Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fattah Adalah Mafia
“Tolongin gue, tolong! Gue nggak bisa napas, dia cekik leher gue.. Fa,”
Khalil menarik napas cukup panjang, membuka mata dengan pening yang menjalar dikepalanya. Lantas menyentuh lehernya yang terasa sakit akibat cekikan dari seseorang.
“Sialan, cuman mimpi!!”
Khalil mengatur napasnya, “mimpi apaan kok nyata begitu”
“Khal, lo baik-baik aja?” Agil yang baru saja bangun menepuk pundak Khalil. Memastikan temannya itu tidak sedang kesurupan karena sejak pertama kali dillihat, Khalil terus melamun.
“Nggak papa”
“Lisa! Lis!” Suara Melanie menarik perhatian Khalil. Gadia itu menepuk lengan Lisa cukup keras untuk membangunkannya. Namun belum kunjung dapat respon, Melanie semakin menggoyangkan tubuh Lisa cukup kencang.
“Kenapa?” Arsya terbangun, mendekati Melanie yang hampir menangis karena Lisa tak kunjung bangun.
Pada Malam Hari, Lisa Dieksekusi Oleh Mafia. Lisa Adalah Warga.
Sebelum Pemungutan Suara Berakhir, Dokter Menominasikan Siapa Yang Harus Disembuhkan. Mereka Menominasikan Nathan.
Khalil memicingkan matanya, menatap bekas cekikan tampak jelas di lingkar leher Lisa, “lehernya?”
“Tolongin gue!”
Khalil mengerenyit, memejamkan mata sejenak untuk mengingat sesuatu yang tampak nyata yang ada dalam mimpinya barusan.
“Gue nggak bisa napas, Fat,”
Kedua bola mata pria itu membelalak, menatap kesegala arah, “Fattah?”
“Fattah kenapa?”
Kali ini Farhan dan Agil menoleh saat raut wajah khawatir menyelimuti Khalil. Tampak secercah keringat bercucuran dipelipis pria itu.
“Fattah kenapa, Khal?” Agil menepuk pundak Khalil lagi.
“Gue cuman nyari, dia nggak kelihatan?”
“Nyari gue?”
Farhan dan Agil menoleh saat Fattah datang dari belakang mereka. Sementara Khalil hanya tersenyum dengan anggukan kecil.
“Apa Fattah mafianya?”
Semua Peserta, Identifikasi Mafia Dan Mulai Memilih.
Pagi dengam gejolaknya masing-masing, terutama Khalil yang memilih menyendiri untuk membuat perjanjian pertemuan dengan Fattah. Tentu untuk memastikan dugaan dan mimpinya memang selaras.
“Kenapa?”
Khalil menggela napas panjang, “kenapa lo kelihatan biasa aja? Bahkan lo kelihatan beda dari sebelum kita ke retret ini, bukannya lo suka sama Lisa?”
Fattah masih diam, menatap lamunan Khalil, “kenapa lo nggak kelihatan sedih, bahkan setelah orang yang lo sukai meninggal?”
“Khalil?!”
Khalil mengerjab, “sorry”
“Kalo ngelamun mending jangan disini, disini sepi banget bikin merinding” Fattah mulai mengusap kedua lengannya berulang kali, membuat kehangatan ditubuhnya sambil sesekali menatap sekitar.
“Gue mau ngomongin soal Lisa”
"Oh itu, kenapa?”
“Lo nggak sedih? Maksud gue, lo bahkan lihat kondisi dia, lo nggak curiga siapa yang bunuh dia?”
Fattah sejenak diam.
“Fat, lo nggak curiga siapa yang bunuh orang yang lo suka?”
“Sedih, tapi lo berharap apa? Gue nangis-nangis sambil kuburin makam dia dibelakang gedung?”
Khalil kali ini mengusap wajahnya. Meyakini bahwa setiap dugaan-dugaan bodoh itu memang benar. Jelas, Khalil bisa lihat wajah tanpa dosa itu menatap wajahnya.
“Gue emang suka sama dia, tapi buat apa sedih berlebihan, Khal? Soal mafianya, gue belum kepikiran curiga sama siapa”
Khalil hanya diam. Bisa saja kalau Fattah tidak sedih seputar sepeninggal Lisa, walau dia sempat menyukainya. Karena selama ini juga tidak ada kabar lebih soal mereka berdua yang berkencan. Jadi kemungkinan hanya cinta monyet yang tidak pernah Lisa terima dengan baik.
"Bisa aja gengnya Hagian atau Melanie?”
Khalil mengangguk, “gitu ya?”
“Kenapa?”
“Gue pikir ini cuman halusinasi gue doang”
“Lo nuduh gue mafianya?”
