Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berhenti Bersembunyi
Setelah lampu-lampu panggung padam dan beberapa stan yang tadinya berdiri di lapangan dibongkar, sesuatu ikut menghilang. Bukan hanya spanduk dan jejak langkah pengunjung. Tapi juga sesuatu yang tak kasat mata—ritme. Ritme kami—aku dan Nick.
Proyek untuk Green Campus telah usai. Klub sosial vakum untuk sementara. Tak ada lagi rapat diskusi hingga larut malam, tentang konsep acara. Tak ada lagi rapat evaluasi seusai acara dilaksanakan. Tak ada Nick yang duduk di seberangku, memainkan tutup pulpen sambil sesekali melemparkan senyum kecil padaku.
Dan seperti biasa, dunia kembali bergerak. Hanya saja, kali ini Nick seperti tidak ada di dalamnya—mengisinya.
Lucunya, setelah semua kedekatan itu... kini yang tersisa hanyalah sunyi. Aku sibuk dengan perkuliahanku, begitu pun dengannya. Tapi, terkadang aku juga bertanya-tanya—ia benar-benar sibuk atau... hanya menghindar? Entahlah.
Yang kutahu, setiap aku membuka galeri ponsel dan menemukan foto kami—saat di photobooth dan saat Nick mengusap pipiku yang terkena cat hari itu, ada sesuatu yang mencubit dadaku.
Sejak beberapa hari yang lalu, ada seorang pria di kelasku yang sepertinya sedang berusaha mendekatiku. Namanya Liam. Tentu saja aku biasa saja. Tidak ada perasaan apapun yang kurasakan terhadapnya. Tidak seperti perasaanku pada Nick yang kian terasa nyata.
"Hai, Nora! Boleh aku duduk di sebelahmu? Namaku Liam.", sapanya, saat itu.
Aku membiarkannya mendekatiku dan tidak merasa perlu menjauh. Sebab, aku tidak memiliki alasan untuk itu.
"Sepertinya kita pernah satu sekolah saat SMA dulu. Dulu kamu lebih pendiam dan sering menyendiri di perpustakaan sekolah.", katanya, di akhir kelas kami.
Perkataan Liam membuatku mengernyit. Dia memperhatikanku dari dulu? Sebab, yang dikatakannya memang benar. Saat itu aku adalah gadis kutu buku yang suka menghabiskan sebagaian besar waktuku di perpustakaan—lebih tepatnya, sebelum mengenal dan bersama Christian. Aku tidak menyangka saja ada pria lain, selain Christian yang memperhatikan gadis culun dan membosankan sepertiku.
Hari-hari berikutnya, Liam semakin sering muncul. Ia menyodorkan kopi saat pagi, membawakan catatan kuliah saat aku absen sehari karena sakit, bahkan kadang mengajakku makan siang bersama di kantin kampus.
Aku pun menanggapinya datar. Sebab, aku sama sekali tidak tertarik padanya—untuk menjadi lebih dari sekedar teman. Tapi, aku juga tidak menolak, karena hal tersebut bisa memberiku semacam distraksi dari pikiranku yang tak bisa lepas dari bayang-bayang Nick.
Hingga siang kemarin.
Aku dan Liam duduk di kursi kayu dekat taman fakultas. Angin mengibaskan rambutku pelan. Sementara dihadapanku, Liam sedang tertawa—entah karena leluconnya sendiri atau ekspresi datarku yang katanya lucu.
Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, aku melihatnya lagi—Nick.
Ia berdiri di seberang taman. Kedua matanya langsung menatapku. Hanya beberapa detik. Tapi, cukup membuatku lupa bagaimana caranya menelan ludah.
Wajahnya tak menunjukkan emosi apapun. Tapi, tepat disana tampak sesuatu yang...tegang dan beku. Lalu, ia pergi—berbalik arah tanpa sepatah katapun. Membuat jantungku berdegup tak karuan.
Tiga hari kemudian, aku dan Nick bertemu lagi—tanpa sengaja, di koridor kampus, dekat ruang serbaguna. Aku baru saja keluar kelas saat suara itu menyapaku.
"Nora!"
Aku menoleh. Nick tampak berdiri di sana, terlihat ragu. Kedua tangan dimasukkan ke saku jaket, dengan tatapan mata yang tak biasa.
"Kamu sibuk?", tanyanya pelan.
"Kenapa?", balasku datar.
"Aku ingin mengobrol sebentar. Tentang sesuatu."
Aku diam sejenak. Lalu mengangguk. Kami berjalan pelan menyusuri lorong kosong. Hanya suara langkah kaki kami yang terdengar.
"Nora! Aku hanya ingin bilang...", kata Nick, berhenti di dekat jendela. "Berhati-hatilah pada Liam!", katanya.
Jelas apa yang baru saja ia katakan jauh berbeda dari apa yang ada di dalam pikiranku. Tadinya, aku mengira Nick akhirnya akan jujur tentang perasannya. Namun, ternyata aku salah besar.
"Maaf?", tanyaku, memiringkan kepala.
Nick tampak menghela nafas. "Aku mengenalnya, Nora. Dia mantan anggota Student Government. Dan, dia adalah mantan kekasih teman sekelasku, yang tertangkap basah selingkuh, bahkan saat..."
"Nick, tidak perlu repot-repot memperingatkanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri.", sahutku.
"Tidak, Nora! Kamu tidak mengenal siapa Liam sebenarnya. Kamu harus menjauhinya."
Aku menggigit bibir—ingin percaya. Namun, bagian lain dari diriku masih merasa kesal pada Nick yang seperti sedang menghindar.
