Bukan kita menginginkan lahir ke dunia ini. Bukan kita yang meminta untuk memiliki keadaan seperti ini.
Sudah bertahan begitu lama dan mencoba terus untuk bangkit dan pada kenyataannya semua tidak berpihak kepada kita?
Aira yang harus menjalani kehidupannya, drama dalam hidup yang sangat banyak terjadi dan sering bertanya siapa sebenarnya produser atas dirinya yang menciptakan skenario yang begitu menakutkan ini.
Lemah dan dan sangat membutuhkan tempat, membutuhkan seseorang yang memeluk dan menguatkannya?
Bagaimana Aira mampu menjalani semua ini? bagaimana Aira bisa bertahan dan apakah dia tidak akan menyerah?
Lalu apakah pria yang berada di dekatnya datang kepadanya adalah pria yang tulus yang dia inginkan?
Mari ikutin novelnya.
Jangan lupa follow akun Ig saya Ainuncefenis dan dapatkan kabar yang banyak akun Instagram saya.
Terima kasih.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8 Perbuatan Mereka.
Aira seperti biasa mengerjakan beberapa dokumen yang diperintahkan untuknya.
"Aira! Kamu sedang ada masalah ya?" tegur Nana.
"Maksud kamu?" tanya Aira.
Nana tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan layar ponsel itu yang ternyata pesan dari seseorang.
Tulisan itu cukup mengerikan berupa fitnah bahwa Aira melarikan uang Perusahaan dan juga dituduh pencuri dengan foto dirinya.
Aira melihatnya menelan saliva, dia sudah menduga orang-orang yang ada di balik itu pasti DC atas tagihan yang belum dia bayarkan.
Aira melihat di sekitarnya dan mungkin saja orang-orang kantor sudah ada yang tahu selain teman dekatnya. Aira seolah ingin melihat reaksi mereka.
"Di abaikan saja," ucap Aira.
"Kamu tidak ingin cerita apapun padaku?" tanya Nana yang pasti ingin sahabatnya itu lebih terbuka lagi.
"Itu tidak apa-apa dan hanya pekerjaan orang iseng saja," jawabnya.
"Aira kamu dipanggil Pak Arfandi tuh!" tiba-tiba salah satu rekannya memberitahu kepadanya.
"Aku," sahutnya yang membuat wanita itu menganggukkan kepala.
"Untuk apa dia memanggilku. Apa jangan-jangan ingin membahas ini?" batin Aira yang mulai cemas.
Dia sering mendengar kekejaman orang-orang penagihan yang memang melibatkan orang-orang kantor dan bahkan tidak segan-segan mengirim banyak pesan kepada orang-orang kantor.
Nana sahabatnya terus melihat Aira. Dia merasa Aira sepertinya memang ada masalah dan berusaha dipendam sendiri.
"Aku pergi dulu," ucapnya dengan wajah lesu. Nana menganggukkan kepala.
Aira dengan kegugupan yang sudah berdiri di depan ruangan Arfandi, pintu kaca itu bisa terlihat dari dalam orang yang ada di dalam dan begitu juga orang ada di dalam bisa melihat keluar.
Tok-tok-tok.
Aira mengetuk pintu dengan ragu yang membuat Arfandi mengangkat kepala yang melihat ke arah pintu.
"Masuklah!" tita Arfandi. Aira penuh keraguan untuk masuk yang mendorong pintu itu.
Langkahnya tampak tidak semangat dan hanya melihat ke lantai yang sudah berdiri di depan Arfandi.
Aira benar-benar takut mendapatkan masalah karena perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu yang merusak namanya.
"Kamu baik-baik saja?" itu pertanyaan yang ditanyakan Arfandi dan bukan membahas apa yang dia pikirkan.
Aira tidak menjawab dan hanya menunduk, entah kenapa perasaannya benar-benar sangat goyah dan bahkan ingin sekali menangis. Aira sebenarnya adalah wanita yang sangat cengeng dan begitu mudah meneteskan air mata, dia hanya berusaha untuk kuat.
Arfandi menghela nafas dan tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari dalam lacinya yang membuat Aira melihat ke atas meja itu yang berupa amplop putih.
"Kamu sudah bekerja keras menyelesaikan dokumen yang menjadi tanggung jawab kamu untuk para karyawan magang. Jadi kamu bisa ikut untuk perjalanan bisnis. Saya mengeluarkan surat izin untuk kamu," ucap Arfandi membuat Aira mengangkat kepala.
Mata Aira berkaca-kaca yang memang tak ingin meneteskan air mata.
Arfandi menautkan kedua alisnya yang sepertinya berusaha tenang menghadapi wanita yang dia tahu sedang tidak baik-baik saja. Mungkin Arfandi juga pasti mendapatkan pesan-pesan seperti orang-orang lain, tetapi tidak berusaha untuk mempertanyakannya.
"Kenapa? Kamu keberatan untuk ikut?" tanya Arfandi.
"Tidak! Tapi saya baru magang beberapa bulan di sini dan apa bisa melakukan itu?" tanyanya dengan keraguan.
"Bukan saya yang memilih ini, tetapi bagian HRD dan dia pasti tahu kualitas kamu," jawab Arfandi.
"Hmmm, kamu hanya tinggal menyiapkan diri dan juga tubuh yang sehat untuk bisa mengikuti kegiatan ini. Ini akan menambah pengalaman untuk kamu dan masalah yang lainnya Perusahaan yang menanggung," ucap Arfandi.
