Viona mendapati sang mama yang tiba-tiba menikah lagi tanpa persetujuan darinya, membuat gadis itu menolak tegas dan menentang pernikahan itu. Ia yang awalnya sangat membenci ayah barunya karena usia sang ayah tiri jauh lebih muda dari ibunya, kini justru kepincut ayah tiri nya sendiri. Yuk kepoin bagaimana ceritanya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersesat
Usai menelepon, Viona buru-buru mengantongi ponselnya ke dalam saku celananya, ia menatap ke sekitarnya ternyata rombongan teman-temannya sudah berada jauh di sana. Kemudian Viona turun dari bukit kecil itu menapaki jalan di mana tadi dia melewatinya, suasana hening di sekitar lereng, hanya terdengar kicau burung dan suara jangkrik yang bernyanyi tiang, itu membuat Viona merasa cemas, Ia seorang diri di sana. Kemudian Viona dengan cepat melangkahkan kakinya untuk menyusul teman-temannya di depan, akan tetapi begitu Viona sampai di perempatan jalan tanpa di sadari dia berbelok ke arah kiri sesuai dengan arah panah yang ditunjukkan di tempat itu, tanpa sedikitpun Viona merasa curiga.
Dengan langkah cepat, bahkan setengah berlari Viona ingin segera mencapai teman-temannya, akan tetapi semakin cepat langkah Viona, gadis itu semakin tidak melihat di mana keberadaan teman-temannya, seolah dia sedang mengejar bayangan, yang tak akan pernah sampai.
Viona Berhenti sejenak, nafasnya terengah-engah karena dia berlari-lari. "Kenapa cepat sekali mereka jalannya?" gumam Viona.
Viona kembali mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Sisil, akan tetapi sinyal di situ terlihat susah seperti jalur berombak, kadang nyambung kadang tidak. Viona kesusahan untuk menelepon Sisil agar rombongan menunggu dirinya. Karena kesal, akhirnya Viona kembali menyimpan ponsel itu ke dalam saku celananya dan melanjutkan untuk berjalan. Entah berapa meter semenjak dari perempatan jalan, Viona merasa semakin aneh dengan perjalanannya. Semakin di tapaki, jalanan itu terlihat semakin menurun dan bahkan sedikit licin dan terjal. "Apa mungkin mereka lewat sini?" Viona bermonolog. Rasa cemas tiba-tiba menggelayuti seluruh tubuhnya, ia takut tersesat. Tapi, akal Sehatnya kembali menepis, "tidak mungkin aku salah jalan. Tadi aku lihat sendiri arah panah menunjuk ke jalan ini, Mereka pasti tidak jauh dari sini." gumamnya berusaha menenangkan perasaan nya sendiri yang semakin gelisah.
"aku harus bisa mengejar mereka." gumamnya menyemangati diri sendiri.
Viona terus berjalan, bahkan terkadang ia berlari untuk mempercepat langkah, "Sisil... tungguin gue!!" sesekali Viona berteriak memanggil nama Sisil berharap agar teman temannya ada yang mendengar suaranya.
Tapi, semua usahanya nihil, tidak membuahkan apa-apa. Justru Viona malah tambah masuk ke dalam dan tersesat.
"kok semakin lama mereka semakin nggak ada? apa mungkin aku salah ambil jalan?" pikir Viona. Dia berhenti terduduk-duduk di pinggir sebuah jurang, Viona menatap ke belakang, Jurang itu terlihat sangat dalam dan terjal. Viona bergidik, ia membayangkan Andaikan saja dia terjatuh ke dalamnya, entah siapa yang akan menolongnya di tempat sepi seperti ini. Apa gue putar balik aja ya?" gumamnya bertanya pada diri sendiri.
Saat Fiona terduduk sendiri, otot-otot kakinya menegang, lelah oleh rentetan larinya yang tak henti. Kegelisahan membungkus tubuhnya di keheningan hutan yang menyeramkan ini. "Bagaimana mungkin aku, seorang gadis, terjebak seorang diri di tempat semenyedihkan ini?" pikirnya dalam hati sambil mengingat panggilan yang memicu semuanya, panggilan dari Steven, suami baru mamanya. Perasaannya terbakar amarah saat membayangkan wajah Steven. "Ini semua gara-gara kamu, sialan! Andai saja aku tidak mengangkat telepon itu. Aku benci sama kamu!" ujarnya sambil melemparkan ranting kecil ke jurang yang menganga di depannya.
