Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8- Keputusan dibalik Luka
Fajar mulai merayap, membawa cahaya pucat ke dalam rumah tua. Genangan hujan di halaman luar memantulkan langit yang suram. Tapi di dalam, aroma debu bercampur darah memenuhi udara.
Tiga pria yang tadi malam menyerang kini terikat di sudut ruangan, tak sadarkan diri. Revan duduk bersandar pada dinding, nafasnya masih berat. Mauryn menatapnya dari dekat, wajahnya penuh cemas.
“Kamu berdarah…” bisik Mauryn.
Revan menoleh, mencoba tersenyum.
“Hanya goresan kecil.”
Namun Mauryn mendekat, tangannya meraih lengan Revan yang terluka. Darah menetes dari sobekan baju di dekat bahunya.
“Ini bukan kecil,” katanya tegas.
“Kamu bisa infeksi.”
Revan menahan erangan ketika Mauryn menekan luka dengan kain lap kotor yang ia temukan.
“Hei… pelan sedikit.”
“Kalau aku pelan, kamu bisa kehabisan darah. Jadi diam saja.” Ucap Mauryn sambil mendengus.
Suasana sepi, hanya desiran angin masuk lewat jendela pecah. Mauryn terus membersihkan luka Revan sebaik mungkin. Tangannya gemetar, bukan hanya karena takut, tapi juga karena sesuatu yang lebih dalam.
“Revan,” katanya pelan
“Mereka tidak datang hanya untuk menakut-nakuti. Mereka datang untuk membunuh.”
Revan menatapnya lekat.
“Aku tahu.”
“Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Mereka pasti akan kirim orang lain,” lanjut Mauryn, suaranya bergetar.
“Kita harus pergi.”
Revan mengangguk, tapi sorot matanya berat.
“Kamu benar. Tapi pergi kemana? Mereka punya mata-mata di mana-mana. Kita butuh tempat yang lebih aman.”
Mauryn menunduk. Suara hati Revan terdengar jelas di telinganya.
“Aku harus lindungi dia. Apa pun risikonya.”
Mauryn menggenggam kain berdarah itu, menatap Revan dalam-dalam.
“Katakan yang sebenarnya. Berapa banyak orang yang mengejarmu?”
Revan terdiam sebentar, lalu menjawab dengan suara rendah.
“Lebih banyak dari yang bisa kita hitung. Mereka punya jaringan. Mereka punya uang. Mereka bisa membeli siapa pun.”
Mata Mauryn membesar.
“Lalu kita? Kita hanya berdua. Bagaimana kita bisa melawan mereka?”
Revan menarik napas panjang, menunduk.
“Kamu bisa pergi, Mauryn. Aku tidak akan menyalahkanmu. Kamu bisa kembali ke hidupmu sebelum semua ini.”
Mauryn tercekat. Hatinya bergejolak mendengar kata-kata itu.
“Kembali? Hidupku sebelumnya sudah hancur… aku selalu sendiri. Sekarang…”
Ia menggigit bibir, lalu berkata dengan suara tegas.
“Jangan pernah bilang begitu lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu dengar?”
Revan terdiam, menatapnya dengan campuran kagum dan cemas.
“Kalau aku pergi,” lanjut Mauryn, suaranya mulai bergetar.
“Aku akan kembali jadi gadis yang semua orang benci, yang dianggap aib. Setidaknya bersamamu, aku merasa… aku berarti.”
Air mata menggenang di matanya. Revan mendekat, menyentuh bahunya.
“Mauryn… jangan pernah anggap dirimu aib. Kamu jauh lebih kuat dari siapa pun yang pernah kutemui.”
Hening beberapa detik. Lalu Revan berdiri, meski tubuhnya masih goyah. Ia menatap tiga pria yang terikat itu.
“Kita harus putuskan sekarang,” katanya.
“Apakah mereka kita biarkan di sini… atau kita gunakan mereka.”
Mauryn menatapnya bingung.
