Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sapi Tua dan Rumput Muda
Lukman Adiprana mengusap lengannya, merasa geli sekaligus jijik mendengar sepupunya memanggil nama “Shinta” dengan nada selembut itu.
Biasanya, Fajar Pramudya adalah orang yang dingin dan tertutup. Dengan orang lain saja, ia jarang bicara lebih dari beberapa kata.
Terhadap perempuan, Fajar selalu menjaga jarak seolah berada dekat dengan mereka berbahaya. Lukman sempat berpikir sepupunya itu akan hidup membujang sampai tua.
Tapi ternyata, sekarang ada Shinta Bagaskara.
Yang lebih mengejutkan—Shinta masih duduk di kelas tiga SMA. Kalau dipikir-pikir, bukankah ini seperti “sapi tua makan rumput muda”?
Namun tentu saja Lukman tak berani mengucapkan hal itu keras-keras. Ia hanya bisa tersenyum lebar, mengiyakan semua perintah sepupunya.
“Menjaga Shinta? Siap, gampang itu,” pikirnya sambil tertawa kecil. Lagipula, ini bisa jadi peluang bagus.
Komputer dengan spesifikasi terbaik yang sudah lama ia incar—akhirnya diberikan oleh Fajar, hanya dengan janji sederhana: menjaga Shinta di sekolah.
Lukman merasa seperti menemukan harta karun baru. Ia bertekad akan “memeluk erat paha” Shinta, istilah yang biasa dipakai orang untuk menyebut mereka yang mendekati orang yang membawa keberuntungan besar.
Begitu telepon ditutup, jemari panjang dan rapi milik Fajar Pramudya menyapu layar ponsel. Ia membuka daftar kontak, dan di paling atas—nama Shinta Bagaskara terpampang.
Sekolah tempat Shinta belajar memang longgar dalam aturan. Siswa diperbolehkan membawa ponsel.
Namun, meski begitu, Fajar tidak langsung menghubunginya. Fajar takut mengganggu gadis itu di tengah pelajaran. Jadi, ia menahan diri, meski jemarinya sudah gatal menekan tombol panggil.
---
Di sekolah, Shinta masih menjadi bahan bisik-bisik. Namun karena kepala sekolah sudah memperingatkan semua siswa, tak ada yang berani bertindak keterlaluan.
Shinta pun bersikap seperti biasanya—dingin, tenang, tidak peduli pada tatapan iri atau komentar jahat di belakangnya.
Begitu sampai di rumah, pertanyaan dari Haryo Bagaskara langsung menghujaninya.
“Dari mana saja kamu?! Kamu pikir rumah ini hotel?!”
Shinta hanya menjawab datar, “Itu bukan urusanmu,” lalu naik ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Shinta tidak makan malam, karena sudah sempat makan di jalan.
Haryo begitu marah sampai wajahnya memerah. “Anak durhaka!”
Sementara Dira hanya bisa menatap punggung Shinta dengan pandangan tak percaya.
Menurutnya, setelah digosipkan sebagai “gadis peliharaan pria kaya” dan jadi bahan omongan di sekolah, Shinta pasti akan hancur, malu, dan terpuruk, tapi yang terjadi malah sebaliknya—Shinta tetap tenang, seakan tak terjadi apa pun.
Dira meyakinkan diri bahwa Shinta hanya pura-pura kuat. Tapi entah kenapa, hatinya terasa tidak tenang.
---
Tak lama setelah Shinta masuk kamar, teleponnya berdering.
Begitu melihat nama Fajar Pramudya, sudut bibirnya terangkat lembut. Ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Sore, Kak Fajar…”
Suara Shinta terdengar pelan, lembut—jauh berbeda dari nada dingin yang biasa ia gunakan kepada orang lain.
Bagi Shinta, hanya dua orang yang benar-benar ia percayai di dunia ini: Kakek Winarta dan Fajar Pramudya.
“Shinta,” suara di seberang terdengar dalam dan hangat, “kamu baik-baik saja?”
Shinta terdiam sejenak, menyadari maksud Fajar tentu tentang gosip hari ini.
Shinta tidak ingin Fajar khawatir, jadi menjawab dengan tenang, “Tidak apa-apa, Kak. Gosip seperti itu kalau dibiarkan, lama-lama juga hilang.”
Fajar menghela napas pelan.
“Memang, tapi tetap saja kalau kamu butuh bantuan, bilang saja.”
