NovelToon NovelToon
TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Trauma masa lalu / Kekasih misterius
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: nandra 999

Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .

Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.

Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.

Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.

Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 - Pelarian yang Tak Pernah Jadi

Aku berdiri di depan cermin, memandangi wajah sendiri yang mulai tak kukenal. Di bawah mata, ada sembab yang tak kunjung reda. Di balik senyum palsu yang kupasang tiap hari, ada luka yang tak kelihatan. Luka yang sudah mengakar terlalu dalam.

Hari itu, Gibran pulang lebih awal. Suara langkah sepatunya terdengar di lantai marmer, seperti irama ketakutan yang semakin dekat. Aku buru-buru membereskan meja, menyembunyikan ponsel, dan merapikan jilbabku, takut ada hal kecil yang membuatnya tersinggung.

"Siapa yang kamu telepon barusan?" tanyanya begitu masuk. Matanya memicing, suaranya dingin seperti hujan sore itu.

"Enggak siapa-siapa, cuma lihat video masak di YouTube."

“Bohong.” Nada bicaranya sudah mengarah ke ledakan. “Kamu pikir aku nggak tahu? Semenjak kamu sering merenung itu pasti ada yang kamu sembunyikan!”

Aku diam. Mulutku membeku. Menyangkal hanya akan memicu kemarahannya. Mengaku akan mengundang lebih banyak tuduhan.

Tangan Gibran menghantam meja, membuat gelas yang belum sempat kuangkat terjatuh dan pecah.

Aku hanya menunduk, tubuh gemetar. Bukan karena suara kerasnya, tapi karena aku tahu, setelah ini mungkin akan ada lagi tangan yang melayang. Bukan ke meja. Tapi ke wajahku.

Malam itu aku kembali menulis surat di dalam hati. Surat yang tak akan pernah terkirim:

“Tolong, siapa pun yang membaca ini… aku ingin bebas. Aku ingin pulang. Tapi aku bahkan tak tahu ke mana harus pulang. Rumahku sudah jadi penjara, dan orang yang kucintai adalah penjaga gerbangnya.”

Pagi harinya, aku memberanikan diri keluar rumah untuk belanja ke pasar. Saat itu Gibran sedang tidur karena habis begadang semalaman main gim. Aku bawa dompet kecil dan satu lembar uang seratus ribuan. Di pasar, aku tak langsung belanja, tapi duduk di pinggir warung makan. Mengamati lalu lalang kendaraan.

Ada momen saat aku berpikir untuk kabur. Naik ojek online, ke bandara, lalu cari tiket ke kota mana saja. Aku bahkan sempat membuka aplikasi, mengetik “Bandara” sebagai tujuan.

Tapi jari-jariku tak mampu menekan tombol “Pesan”.

Pikiranku dipenuhi pertanyaan: “Kalau aku kabur, siapa yang akan urus anak-anaknya? Nanti dia bilang ke semua orang aku gila. Siapa yang akan percaya padaku?”

Aku hanya bisa menghela napas dan mematikan layar ponsel.

Saat kembali ke rumah, Gibran sudah terbangun dan langsung menatapku curiga.

"Ke mana aja?"

"Pasar. Beli sayur."

"Masa sampai sejam?"

Aku mengangguk pelan. "Tadi hujan sebentar, nunggu reda dulu."

Dia hanya mendecak, lalu membanting remote televisi ke sofa. “Jangan macam-macam, Aira. Kamu pikir aku nggak bisa temuin kamu di mana pun kamu lari?”

Hari itu aku sadar… aku bukan hanya terjebak dalam hubungan. Aku terjebak dalam ketakutan yang dibuatnya, hari demi hari, tanpa jeda.

“Aku ingin lepas, Tuhan. Tapi aku takut kalau melepas malah membuatku mati.”

Aku tertunduk. Air mata jatuh diam-diam. Di luar, hujan mulai turun. Tapi di dalam tubuhku badai sudah lama mengamuk.

