L'Oubli

Rintik hujan turun seolah jarum halus yang jatuh dari langit. Di luar, kabut mengambang rendah, membungkus jalanan laksana kelambu halus yang menyimpan rahasia.

Murni mengarahkan pandang ke luar jendela, setengah melamun. Waktu cutinya selama tiga bulan sudah hampir habis, tapi bukannya menemukan kedamaian atau ketenangan, pikirannya malah semakin kusut.

Awalnya, ia mengajukan cuti karena merasa ingin menata hati. Mimpi-mimpi buruk yang berulang itu membuatnya mempertanyakan pilihannya. Ia harus yakin apakah jalan yang dipilihnya telah benar.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya Murni merasa berdosa, karena pernah mengira mungkin saja biara itu berhantu. Dan hantu itu mengganggunya dalam mimpi. Tapi itu segera ia tepis dengan membuat tanda salib.

“Bunda Maria yang Maha Kudus, mohon ampuni aku.” Murni bergumam, lalu melanjutkan dengan doa rosario sepanjang malam.

Karena mimpinya terlalu aneh, dan memalukan, karena melibatkan sosok lawan jenis di sana, padahal itu sesuatu yang tabu untuk seseorang dengan status seperti dirinya, Murni tidak berani menceritakan itu pada siapa pun.

Itulah sebabnya ia mengajukan cuti, berpikir bahwa ia harus mencari solusi di luar biara, agar bisa menelaah secara netral tanpa dipengaruhi dogma.

“Bagaimana bisa kau mempertanyakan apakah niatmu benar. Sejak kecil, hatimu sudah bulat untuk melayani Tuhan. Kau seperti memakai kaca mata yang membuat pandanganmu tetap lurus ke depan, tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.” Begitu ucapan suster kepala ketika ia mengajukan cuti.

Murni sendiri hampir diyakinkan, dan sempat menunda cutinya. Tapi mimpi itu semakin kerap datang. Jika awalnya hanya sesekali, setelah ia membatalkan niat cuti malah hampir tiap malam.

Karena itu, dengan penuh tekad ia kembali menghadap suster kepala.

“Suster, aku ingin melayani Tuhan dengan hati penuh, tidak terdistorsi oleh hal-hal lain. Karena itu, mohon izinkan aku untuk mundur beberapa jenak agar aku bisa menelaah semuanya.” Murni tertunduk di depan suster kepala biara.

Kepala biara, Suster Maria, hanya menghela napas. “Apakah kau tidak ingin membicarakan apa penyebab kau tiba-tiba mempertanyakan semua? Barangkali kami bisa membantumu. Atau jika kau ingin itu menjadi rahasia, kau bisa mengucapkannya di ruang pengakuan dosa.”

Murni menggeleng lemah, “Bukan aku ingin itu menjadi rahasia, aku hanya… ingin mencoba menyendiri untuk merenung, mencari jawabannya sendiri dulu.”

“Mengapa harus cuti? Kalau merenung, bukankah di sini lebih tenang? Sejak bayi kau tumbuh di dalam biara, apakah kau bisa hidup sendiri?”

Murni tersenyum, “Maaf, Suster. Justru aku ingin mencari jawaban yang netral, tanpa dipengaruhi ajaran-ajaran agama. Apakah aku bisa hidup sendiri? Tentu saja bisa. Aku janji, jika aku tidak sanggup, aku akan segera kembali.”

Lama kemudian, Suster Maria menjawab, “Baiklah kalau begitu, aku menghormati keinginanmu. Berapa lama kau ingin cuti?”

“Hm… mungkin…” Murni berpikir, “Tiga bulan?”

“Selama itu?” Suster Maria terkejut dan mengerutkan kening.

“Jika aku telah menemukan jawaban dan hatiku kembali bulat, aku akan kembali sebelum waktu itu habis. Aku berjanji.”