"Bagaimana kamu belum mengambil surat persetujuannya. Atau kamu tidak setuju?" tanya Arfandi yang memang tidak melihat respon Aira.
"Saya setuju," jawab Aira.
"Baiklah kalau begitu. Di tunggu kualitas dan perkembangan kamu," ucap Arfandi.
Aira menganggukkan kepala.
"Hmmmm, soal tadi pagi saya minta maaf," ucap Aira.
"Ternyata minta maaf dan bukan ucapan terima kasih," sahut Arfandi.
Aira terdiam. Arfandi yang keluar dari area tempat duduknya yang sekarang berdiri di depan Aira dengan sedikit bersandar di pinggir meja dan kedua tangannya dilipat di dadanya.
"Aira jangan terlalu formal kepadaku. Kita mungkin sudah lama tidak bertemu, tapi bukankah dulu kita pernah berteman, kita juga cukup dekat dulu bukan. Jadi kamu bisa menganggap ku seperti Arfan yang kamu kenal dan tidak sungkan padaku," ucap Arfandi yang tidak ingin Aira harus berlebihan padanya atau menganggap dia bos.
"Kamu atasanku di sini dan bukankah seharusnya aku memang harus berbicara secara formal," ucap Aira.
"Kalau begitulah bicara secara biasa kepadaku saat tidak di kantor," ucap Arfandi.
Aira hanya diam.
"Kamu sepertinya masih banyak pekerjaan, aku tidak ingin mengganggu pekerjaan kamu. Kembalilah bekerja," ucap Arfandi yang membuat Aira menganggukkan kepala.
Aira mengambil surat tersebut dan kemudian langsung berlalu dari hadapan Arfandi. Tiba-tiba saja Arfandi tersenyum melihat kepergian Aira.
"Aku tahu Aira kamu saat ini sedang mengalami masa yang sulit dan kamu sama seperti dulu yang selalu memendam semuanya sendiri," batin Arfandi.
Sepertinya teman sekolahnya itu yang sudah begitu lama dia tidak temui dan ternyata dia masih mengingat bagaimana temannya itu.
*****
Karena Aira akan melakukan perjalanan bisnis yang ikut dengan rekan-rekannya. Jadi Aira hari ini ke rumah orang tuanya untuk sekedar meminta izin.
Ibunya, Meisya yang berada di dapur yang membuat makanan dan sementara akhirnya duduk di meja makan menikmati bubur yang baru saja selesai dimasak.
"Kamu kenapa tidak tinggal di sini saja? Untuk apa tinggal sendiri dan lagi pula jaraknya sangat jauh dari tempat kamu magang," ucap Meisya memberikan saran kepada putrinya itu dan bahkan hal itu bukan pertama kali dia lakukan.
"Aku tidak fokus bekerja jika berada di rumah," jawabnya dengan simpel dan jawaban itu selalu dia berikan.
"Jika kamu tidak ingin berbagai kamar dengan Dinda. Mama akan membersihkan gudang dan kamu bisa tidur di sana," ucap Meisya.
Di rumah mereka yang dulu Aira memang tinggal satu kamar dan adiknya bersama dengan kakaknya. Tetapi keluarga Aira memang baru pindah rumah dan Aira memilih untuk tinggal sendiri karena rumah itu hanya terdapat beberapa kamar saja.
"Tidak usah aku tinggal di tempatku saja," jawabnya menolak.
"Lalu bagaimana? Apa kamu sudah membayar uang sewa rumah kamu?" tanya Meisya.
Aira menganggukkan kepala dan padahal dari ekspresi wajahnya sangat tidak yakin.
"Kamu baik-baik di sana dan jaga kesehatan. Karena Rafa yang menjalankan usahanya, jadi Mama sangat sulit menitipkan makanan untuk diantar ke tempat kamu. Jadi terkadang saja kalau Dinda tidak ada pekerjaan baru bisa mampir," ucap Meisya.
"Tidak apa-apa," jawab Aira.
"Papa jam berapa pulang?" tanya Aira.
"Mungkin agak sore. Kamu tunggu saja papa kamu pulang baru kembali. Nanti Mama akan siapkan makanan kering agar bisa kamu bawa," ucap Meisya. Aira menganggukkan kepala.
Meisya yang terlihat membuka laci di dekat ruang tamu dan menghampiri Aira.
"Kamu pakai untuk jajan," Meisya menyelipkan uang di tangan Aira.
"Jangan beritahu Dinda kalau Mama memberi kamu uang. Kemarin Dinda meminta tambahan uang untuk membeli kendaraan baru dan Mama tidak punya dana. Jadi mama hanya ada sedikit untuk kamu," ucap Meisya.
Aira menganggukkan kepala yang tidak melihat nominal uang tersebut.
Bersambung.....
semoga sj afandi mau membantu mia
insyaallah aku mampir baca novel barumu thor
itu arfandi ada apa ya ga keluar dari kantornya apa dia sibuk di dlm apa sakit, bikin penasaran aj
jarang2 kan aira bisa sedekat itu sama arfandi biasanya dia selalu menjauh...
tapi arfandi lebih menyukai aira,,,
setelah ini aira bisa tegas dalam berbicara apalagi lawannya si natalie... dan jangan terlalu insecure ... semua butuh proses