Khalil mengerenyit dengan senyum miring, “gue bahkan dari tadi diem aja, lagian patut kan kita semua mencurigai satu sama lain?”
“Maksud lo?!”
Khalil menunjuk pergelangan tangan Fattah, “ada bekas perlawanan dan goresan kuku palsu, cuman Lisa yang pake kuku palsu di kelas kita”
Fattah memicing, mendorong tubuh Khalil sampai batas dinding menghentikan tubuhnya cukup keras.
“Kenapa? Gue cuman mencurigai”
“Semuanya pantes lo curigain, itu kan kata lo? Terus kenapa lo nyurigain gue doang?!”
Khalil terkekeh, “mencurigai tanpa bukti itu fitnah, lagian siapa yang bunuh orang yang dia sukai, Fat?”
Fattah mendekat, meraih kerah seragam Khalil dengan tatapan penuh amarah. Khalil semakin yakin bahwa kecurigaannya sudah berubah sebagai kebenaran. Bahkan perlakuan tanpa perlawanan ini sudah jelas sekali. Kalau Fattah adalah mafianya.
“Gue makin yakin lo mafianya, kalau mau ngaku pun percumah, jadi lepasin!” Khalil memberontak.
“Bajingan ini!”
Brughhh
“Khalil?!”
Fattah menghentikan aksinya. Kembali menyimpan tangannya yang hampir mendarat sempurna di pipi Khalil. Justru dibalas tatapan dingin dari Khalil.
“Oh astaga, kali ini lo selamat, Khal” Fattah menepuk pipi pria itu, lantas tersenyum setelah Agil mendapatkan mereka sedang berdua.
“Kalian ngapain?”
Khalil mendorong tubuh Fattah agar sedikit menjauh sebelum membenarkan seragam sekolahnya yang sempat berantakan.
“Lagi berdiskusi soal mafianya” celah Fattah.
Agil menatap Khalil dengan ragu, seperti memberikan sebuah pertanyaan, apakah pria itu bersungguh-sungguh atas pernyatannya.
“Kenapa?” Khalil menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan tempat. Dia sudah muak sekali dengan Fattah, terlebih sikap egoisnya itu serasa ingin dia ludahi.
“Katakan”
“Bedebah Hagian itu nyariin lo. Kata dia mau diskusi, nggak tahu diskusi apaan kok sampe harus sama lo” Agil mulai mengikuti Khalil.
“Leher lo kenapa?” Agil yang penasaran mulai mendekatkan matanya, bekas merah di leher Khalil sangat ketara.
“Nggak tahu, digigit serangga kayaknya”
“Ah ya udah yuk, nanti Hagian malah ngamuk kalo kita lama”
Agil dan Khalil mulai menjamah lorong menuju aula. Tidak mendapati siapapun, seisi gedung kosong, hanya berteman sepi.
“Dimana dia?”
“Lo tahu nggak kalo Hagian sempet marah-marah ke Arsya karena kejadian tadi?”
Khalil mengerenyit, “bukankah itu semua ide Dion? Kenapa Asrya yang dimarahi?”
“Tapi Khal, emang itu rencanya Asrya ya?”
Khalil menggeleng pelan, “gue juga nggak tahu”
“Wah kenapa dia mudah sekali meruntuk orang lain? Memang keras kepala sekali Hagian itu” decaknya kesal, “Arsya pasti sedih, Khal”
“Kalau iya, dia juga nggak mau kalau rencananya berakhir jadi bencana kayak gini”
“Heh brengsek!”
Khalil dan Agil menoleh ke sumber suara. Pada Hagian dan kedua temannya itu mulai memasuki aula, disusul teman yang lain. Entahlah apa yang sedang mereka lakukan dan pikirkan sampai memutuskan untuk kembali ke aula.
“Ketua kelas udah libatin kita semua, kenapa kita nggak pilih dia?”
Bahkan belum genap setengah hari mereka beristirahat, bisa-bisanya si brandal itu memutuskan seauatu secara sepihak, dan tanpa bukti.
“Sebelumnya lo bilang itu semua masuk akal dan ambil semua ponsel kita, terus sekarang berubah pikiran? Plin-plan banget lo” desak Merah.
Khalil bersedekap dada. Menatap Merah yang mulai bersuara dengan Hagian yang melangkah mendekatinya.
Merah itu jarang sekali bicara, tapi sekali dia bicara biasanya menguak fakta.
“Lo juga kelihatan santai banget, lo nggak ngasihin HP lo juga kan? Lo yang mencurigakan tahu nggak?!”
“Hei” Hagian berdesis pelan.
