🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Bolehkah aku belajar mencintaimu?
Dion sampai melebarkan kedua telinganya, memastikan jika yang dia dengar tadi tidak salah. Tapi memang terdengar jelas jika sahabatnya itu tadi bilang ingin memilih cincin pernikahan. Segera Dion berdiri dan berpindah tempat duduk di samping Daffa.
"Masih waras kan, Daf? Apa lagi ngelindur?" masih dengan tidak percayanya, Dion kembali bertanya. Demi memastikan sahabatnya itu masih dalam keadaan sehat dan otaknya masih beneran lurus.
Daffa menanggapi dengan anggukan pelan, "Namanya Aini. Dan aku sudah menikahinya,"
Matanya melebar, bahkan jantungnya seakan berhenti berdetak ketika mendengar. Dion mengusap wajahnya kasar dan berakhir menatap Daffa dengan lekat. Dia sangat tau sekali jika sahabatnya itu sedang serius dan sama sekali tidak terlihat seperti sedang bercanda.
"Wow... Wow... Menikah?" tanyanya memastikan lagi, dan Daffa kembali mengangguk membenarkan.
"Daf, ini... Ini..." Dion sampai tidak bisa berkata-kata saking tidak percayanya, sepersekian detik kemudian sebuah senyuman mengembang diwajahnya. "Siapa wanita yang sudah berhasil menggantikan posisi Celine dihati kamu, Daf? Secepat itu kamu menikah dan tidak mengundangku!"
Lagaknya seperti ingin marah, tapi justru dia dibuat senang karena mendengar kabar jika Daffa sudah menikah. Sebagai sahabat yang baik, dia memang selalu mendoakan yang terbaik untuk Daffa.
"Pernikahan kami terjadi secara mendadak dan memang tidak direncanakan. Ayahnya sedang sakit dan memintaku untuk menikahinya,"
"Ohhh... Nikah paksa? Tapi kamu cinta nggak?" tanya Dion, mencoba menggali lebih dalam lagi.
Sayangnya Daffa tidak menunjukkan tanda-tanda ingin kembali bercerita. Dia lebih memilih kembali diam, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Dion. Sengaja begitu karena dia juga masih ragu dengan perasaannya, jelas dia tidak ingin menebak-nebak karena masih takut untuk melangkah terlalu jauh. Perasaan cinta itu seperti sudah hilang bersama dengan kepergian Celine dulu.
Namun, saat melihat perhatian yang ditunjukkan oleh Aini, hatinya mulai sedikit tergerak. Seperti ada sesuatu yang berhasil menghidupkan kembali hatinya yang sudah lama mati. Sikap temperamental yang dia tunjukkan diawal sebagai bentuk penolakan atas pernikahan mereka nyatanya tak membuat Aini mundur dan tetap bersikap baik padanya. Bahkan hampir setiap pagi dia bisa mendengar suara Aini mengaji, dan itu cukup menenangkan hatinya.
Setelah mempertimbangkan lagi, akhirnya Daffa memutuskan untuk mengajak Aini saja besok dan membiarkan istrinya itu yang memilih sendiri. Bukan karena apa dia ingin membeli cincin, meskipun terpaksa tapi pernikahan mereka memang sudah sah secara hukum dan agama. Dan sepenuhnya Daffa sadar akan tanggung jawabnya, meskipun dia belum bisa menerima Aini sepenuhnya dalam hidupnya, namun dia akan belajar menerima Aini sebagai istrinya.
Meninggalkan Dion dengan sejuta pertanyaannya, Daffa memilih untuk pamit. Dan sorenya dia benar-benar menepati janjinya untuk menjemput Aini. Sengaja dia pulang lebih awal sebelum matahari belum sepenuhnya terbenam supaya tidak kemalaman dijalan. Setelah berpamitan dengan kedua mertuanya, Daffa langsung membawa Aini untuk pulang dengan mobilnya.
"Besok kamu berangkat kerja?" sambil tetap fokus menatap jalanan yang padat oleh kendaraan, Daffa bertanya pada Aini yang tengah duduk di sampingnya. Ini adalah jamnya macet hingga Daffa tidak bisa membawa mobilnya cepat-cepat.
"Iya, Mas. Kamu tidak keberatan kan kalau aku tetap kerja?" meskipun sudah pernah bertanya dan mendapatkan jawaban terserah, Aini tetap bertanya lagi. Kali aja kali ini dia mendapatkan jawaban berbeda.
"Tidak masalah, selama itu membuat kamu senang,"
Dan benar saja, jawaban kali ini sedikit lebih panjang dan cukup membuatnya puas. Membuat kamu senang? Apakah itu artinya pria disampingnya ini mulai memikirkan tentang kebahagiaannya?
"Maaf ya Mas karena sudah melibatkan kamu begitu jauh. Sungguh, aku tidak ada niat untuk menggantikan posisi mantan istri kamu atau semacamnya. Tapi aku juga tidak ingin kita bercerai, karena pernikahan itu bukanlah mainan,"
"Kamu tidak perlu terus merasa bersalah, Aini." untuk pertama kalinya Daffa menyebutkan nama istrinya itu setelah mengucapkan ijab qobul beberapa hari lalu, dan itu mampu membuat Aini tertegun.
Sambil sesekali menoleh ke arah Aini, Daffa melanjutkan kembali ucapannya, "Kamu benar, apa yang terjadi memang bukan karena kemauan kita. Dan disini kamu tidak menggantikan posisi siapapun, tetaplah menjadi Aini yang seperti ini. Meskipun maaf, aku belum bisa memberikan tanggung jawab sebagai seorang suami sepenuhnya karena semua ini terlalu mendadak bagiku."