Shinta tersenyum kecil. “Tidak perlu, Kak. Aku tahu siapa yang menyebarkan gosip itu.”
Nada Fajar merendah, dingin tapi melindungi,
“Kalau nanti ternyata tidak bisa kamu atasi sendiri, hubungi aku. Jangan diam.”
“Baik, Kak.”
Percakapan mereka berlangsung sebentar lagi sebelum berakhir.
Shinta lalu duduk di depan meja belajar, menatap layar laptop. Di sana, terpampang pengumuman Lomba Lukis Pemuda Nasional—ajang besar yang diadakan setiap tahun dan hanya memilih dua peserta dari tiap kota.
Untuk bisa ke tingkat nasional, peserta harus mengirim karya ke Asosiasi Seni Lukis Kota H dua minggu sebelum seleksi akhir.
Dalam ingatannya, Dira Bagaskara pernah mendapat peringkat kedua dalam seleksi kota ini. Tapi Shinta tahu betul, kemampuan Dira tidak sebanding dengan miliknya.
Sejak kecil, Shinta sudah punya bakat alami: kepekaan terhadap warna, detail, dan emosi. Setiap goresan tangannya seolah hidup.
Kakek Winarta bahkan pernah berkata, “Lukisanmu bisa membuat orang merasa sesuatu, bahkan tanpa tahu kenapa.”
Ia mengingat betul bagaimana di kehidupan sebelumnya—semua orang lebih terkesan dengan lukisannya daripada milik Dira, meskipun nama di bawahnya tidak dicantumkan.
Namun, waktu itu Shinta tidak ikut lomba. Ia terlalu sibuk menuruti keluarga yang tak pernah benar-benar melihatnya.
Kali ini, ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
Dengan cepat, Shinta membuka laman pendaftaran, mengisi data dirinya, dan menekan tombol konfirmasi.
Awalnya, ia tak berniat ikut. Melukis hanya hobi untuk menenangkan diri. Tapi karena Dira berani menyinggung harga dirinya, Shinta tak akan tinggal diam.
Shinta mendaftar bukan untuk mengejar prestasi—tapi untuk menjatuhkan Dira di depan semua orang.
Di kehidupan sebelumnya, Dira memang tidak menang, tapi cukup mendapat “Penghargaan Keunggulan”. Hal itu sudah cukup membuat keluarga Bagaskara berkoar ke mana-mana. Ayahnya menjadikan itu bahan pamer selama berbulan-bulan.
Shinta menatap kosong papan gambar di depannya. Tangan kirinya gemetar halus saat ujung kuas menyentuh kanvas—goresan pertamanya untuk lukisan yang akan ia beri judul Penyesalan.
---
Sementara itu, meskipun Shinta menolak bantuan, Fajar tetap tidak tinggal diam.
Ia memerintahkan asistennya, Dimas Arga, untuk menyelidiki asal gosip itu.
Belum sampai satu hari, laporan sudah ada di mejanya.
“Pak Fajar,” suara Dimas dari seberang telepon terdengar hati-hati, “sepertinya Dira Bagaskara terlibat. Tapi caranya terlalu rapi, saya belum temukan bukti.”
Fajar duduk di ruang kerja rumahnya. Ia jarang datang langsung ke kantor FP Group. Biasanya, semua urusan sudah diselesaikan oleh asistennya.
Kalau pun perlu tanda tangan, cukup dibawa ke rumah.
“Dira Bagaskara…” gumam Fajar, nada suaranya turun tajam. “Haryo Bagaskara sedang mengincar lahan di selatan kota, bukan?”
“Iya, Pak.”
“Beli,” ucap Fajar tegas. “Berapa pun harganya.”
Ia bukan tipe pria yang banyak bicara. Tapi sekali seseorang berani menyentuh orang yang ia lindungi, ia akan memastikan mereka membayar mahal.
“Baik, Pak. Seperti perintah Bapak,” jawab Dimas cepat, lalu segera berbalik untuk melaksanakan tugasnya.
Kebetulan, lahan itu milik salah satu rekanan FP Group. Begitu mendengar Fajar tertarik, rekanan itu justru senang bukan main. Ia sudah lama mencari cara untuk mendekati FP Group, jadi langsung menyetujui penjualan itu tanpa banyak tawar-menawar.
Meski begitu, Fajar tetap meminta agar transaksi dilakukan sesuai harga pasar.
FP Group tidak pernah membeli rasa terima kasih—apalagi utang budi.