"Bukannya udah jelas? Gimana kita juga bisa percaya sama Arsya dan lo Merah? Bisa aja kalian mafianya?”
Tidak ada yang bergeming, semuanya diam termasuk Arsya yang sembari tadi ada di sebelah Merah.
“Heh bajingan!” Hagian mengintai setiap orang yang ada, “Hidup kita bergantung sama permainan ini! Kenapa harus mempercayakan hidup gue sama orang lain? Gue cuman butuh gunain otak gue!”
Khalil menelan ludahnya susah payah. Tentu tebakannya benar, kalau Hagian adalah pemain yang handal dalam permainan ini.
“Kalo enggak, gue bisa mati!” Hagian mendorong tubuh Farhan sebagai pelampiasannya, salah satu tubuh yang mudah di gapai. Dimana harga dirinya jika dengan sengaja mendorong tubuh Merah atau Arsya yang ada dihadapannya?
“Udah, kalian berdebat disaat situasi seperti ini? Berapa lama lagi?”
“Hentikan, Hagian” Khalil beranjak. Membuat semuanya memfokuskan pandangan pada Khalil. Pria itu tahu betul bahwa tidak ada yang bisa di percayai didunia ini, sekalipun dunia ini hanyalah game buatan. Jadi sekecil apapun dia mengambil keputusan akan sangat berdampak untuk berjalannya permainan kedepan.
“Gue nggak mungkin bilang kalau Fattah mafianya, tanpa bukti lagi”
“Nggak ada yang perlu salah-salahan, nggak ada yang perlu nebak siapa mafianya, kalau tanpa bukti yang jelas”
Arsya mendongak, menatap wajah tegas Khalil. Berbeda dengan Dion yang selalu berpikir panjang untuk sebuah keputusan, Khalil selalu menengahi untuk sedikit meredakan masalah. Setiap kata yang Khalil ucapkan, mampu membuat semua orang mundur satu langkah untuk bisa lompat lebih jauh lagi.
“Ide Arsya nggak ada salahnya di coba dan itu justru bikin kita tahu dan nggak ngulangin lagi kan? Jadi jangan salahin dia juga, kita semua adalah yang pertama di game ini”
Arsya tersenyum tipis.
“Tapi kapan kita bakal balik, Khal?” Lirih suara Farhan membuat semua orang mulai kembali resah.
“Gimana kita balik kalo kita aja nggak bisa pergi dari sini?!” Sentak Yuna.
Semuanya terdiam, terlebih Khalil. Dia bahkan belum terpikir sejauh ini untuk bisa menyelamatkan semua yang tersisa. Selain satu cara untuk menemukan mafianya dan semua warga akan selamat. Tapi tidak akan semudah dan secepat itu.
“Kita bakal cari caranya nanti” sahut Arsya, “sebelum itu kita harus memindahkan mereka ke dalam lemari pendingin”
Hagian melengos.
“Jangan pergi dan bantu kita,”
Hagian menghentikan langkahnya, melirik pada Arsya sebelum kembali melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.
“Lo nggak mau bantu?”
“Astaga dia bahkan masih bisa sok polos gitu?” Khalil mendegus kesal, menatap Fattah yang mencegah tubuh Hagian agar tidak pergi.
“Apa lo bilang?”
Merah menarik tubuh Hagian, “udah, sana pergi”
“Macem macem gue bunuh lo lama-lama” decak Hagian sebelum benar-benar meninggalkan aula, disusul Jihan dan Wira.
“Harusnya, biarkan saja Hagian membunuh mafia sialan itu”
Arsya menepuk pundak Khalil, “lo mau bantu?”
Khalil mengangguk dengan senyum. Pandangannya sejenak mengintai ke arah lain. Tumben sekali ketua kelas tidak terlihat, bahkan ada beberapa orang yang biasanya bergabungpun tidak tampak.
“Khal, bantuin kan?”
Khalil mengangguk lagi, “Sadam sama Dion mana?”
Agil menoleh ke setiap penjuru aula, “Sadam sih tadi ke UKS, kalo Dion nggak tahu deh, coba tanya Arsya”
Arsya menoleh sejenak, lantas menggeleng pelan, “gue nggak tahu, Khal”
UKS? Bukankan itu tempat dimana Khalil dan Fattah sempat akan beradu badan? Apakah pria itu mendengar setiap percakapan Khalil dan Fattah?
“Kenapa? Gue yakin mereka nggak papa, nggak ada pengumuman yang nyebutin nama mereka kok”
Khalil hanya diam. Bukan masalah kalau akan kenapa-napa atau tidak. Pasalnya, jika saja ada orang lain yang tahu pembicaraan mereka. Setiap rencana Khalil pasti akan berantakan.