Putri seorang Duke pada zaman abad pertengahan terkejut saat terbangun dari pingsannya di saat pesta debutantenya di kalangan sosialisasi bangsawan kelas atas. Ia kembali mengulang waktu setelah mati dibunuh suami dan selir sang suami saat akan melahirkan bayinya. Sang putri bertekad akan membalas perbuatan mereka dikehidupan lampau dengan pembalasan yang sangat kejam bagi akal sehat manusia pada zaman itu.
Berhasilkah ia membalas kejahatan mereka dikehidupan yang kedua ini?
Akankah ia berhasil menyelamatkan keluarganya dari tragedi pembantaian yang didalangi suaminya di kehidupan lampau?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GadihJambi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal mendapatkan izin
Ruby pergi menemui ayahnya yang kebetulan berada diruang kerjanya bersama sang tangan kanan Bruce setelah menjabarkan rencananya untuk membantu diperbatasan pada Dame Charles.
Dame Charles jatuh lunglai dikursi taman dengan tubuh lemas bermandikan keringat dingin setelah Ruby pergi dari taman itu. Aura yang menyeramkan keluar dari tubuh gadis itu membuat pria tangguh dan besar itu kesulitan bernapas seakan-akan ada tangan tak kasat mata mencekik lehernya sehingga ia kesulitan untuk bernapas.
"Oh, Dewa! Siapa sebenarnya Nona muda Caleste ini? Kenapa auranya begitu menakutkan melebihi Tuan Jenderal, Panglima dan bahkan Yang Mulia Duke sendiri? Jika saja ia masih disini, kemungkinan besar aku akan mati begitu saja hanya karena aura yang dikeluarkannya," ucap Charles lirih sembari menormalkan detak jantungnya.
Pria itu menenangkan diri sejenak sebelum beranjak dari taman bunga untuk kembali ke barak ksatria yang ada dikediaman itu.
Sementara itu, diruang kerja Duke Caleste, Ruby membuat sang ayah syok dengan keputusannya yang akan ikut Dame Charles ke perbatasan untuk membantu sang kakak.
"Yang Mulia, lebih baik saya keluar sehingga Yang Mulia bisa leluasa berbincang dengan Nona muda," pinta Bruce yang merasa tidak enak berada ditengah-tengah pembicaraan ayah dan anak.
"Tidak! Paman tetap disini dan ikut memberikan pendapat atau masukan tentang keputusanku tadi!" tolak Ruby dengan nada tegas tetapi masih terlihat lembut dan anggun.
Beberapa detik Duke Marvin dan Bruce tertegun melihat sikap tegas Ruby yang pertama kali mereka lihat.
"Ada apa? Ada yang aneh denganku?" tanya Ruby dengan bingung menatap keduanya satu persatu.
"Tidak ada, Nona!" jawab Bruce dengan cepat dan sedikit tegang wajahnya.
"Iya, sayang! Ayah senang melihat kau begitu peduli dengan kedua kakakmu, tetapi mengikuti Charles keperbatasan yang menjadi tempat perang dua kerajaan juga bukan ide yang bagus, Ruby. Kau anak perempuan satu-satunya ayah dan ibu, jika terjadi sesuatu padamu di daerah peperangan itu bagaimana kami berdua akan hidup? Ayah tidak menyetujui keputusanmu untuk ikut kesana! Percayakan saja semuanya pada kedua kakakmu dan tunggu kepulangan mereka berdua disini bersama ayah dan ibu," sahut Duke Marvin menolak dengan lembut keputusan Ruby.
Ruby menatap sendu wajah sang ayah yang masih terlihat muda dan segar. Ia memejamkan mata sembari membuang pelan napasnya guna menetralkan emosinya.
"Tenang Ruby, tenang! Kau tidak boleh marah pada ayahmu karena ia melakukan itu semua untuk kebaikanmu. Mereka terlalu menyayangi mu sehingga mereka tidak mau dirimu kenapa-napa," gumam Ruby lirih tanpa suara.
Duke Marvin mengamati sosok sang anak yang begitu berbeda sikapnya dari yang biasanya. Jika dahulu putrinya begitu manja, semaunya, bertingkah seenaknya dan terlihat tidak peduli dengan siapapun kecuali dirinya sendiri. Namun sekarang, putri sudah berubah menjadi lebih dewasa, anggun, tegas dalam berbicara, dan mulai menunjukkan kepeduliannya. Disatu sisi pria paruh baya itu sangat senang dengan perubahan tersebut, tetapi disisi lainnya ia sedikit kehilangan tingkah manja sang putri yang selalu meminta sesuatu darinya yang sekarang perlahan menghilang.