Aku pernah berdoa keras-keras saat Gibran tidur. “Tuhan, tolong cabut perasaan ini dari dadaku. Aku gak tahu ini cinta, ketakutan, atau trauma.”

Tapi entah kenapa… aku tetap tinggal.

Gibran seperti memiliki dua wajah. Pagi bisa menyentuh pipiku dengan lembut sambil menyuapiku sarapan. Tapi malamnya, hanya karena aku lambat menjawab pertanyaannya, dia bisa menghempaskan tubuhku ke lantai tanpa ampun.

Aku bukan tidak ingin pergi. Tapi setiap kali aku menguatkan hati untuk kabur, suaranya menggema di kepalaku, “Mau ke mana kamu? Gak ada yang peduli di luar sana. Gak akan ada yang percaya kamu korban. Mereka cuma akan bilang kamu cewek nakal yang nyari masalah!”

Pernah suatu malam, aku mengendap keluar. Tapi baru sampai pagar depan, dia muncul begitu saja di kegelapan. “Berani banget kamu ya keluar tanpa bilang?”

Aku dibekuk. Ditarik masuk lagi. Dipukul. Ditampar. Dan yang lebih menyakitkan, aku diludahi. “Kamu itu milik gue! Jangan pernah coba ninggalin, atau gue bakal cari kamu sampai ke dasar neraka!”

Sejak itu, aku menyerah mencoba kabur.

Setiap malam, aku tidur dalam pelukan yang terasa seperti perangkap. Dia bilang itu pelukan cinta. Tapi aku tahu, itu jerat ketakutan.

Yang lebih menyakitkan lagi, setiap kali aku menangis, dia tertawa kecil. “Cengeng amat sih. Baru gini aja nangis? Kalo aku beneran tinggalin kamu, baru deh lo bakal gila.”

Dan anehnya, aku percaya ucapan itu.

Aku hidup dalam paradoks. Ingin pergi, tapi takut. Ingin bebas, tapi ragu. Luka-luka masa lalu yang belum sembuh membungkam suaraku untuk minta tolong.

Pernah ada satu momen, aku lihat bayangan diriku di kaca. Mata sembab, pipi biru lebam, bibir pecah. Aku hampir tidak mengenali diri sendiri.

“Siapa kamu?” bisikku. Tapi refleksi itu cuma menatapku balik dengan tatapan kosong.

Aku sadar, aku sedang perlahan-lahan menghilang. Diri yang dulu ceria, penuh mimpi, sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya tubuh bernyawa, tapi jiwa seakan sudah pergi.

Tapi pagi itu... setelah malam terpanjang dan terkeras, ada satu hal kecil yang membuatku berpikir.

Seekor burung gereja hinggap di jendela. Hujan belum reda, tapi ia tetap bernyanyi.

Air mata jatuh lagi. Bukan karena Gibran. Tapi karena aku sadar... jika seekor burung kecil bisa tetap bernyanyi di tengah badai, mungkin aku juga bisa.

Mungkin... masih ada cara untuk keluar.

Mungkin... masih ada aku yang bisa diselamatkan.

1
gaby
Jgn2 Gibran pasien RSJ yg melarikan diri.
gaby
Di awal bab Gibran selalu mengatakan cm Gibran yg mau menerima Aira yg rusak. Dan kata2 Aira rusak berkali2 di sebutkan di bab pertama. Maksud Rusak itu gmn y thor?? Apa Aira korban pelecehan atau korban pergaulan bebas??
gaby
Smangat thor nulisnya. Ternyata ini novel pertamamu di NT y. Tp keren loh utk ukuran pemula, ga ada typo. Dr awal bab aja dah menarik, Gibran si pria manipulatif
Robert
Suka banget sama cerita ini, thor!
nandra 999: Thks yeah 🥰
total 1 replies
Gấu bông
Terinspirasi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!