"Nick! Kamu tiba-tiba muncul lagi di hadapanku, hanya untuk menentukan dengan siapa aku boleh dekat? Setelah memutuskan untuk menghindariku dan menghilang?", tanyaku, menahan nada suara.
Nick tampak terkejut.
"Nora, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya tidak ingin Liam memanfaatkanmu. Dia bukan pria yang baik untukmu.", katanya.
Aku tersenyum miris. "Lalu, menurutmu siapa pria yang baik untukku?", tanyaku, berusaha memancingnya.
Nick hanya terdiam. Seperti tak mampu berkata-kata.
"Baiklah. Kurasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.", kataku, hendak melangkahkan kakiku untuk pergi. Namun, tangan Nick tiba-tiba menghentikanku.
"Nora, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar darimu.", katanya.
Aku menoleh, membalikkan badan, lalu menatapnya—tanpa berbicara sepatah katapun. Berharap Nick akan memberikan sebuah penjelasan tentang sikapnya akhir-akhir ini.
"Nora, aku hanya... takut. Aku takut mengakui perasaanku.", katanya, lagi.
"Bukankah saat itu kamu sudah menulis pada papan komitmen hijau untuk lebih jujur pada perasaanmu sendiri?", tanyaku, sinis.
"Ya, memang, Nora. Aku sudah berusaha. Sungguh. Namun, setiap kali aku ingin melakukannya. Aku selalu merasa khawatir dan takut."
Aku menatapnya, sambil menggelengkan kepala. "Aku masih tidak mengerti, Nick."
"Nora, kamu...seseorang yang terlalu sempurna untukku. Cantik, baik, pintar, memiliki keluarga yang sempurna dan teman-teman baik yang menyayangimu. Sementara aku? Aku tidak punya apapun yang bisa kujanjikan padamu, Nora. Kehidupanku sudah kacau. Aku takut dan khawatir... jika kejujuranku hanya akan menjadi beban dan membuatku kehilanganmu. Aku benar-benar tidak sepadan denganmu, Nora.", jujurnya. Membuatku terdiam, karena apa yang sebenarnya terjadi jauh berbeda dari apa yang ada di benakku.
Aku tidak menyangka, jika Nick merasa bahwa aku terlalu sempurna untuknya. Padahal, seharusnya aku yang merasa seperti itu. Nick pria yang baik, hangat, pintar dan sangat sempurna, terlepas dari kehidupannya yang kosong dan sepi karena hal buruk yang sudah menimpa keluarganya. Tapi, aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
Bagiku, semua orang pasti memiliki hal buruk dalam hidupnya, termasuk aku. Namun, bukan berarti kita tidak pantas untuk merasakan kebahagiaan lagi, bukan? Dan, jika itu adalah satu-satunya alasan yang membuat Nick menghalangi perasaannya padaku. Maka, aku harus bisa meyakinkannya, kalau itu hanya kekhawatirannya saja.
Aku menatap kedua mata cokelat milik Nick, dalam. "Nick, percayalah! Tak ada seorangpun yang memiliki kehidupan yang sempurna, termasuk aku. Hal-hal buruk pasti datang sekali atau beberapa kali dalam hidup kita. Tapi, semua itu tidak bisa menjadi alasan untuk berhenti merasakan kebahagiaan. Yang menentukan baik tidaknya seseorang adalah siapa dirinya saat ini, bukan apa yang sudah terjadi padanya di masa lalu.", kataku.
Nick menatapku sendu—matanya berkaca-kaca. Dan, bibirnya seperti masih belum mampu berkata-kata.
"Dan, jika kamu masih meragukan perkataanku. Kuharap apa yang akan kulakukan ini akan mampu meyakinkanmu, bahwa aku hanya ingin kamu jujur tentang perasaanmu.", kataku, lalu mengecup pipi kanan Nick. Entah apa yang sudah merasuki pikiranku hingga berani sekali berbuat seperti itu. Tapi, yang jelas, aku hanya ingin meyakinkan Nick.
"Sampai jumpa, Nick!", kataku sambil tersenyum kecil, lalu beranjak pergi meninggalkannya.
Kemudian, saat hari sudah berganti malam—aku berbaring di tepi ranjang Nina, sementara ia fokus dengan ponselnya di sebelahku—ponselku yang kuletakkan tepat di atas tubuhku bergetar. Ada satu pesan masuk, yang entah itu dari siapa.
Aku membuka daftar obrolan pesan, dan ternyata nama Nick muncul di baris paling atas dengan sebuah pesan baru yang belum kubaca.
'Nora, maafkan aku. Tolong beri aku kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Jika kamu bersedia, aku akan menjemputmu besok, sepulang kuliah. Dan, aku akan menepati janjiku seperti yang sudah kutulis pada papan komitmen hijau hari itu.'
Aku membaca pesan dari Nick, tanpa bisa menahan perasaanku yang sedang berbunga-bunga. Aku tersenyum lebar, dan Nina menyadari hal itu.
"Ada apa, Nora? Sepertinya ada kabar baik.", tanyanya, memicingkan mata
"Mungkin. Kita akan mrngetahuinya besok malam.", jawabku, meninggalkan penuh tanda tanya dalam benak Nina.
'Baiklah'
Aku membalas pesan Nick, tanpa sedikitpun keraguan. Semoga saja apa yang terjadi besok malam tepat seperti apa yang ada di dalam benakku saat ini. Aku senang. Aku merasa menang. Akhirnya, aku berhasil membuat Nick memilih untuk berhenti bersembunyi dari perasaannya sendiri.