Tiba-tiba, di tengah keheningan dan ketakutannya, terdengar suara injakan ranting dan dedaunan yang mendekat. Viona yang tengah menghadap ke jurang itu pun menoleh secara spontan ke belakang, dengan jantung yang berdebar keras, siaga menghadapi apapun yang mungkin mendatangi dirinya di kesunyian yang tak berkesudahan.
Pada saat itu, sebuah ular besar tiba-tiba saja menjulang tinggi di hadapan viona, kepalanya terangkat siap untuk mencabik nyawa gadis malang tersebut. Viona terkejut hingga nafasnya tercekat, hal ini tentu di luar bayangannya. Betapa mungkin sebuah ular bisa berdiri menantang di depannya dan mengancam akan menggigitnya. Seluruh tubuh Viona bergetar, ketakutan mengunci gerakannya sehingga dia menjadi kaku.
Viona berbalik, namun tak ada jalan keluar; posisinya yang terpojok hanya menawarkan dua pilihan mengerikan. Jika dia mundur, jurang yang dalam siap menelannya hidup-hidup, sedangkan jika dia maju, ia harus berhadapan langsung dengan ular raksasa yang kini siap meluncurkan serangan mematikannya. Dengan air mata yang bercucuran membasahi pipinya, Viona merasakan takut yang menggigilkan tulang. Ia menangis dalam kesunyian, terjebak dalam situasi genting tanpa tahu harus berbuat apa. Ketakutan menyelimuti setiap sudut hatinya, membuatnya nyaris tak bisa berpikir.
"Tidak.. pergi!" Viona mencoba memberanikan diri untuk mengusir ular tersebut, namun ular itu bukannya takut, justru ular itu semakin mendekat dan menjulurkan lidahnya ke arah wajah Viona.
Vona berusaha mundur perlahan sambil sesekali tangannya mencari sesuatu yang bisa ia jadikan untuk senjata sebagai perlawanan terhadap ular tersebut. Mundur ke belakang sembari menggeser tubuhnya ke samping, agar Viona Tak terjatuh ke dalam jurang itu, akan tetapi sungguh naas, tanpa sengaja tanah yang dipijaki Viona longsor, sehingga tubuh Viona pun ikut terperosok ke bibir jurang. Mau tidak mau tubuh Viona menggelantung di bibir jurang, Untung saja tangannya masih berpegangan pada sebuah akar tanaman belukar. Tanaman belukar itu sebenarnya tidak terlalu kuat menanggung beban Viona yang menggelantung pada tanaman tersebut, menggantungkan nasibnya pada tumbuhan tersebut, antara hidup atau mati. Entah sampai berapa lama Viona mampu bertahan dengan berpegangan pada akar tersebut.
Sedangkan ular itu menjalar mendekat ke arah Viona, siap mematuk tangan Viona yang memegangi Akar tersebut. "Oh Tuhan, tolong aku!" bisiknya.
Tidak ada cara lain yang bisa Viona lakukan kecuali meminta pertolongan kepada sang pemilik hidup, Viona sudah pasrah andai saja saat ini adalah hari terakhirnya di dunia.
"tolong...!! tolong aku!!" Viona berteriak minta tolong, entah untuk siapa kata itu ia ucapkan, karena sudah pasti tidak akan ada yang bisa mendengar teriakannya. "pergi kau, ular sialan!!" pekik Viona sambil menangis.
Suara Viona menggema memecah keheningan di bibir jurang, meski demikian, tidak satu pun orang yang datang untuk memberikan pertolongan kepadanya.
Hingga kemudian, kepala ular itu sudah berdiri tepat di dekat tangan Viona. Viona semakin gemetar, ia sudah pasrah dengan situasinya. Viona tidak akan bisa selamat lagi. Jika tangannya di patok ular, sudah pasti ia akan melepaskan pegangan tangannya dan ia akan terjun bebas ke dasar jurang itu.
Ular itu semakin mendekat, suara desisan ular itu terdengar jelas di telinga Viona, menambah kesan mengerikan dari ular itu. Viona memejamkan kedua mata, ketakutan merayap di sejujur tubuhnya, ia bertambah gemetar kala sesuatu terasa menjalar di tangannya dan tiba-tiba...
"Aaaaa...!!!" Viona berteriak dengan kencang.