapi cahayanya terlalu keras. Ia mematikannya dan mencoba lampu tidur. Terlalu redup. Akhirnya, ia memutuskan lampu utama kamarnya adalah pilihan terbaik. Ia merapikan bantal dan selimut di belakangnya, memastikan tidak ada pakaian kotor yang tak sengaja masuk ke dalam bingkai kamera. Sepuluh menit terasa seperti sepuluh detik.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi panggilan video dari Akbar. Dengan napas yang ia tahan di dada, dan jantung yang berdebar seperti genderang perang, ia menekan tombol terima.
Layar terbelah menjadi dua. Di kotak kecil di sudut, ia melihat wajahnya sendiri yang tegang. Dan di layar utama, sebuah gambar yang sedikit buram perlahan menjadi fokus. Di sana, di kamarnya yang sederhana di Padang, duduklah Akbar.
Ia mengenakan kaus oblong berwarna abu-abu. Rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya ada dinding yang dipenuhi oleh rak buku yang padat. Untuk pertama kalinya, Erencya melihatnya bergerak. Bernapas. Tersenyum. Senyumnya ternyata jauh lebih teduh dan hangat daripada di foto siluetnya. Matanya yang tajam namun menenangkan menatap lurus ke arahnya melalui layar.
"Hai," sapa Akbar, suaranya kini terasa begitu nyata karena diiringi oleh visual.
"H-hai, Kak," balas Erencya, merasakan pipinya memanas. Ia yakin wajahnya kini semerah lampion Imlek. Ia tidak berani menatap langsung ke kamera, pandangannya tertuju pada gambarnya sendiri di sudut layar.
"Kenapa lihat ke bawah terus? Lihat sini," kata Akbar lembut. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kamu... cantik sekali."
Pujian tulus itu berhasil. Erencya memberanikan diri mengangkat wajahnya dan menatap gambar Akbar di layar. Ia melihat kesungguhan di mata pria itu. Tidak ada penilaian, hanya kekaguman yang tulus. Perlahan, ketegangannya mulai mencair, digantikan oleh senyum malu-malu.
"Kakak juga... nggak seperti yang aku bayangkan," kata Erencya.
"Oh ya? Memangnya bayanganmu seperti apa?" tanya Akbar, senyumnya melebar.
"Lebih... serius, mungkin? Ternyata kalau senyum kelihatan lebih muda," jawab Erencya jujur, yang membuat Akbar tertawa.
Momen itu memecahkan sisa-sisa kecanggungan di antara mereka. Percakapan pun mengalir. Akbar dengan antusias menunjukkan koleksi buku-bukunya, mengambil satu buku tua tentang sejarah Minangkabau dan menceritakan isinya sekilas. Erencya, kini lebih rileks, menunjukkan boneka beruang besar di sudut tempat tidurnya, hadiah dari papanya saat ia ulang tahun. Mereka saling memberi tur virtual ke dalam ruang paling pribadi mereka, sebuah langkah keintiman yang terasa begitu besar.
Mereka berbicara tentang segala hal, namun kini dengan dimensi yang baru. Erencya bisa melihat mata Akbar berbinar saat ia berbicara tentang mimpinya. Akbar bisa melihat Erencya mengerutkan hidungnya saat ia tidak setuju, sebuah kebiasaan kecil yang menggemaskan yang tidak akan pernah bisa ditangkap oleh teks. Jarak di antara mereka seakan menyusut. Padang dan Jambi kini hanya terpisah oleh ketebalan layar ponsel.
Tiba-tiba, Erencya mendengar suara langkah kaki pelan mendekati kamarnya. Itu pasti Mamanya. Kepanikan sontak menjalari dirinya.
"Kak, Kak, sebentar ya," bisiknya cepat ke arah ponsel, suaranya penuh urgensi. "Mama kayaknya mau ke sini. Aku tutup dulu ya teleponnya. Nanti aku chat lagi!"
"Oh, oke, Ren. Tidak apa-apa—"
Erencya tidak menunggu Akbar menyelesaikan kalimatnya. Ia langsung menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan, melempar ponselnya ke bawah bantal, dan meraih buku Fisika di meja belajarnya, berpura-pura sedang membaca dengan serius. Tepat saat itu, kenop pintunya bergerak.
Pintu terbuka, dan Mamanya menjengukkan kepala. "Belum tidur, sayang? Sudah malam sekali."
"Sebentar lagi, Ma. Ini lagi baca ulang materi buat besok," jawab Erencya, berusaha agar suaranya tidak terdengar terengah-engah.
Mamanya tersenyum. "Ya sudah, jangan terlalu larut. Selamat malam."
"Malam, Ma."
Setelah pintu tertutup kembali, Erencya menghela napas lega yang panjang. Ia meraih kembali ponselnya dari bawah bantal. Layarnya gelap, mengakhiri momen ajaib mereka dengan begitu tiba-tiba. Jantungnya masih berdebar, bukan lagi karena gugup, melainkan karena campuran antara kebahagiaan dan adrenalin karena hampir ketahuan.
Malam itu, saat ia berbaring di tempat tidur, wajah Akbar yang tersenyum di layar seakan terpatri di benaknya. Hubungan mereka tidak lagi abstrak. Kini ada wajah, ada ekspresi, ada ruang pribadi yang telah mereka bagikan. Perasaan yang tumbuh di hatinya terasa semakin nyata dan kuat. Namun, insiden kecil barusan juga menjadi pengingat yang tajam: dunia indah yang sedang mereka bangun ini adalah sebuah gelembung yang rapuh, yang harus dijaga dalam kerahasiaan dari dunia nyata yang ada di luar pintu kamarnya.