Suster Maria menatapnya, kemudian mengembuskan napas berat, dan menepuk tangannya. “Kalau memang kau tidak tergoyahkan, aku bisa bicara apa lagi? Hati-hati di luar sana, Nak.”

“Terima kasih, Suster.” Murni menarik tangan Suster Maria dan menyentuhkan dahinya di punggung tangan kepala biara itu.

Ia bangkit dari kursi dan membalikkan tubuh, lalu keluar dari ruangan itu. Sementara Suster Maria menatap punggungnya. Wajah biarawati senior itu agak murung.

—

Sejak cuti, Murni pernah mencari makna mimpi di internet. Ia pergi ke warung internet untuk berselancar di mesin pencarian. Itu ia lakukan karena mimpi itu terlalu terasa nyata, padahal seharusnya mimpi hanyalah bunga tidur. Ia bukan belum pernah mengalami mimpi sebelumnya, tapi biasanya mimpi indah seperti berada di taman bunga. Atau kegiatan di siang hari yang membuatnya senang, akan terulang dalam mimpi.

Namun, sejak mimpi tentang dirinya yang ada di tengah kobaran api… dan laki-laki itu, apalagi mimpi itu berulang, dan makin sering, ia mulai bertanya-tanya. Apakah ini bukan sekadar mimpi? Mungkin saja ada makna di balik itu. Sebuah pesan, misalnya. Atau… entahlah.

Dan informasi yang ia dapatkan dari internet ternyata sangat banyak.

Bahwa mimpi… mungkin saja sebuah penglihatan, artinya pengalaman spiritual atau supranatural, yaitu melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat secara normal. Jadi dianggap wahyu atau pesan dari Tuhan atau kekuatan spiritual lain. Penglihatan biasanya lebih jelas daripada mimpi biasa yang hanya seperti bayang-bayang samar.

Mimpi juga bisa pengalaman di alam bawah sadar, yaitu melihat sesuatu yang dianggap memiliki makna atau pesan khusus.

Makna lain mimpi adalah nubuatan, atau ramalan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, hal yang memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan seseorang, baik dalam hal keputusannya, keyakinannya, atau arah hidupnya. Orang yang mengalami nubuatan diharapkan bertindak berdasarkan mimpi itu.

Semuanya membuat kepala Murni semakin berdenyut-denyut.  Itu seolah menunjukkan masa depan, masa lalu dan masa sekarang. Jadi… mimpinya termasuk yang mana?

Lalu Murni juga menemukan teori mimpi dari seseorang bernama Sigmund Freud, seorang psikoanalis terkenal dari Austria. Menurut Freud, mimpi adalah jendela ke alam bawah sadar yang menyimpan atau mengubur hasrat terpendam atau keinginan terlarang.

“Hah?” Murni tercengang dan menafikan teori yang ini. Bagaimana dibakar hidup-hidup bisa berarti keinginan terpendam?

Ia tetap tidak mendapat jawaban yang jelas, sampai malam itu.

Ketika ponselnya tiba-tiba bergetar dan ia menerima pesan aneh dari suaranya sendiri.

Dan sebuah petunjuk GPS yang membawa dirinya ke Warung Murni.

Sudah dua hari sejak malam dimana dirinya dituding oleh ‘bayangan’nya sendiri, Murni berusaha tidak kembali ke sana. Menekankan pada dirinya bahwa di sana tidak ada jawaban yang dicarinya.

Berusaha meyakinkan diri untuk mengabaikan saja mimpi-mimpi itu dan segera kembali ke biara.

Namun… malam ini, malam ketiga setelah ia dengan susah payah merantai keinginan untuk kembali, ia mendapati dirinya sedang menuju ke sana lagi.

Ada sesuatu tentang Mahanta… ya ada sesuatu tentang pria itu yang membuat semua bantahan untuk meyakinkan dirinya itu terpatahkan.

Entah apa. Murni juga tidak tahu.

Yang jelas… kini ia telah berdiri di depan pintu Warung Murni.