Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Masih alot.
Mendengar berita yang ada, Serda Sadewo pun datang. Sebagai seorang kakak jelas hatinya tidak bisa menerimanya begitu saja namun ia pun memiliki harga diri.
"Jangan kau kira sudah membawa pangkat pada bahumu lalu aku akan tetap menyimpan rasa hormat padamu. Bagian mana yang bisa kuhormati darimu, Letnan b*****t." Ujarnya di hadapan Bang Shano.
Kening Bang Shano berkerut. Hatinya semakin tak karuan, pikirannya semakin bingung. Sejak tadi yang ia tau semua orang hanya menyimpan amarah padanya.
Bang Dewo semakin jengkel melihat ekspresi wajah Bang Shano yang seolah tanpa dosa sama sekali.
"Saya tidak akan membiarkan adik saya menikah sama kamu..!!" Ucap tegas Bang Dewo.
"Prosesnya sudah berjalan, butuh waktu untuk menghapusnya kembali." Kata Bang Shano.
"Apapun yang terjadi, saya tidak akan menikahkan kamu dengan adik saya..!!" Bang Dewo pergi dan meninggalkan tempat.
...
POV Bang Shano on..
Rasanya aku tertekan oleh setiap keadaan. Aku memilih berjalan menyendiri menghindari kerumunan orang, mulai tidak percaya diri menerka apa yang telah terjadi. Yang kurasa hanya setiap orang serasa memusuhi ku.
Apa yang sudah aku lakukan? Apa mungkin aku melakukan hal tak senonoh pada Jena??
Kepalaku sampai terasa sakit, aku mulai mengambil sesuatu dari dalam tas, rokok yang aku simpan khusus di sela dalamnya namun kemudian aku mengurungkan niat.
Mungkinkah pengaruh obat ini kembali membuatku lupa daratan. Aku berusaha keras untuk mengingatnya kembali, aku pun menarik rokok dari saku celanaku. Kuraup wajahku, gundah sendiri dengan permasalahan yang tidak aku tau.
Sekelebat ingatan silih berganti namun aku tetap sulit untuk mengingatnya hingga kepalaku terasa mau pecah. Aku pun mencari Jena untuk mendapatkan jawaban dari segala kegundahan ku.
...
"Tidak ada apa-apa." Jawab Jena tapi wajahnya penuh akan rasa kecewa.
"Benarkah??" Tanyaku lagi.
Jena tidak menjawab, ia memalingkan wajahnya seolah menahan air mata.
Aku membuang nafas, agaknya Jena mulai merasa lelah. Batinku pun mulai merasa gelisah.
"Kalau memang Abang ada salah, katakan sejujurnya. Kita harus Secepatnya memperbaiki permasalahan ini, dek."
Jena balik menatap kedua bola mataku. Ada rasa kecewa yang mendalam dari tatap pandang matanya padaku.
"Abang sungguh tidak ingat atau pura-pura tidak ingat?" Bingkai mata Jena berkaca-kaca.
"Jangan bermain teka teki dengan saya..!!!! Tumpukan pekerjaan saya tidak sedikit, kita juga harus segera menyelesaikan proses pengajuan nikah."
"Jena tidak mau lanjut lagi..!!" Jawab Jena semakin kecewa.
Emosiku semakin meninggi. Rasa tidak sabar, marah, bingung juga takut berkumpul menjadi satu. Bukan perkara takut berhadapan dengan keluarga besar dan keluarga dari Jena tapi takut jika aku telah menganiaya dan melecehkan seorang gadis namun aku tidak menyadarinya.
Aku mengguncang kedua bahu Jena.
"Yang benar saja, dek. Abang nggak bisa tenang kalau begini caranya..!!" Ujarku tak bisa menahan diri, mungkin tatapanku sudah tajam penuh ancaman.
Akhirnya Jena memberikan tamparan keras di pipiku. Jena sungguh marah, ia menangis kencang. Mungkin itulah caranya mengungkapkan perasaan.
"Haruskah Jena mengemis belas kasihan ataupun menuntut laki-laki yang bahkan tidak paham apa yang dia lakukan." Kata Jena lantang di depanku.
Kini jantungku serasa berdesir kencang. Melihat reaksi Jena sudah tentu aku melakukan kesalahan besar.
"Sa_ya..... Melakukan hal tidak pantas sama kamu??" Tanyaku sembari menelan saliva dengan susah payah menunggu jawaban.
Jena tidak menjawabnya tapi melihat tangisnya tentu semua seakan membenarkan pertanyaanku. Hanya saja Jena tidak segera menjawab pertanyaan yang bisa melegakan hatiku.
Susahnya komunikasi di antara kita semakin memperburuk keadaan. Ku tarik nafas panjang lalu ku hembuskan perlahan.
"Kita nikah ya, dek..!!" Ajak ku.
"Nggak. Jena nggak mau nikah tanpa cinta meskipun kita di jodohkan." Tolak Jena tanpa basa basi.
"Jangan begitu lah, dek. Ayo kita bicara dulu..!! Kita clear kan masalah ini..!!"
.
.
.
.
penyesalan datang belakangan