Duchess Everly baru saja kembali dari tugasnya yang seorang pengajar bagi Nona-nona muda yang butuh pelajaran etika ataupun keterampilan memutuskan untuk menuju ruang kerja sang suami.
"Apa suamiku ada didalam?" tanya Duchess Everly begitu sampai didepan pintu masuk ruang kerja Duke Caleste pada dua penjaga disisi kiri dan kanan pintu.
"Ada, Yang Mulia! Di dalam juga ada Nona muda yang datang satu jam yang lalu," jawab penjaga pintu dengan hormat.
"Oh, begitu kah? Bukakan pintu nya karena aku akan masuk!" ucap Duchess Everly sambil tersenyum lebar.
Kedua penjaga itu menunduk hormat lalu membukakan pintu tersebut dan mempersilakan sang Nyonya untuk masuk.
Ruang kerja Duke di kediaman nya bukanlah ruang kerja seperti zaman modern yang begitu dibuka langsung terlihat meja dan kursi serta beberapa lemari yang penuh dengan buku-buku.
Ruangan itu mempunyai lorong panjang dengan beberapa lemari penuh buku-buku dikedua sisinya, setelah melewati itu akan ditemui meja bundar yang besar dengan enam kursi disekelilingnya sebagai tempat Duke Caleste menerima tamu yang datang mengunjungi membicarakan tentang bisnis dan sebagai tempat berbincang dengan kedua putranya tentang bisnis keluarga mereka. Setelah itu barulah masuk kesebuah ruangan dengan beberapa sofa sebagai tempat duduk yang nyaman dengan sebuah meja di sudut ruangan yang menjadi tempat Bruce bekerja sebagai asisten pribadi dan tangan kanan Duke Caleste. Meja dan kursi Duke Caleste berada ditengah-tengah ruangan itu dengan sebuah lemari besar dibelakangnya yang penuh dengan buku dan berkas-berkas penting tentang bisnisnya.
"Suamiku, kenapa aku tidak mendengar suara kalian dari depan?" tanya Duchess Everly sewaktu ia membuka pintu ruangan tersebut.
"Ibu!" seru Ruby dengan mata berbinar karena punya rencana dengan kedatangan ibunya.
"Oh, sayangku! Ibu senang melihatmu disini bersama ayahmu!" sahut Duchess Everly dengan tersenyum lebar dan memeluk tubuh Ruby dengan lembut.
Duchess Everly bahkan langsung duduk disamping Ruby di sofa yang ada dihadapan Duke Marvin.
Melihat kedatangan sang Duchess, Bruce punya rencana brilian untuk keluar dari suasana canggung di ruangan itu.
"Yang Mulia, hamba akan panggil pelayan untuk menyajikan teh dan beberapa camilan!" ucap Bruce dengan cepat dan langsung ngacir keluar dari ruangan itu.
Ruby langsung memasang wajah memelas dihadapan sang ibu dan mengatakan langsung niatnya yang memutuskan untuk ikut ke perbatasan bersama Dame Charles guna membantu kedua kakaknya.
"Tidak sayangku! Ibu setuju dengan ayahmu untuk tidak mengizinkanmu kesana! Disana medan perang yang penuh dengan mayat dan tempat yang buruk untuk seorang gadis seperti mu!" tolak Duchess Everly dengan menggenggam lembut tangan sang anak.
Ruby memasang wajah cemberut mendengar penolakan ibunya. Duke Marvin yang tidak bisa menahan gemes dengan muka cemberut sang anak langsung berpindah tempat dari kursinya menuju sofa yang sama dengan kedua wanita kesayangannya.
Ia mencubit pipi gembul Ruby dengan gemes dan merengkuh bahunya agar bersandar di dada bidangnya yang kokoh. Ruby tidak menolak perlakuan lembut sang ayah, ia bahkan memeluk manja tubuh sang ayah meskipun dengan muka cemberut.
Duchess Everly terkekeh geli melihat wajah cemberut sang putri yang tetap manja dipelukan sang ayah.
"Huh, sepertinya aku tidak bisa pergi dengan cara baik-baik! Aku paham dan mengerti dengan kecemasan dan kekhawatiran mereka padaku. Tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan keberlangsungan hidup dan mati kedua kakakku! Aku harus matang-matang mengatur rencana untuk ikut pergi ke sana tanpa ketahuan ayah dan ibu!" batin Ruby dengan menyeringai licik.
Bersambung....