Aini masih tak percaya, baru kali ini dia mendengar Daffa bicara sepanjang dan seserius ini, "Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa memahami itu, dan aku tidak akan menuntut apapun dari kamu. Justru aku ingin berterimakasih karena kamu sudah memperdulikan kesehatan ayahku dengan mau menikahiku,"
Suasana kembali hening, Daffa kembali fokus menyetir mobilnya. Setelah hampir satu jam bermacet-macetan, akhirnya mereka sudah sampai di halaman rumah dengan warna langit yang sudah cukup gelap meskipun belum terlalu larut karena ini baru jam tujuh malam.
Sebenarnya tadi Daffa ingin mengajak Aini untuk makan diluar sekalian.Tapi saat melihat Aini seperti sudah sangat lelah dan beberapa kali menguap, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu.
"Tunggu, Ai." Daffa menahan pergelangan tangan Aini sebelum gadis itu sempat turun dari mobil.
Aini menatap tangannya dulu yang sedang dipegangi oleh Daffa sebelum bertanya, "Ya, ada apa Mas?"
"Besok siang aku jemput kamu ditempat kerjamu. Kita akan memilih cincin pernikahan," ucap Daffa terlihat sangat yakin.
"Ci-cincin? Tapi untuk apa Mas?" tanyanya dengan kening sedikit berkerut, karena heran saja kenapa Daffa tiba-tiba ingin mengajaknya memilih cincin pernikahan.
"Kita sudah menikah, dan kamu pantas untuk mendapatkannya,"
Aini tersenyum tipis. Dia tau maksud suaminya itu baik, tapi dia tidak ingin memaksakan, "Mas, kamu tidak perlu bertindak sampai sejauh ini. Bukankah aku tadi sudah bilang jika aku tidak akan menuntut apapun dari kamu,"
"Anggap saja aku yang memintanya sebagai salah satu bentuk tanggung jawabku sebagai suami kamu. Aku melakukan ini karena kamu adalah istriku, Nur Aini Anindita."
Begitu senang Aini mendengar, hingga dia tidak mampu menjawab dan hanya memberikan anggukan kecil sebagai jawaban. Keduanya segera turun dari dalam mobil dan berjalan beriringan masuk ke dalam rumah tanpa bersuara lagi, hanya keheningan yang mengiringi langkah kaki mereka.
Kedua orang tua Daffa yang memang sedang duduk-duduk santai di ruang tengah bersama dengan anak gadis mereka dibuat senyum-senyum sendiri saat melihat kedatangan pasangan suami istri yang belum lama menikah itu.
"Aku naik ke kamar duluan," pamit Daffa yang dijawab anggukan oleh Aini. Sementara Aini lebih memilih ikut bergabung dulu bersama dengan kedua mertuanya dan adik iparnya.
Setelah memastikan putranya sudah tidak terlihat lagi dan mungkin sudah masuk ke dalam kamarnya, Devita segera merangkul pundak menantunya.
"Itu Daffa salah minum obat apa gimana, Ai? Dia jemput kamu?"
Aini mengangguk, "Iya, Ma. Tadi Mas Daffa jemput ke kontrakan, dan tadi siang Mas Daffa juga datang ke rumah sakit untuk menjemput kami pulang,"
Devita langsung tersenyum lebar, hatinya begitu senang mendengarnya, "Ya sudah, sekarang kamu susul suami kamu ke kamar sana. Soal makan malam biar Mama saja yang siapkan bersama si bibi."
Aini kembali mengangguk karena sebenarnya dia memang sangat lelah meskipun perutnya juga terasa lapar. Hampir seharian ini dia belum beristirahat karena harus membantu membereskan rumah dan memasak. sementara ibunya dia biarkan untuk beristirahat setelah hampir setiap hari menemani ayahnya dirumah sakit.
Sesampainya didalam kamar, Aini tidak melihat keberadaan Daffa, hanya terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang menandakan jika suaminya itu sedang mandi. Sambil menunggu, Aini memilih duduk-duduk di sofa sambil membuka ponselnya dan mulai membalas pesan dari Hana yang sudah dia abaikan sejak siang.
Mata lelahnya sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi, hingga setelah pesan untuk Hana terkirim meskipun belum sampai dibaca, Aini segera meletakkan ponselnya di atas meja dan menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Tak butuh waktu lama baginya untuk langsung mengarungi mimpi-mimpi indah, karena memang sudah begitu ngantuknya.
Selang sepuluh menit kemudian, pintu kamar mandi kembali dibuka. Daffa keluar dengan wajah yang sudah lebih segar. Melihat Aini yang sampai ketiduran di sofa karena menunggunya, Daffa segera menghampiri dan berjongkok di hadapannya.
Ingin membangunkan, tapi melihat wajah cantik itu begitu tenang dan damai saat tertidur membuat Daffa tidak tega untuk mengganggunya. Hingga dia membiarkannya dulu dan memilih untuk menatapnya sedikit lebih lama.
"Aini, bolehkah aku belajar untuk mencintai kamu?"
-
-
-
Sementara itu di sebuah apartemen mewah di negara yang berbeda, seorang wanita tengah duduk seorang diri sambil memegang sebuah foto ditangannya. Foto seseorang yang selalu mengisi hatinya, meskipun dengan terpaksa dia harus melepaskannya dulu hanya demi mengejar mimpinya.
Kebetulan sebulan yang lalu dia bertemu dengan Fera, sahabat lamanya. Dan dari Fera dia mendapatkan informasi jika sampai sekarang Daffa masih menunggunya dan belum bisa move on darinya.
Celine meraih ponselnya dari atas meja dan mencoba menghubungi manajernya.
"Aku sudah tidak ingin memperpanjang kontraknya, dan aku ingin mengakhiri semuanya. Tolong siapkan keperluan untuk aku pulang ke Indonesia, ada seseorang sedang menungguku disana."
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