“Gunakan?”
Revan mengangguk.
“Orang-orang ini cuma pion. Mereka pasti tahu siapa yang mengirim mereka. Kalau kita bisa memaksa mereka bicara, kita akan tahu siapa musuh yang sebenarnya.”
Mauryn merasakan aliran suara hati samar dari salah satu pria yang masih pingsan. Ada ketakutan yang mendalam.
“Jangan biarkan mereka tahu. Bos akan bunuh keluargaku.”
Mauryn menarik napas tajam.
“Mereka takut. Bukan hanya pada kita… tapi pada seseorang yang lebih besar.”
Revan menatapnya serius.
“Kamu bisa dengar itu?”
“Ya. Dan itu berarti kita baru menyentuh permukaan.” Ucap Mauryn sambil mengangguk.
Tiba-tiba salah satu pria terikat mulai sadar, menggerakkan kepalanya. Mauryn mundur selangkah, tubuhnya tegang. Revan segera menghunus pisaunya, menunduk mendekat.
“Siapa yang mengirimmu?” tanya Revan dingin.
Pria itu menggeram, darah menetes dari bibirnya.
“Kamu pikir aku akan bicara?”
Mauryn menutup matanya sebentar, lalu mendengar isi hati pria itu.
“Jangan sebut nama Tuan Gatra… kalau aku bicara, keluargaku tamat.”
Mauryn menatap Revan, wajahnya pucat.
“Namanya… Gatra. Dia takut sekali pada orang itu.”
Revan membeku, tatapannya tajam.
“Gatra…” Ia bergumam, seperti menyebut nama hantu.
Mauryn menyentuh lengannya.
“Kamu kenal dia?”
Revan mengangguk perlahan.
“Dia orang yang selama ini kucari. Dalang dari semuanya.”
Suasana kamar semakin berat, seakan udara pun menahan napas. Setelah beberapa saat, Revan memutuskan untuk mengikat pria itu lebih kuat. Mereka tidak punya waktu untuk interogasi lebih lama.
Malam berganti siang. Cahaya mentari yang lemah menembus dinding rapuh rumah tua. Mauryn duduk di sudut ruangan, tubuhnya masih gemetar.
Revan menghampiri, lalu duduk di sampingnya.
“Kamu sudah berbuat banyak. Lebih dari yang bisa kulakukan sendirian.”
Mauryn menunduk, menyembunyikan wajahnya.
“Aku hanya mendengar… itu saja.”
Revan tersenyum tipis.
“Justru itu yang menyelamatkan kita.”
Hening beberapa saat. Lalu Revan berkata, lebih pelan.
“Kalau bukan karena kamu… aku mungkin sudah mati sejak kemarin.”
Mauryn menoleh, matanya bertemu dengan matanya. Ada sesuatu yang bergolak di antara mereka, sesuatu yang tak bisa diingkari.
“Kamu selalu bilang aku kuat,” kata Mauryn lirih
“Tapi sebenarnya… aku takut sekali.”
Revan mendekat sedikit, suaranya nyaris berbisik.
“Rasa takut itu bukan kelemahan. Itu yang membuatmu manusia.”
Mauryn terdiam, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Revan. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya merasa aman, meski hanya sesaat.
Di luar, burung-burung mulai bernyanyi pelan, seakan mencoba menyingkirkan sisa-sisa malam yang penuh darah.
Di dalam, Mauryn dan Revan duduk berdampingan, terjebak di tengah badai yang belum berakhir. Tapi ada sesuatu yang berubah, ikatan yang semakin erat, keberanian yang lahir dari rasa takut bersama.
Dan di hati Mauryn, suara itu berbisik jelas.
“Selama aku bersamanya, aku tidak akan pernah benar-benar sendiri.”
Bersambung…
Hay hay semua terimakasih yang sudah menunggu kelanjutan cerita ini 🫰🏻
Jangan lupa like, komen, dan gift yah biar othor semangat 🫶🏻