Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 UNIVERSE ARUNIKA— Tidak Ada Pilihan yang Tidak Menyakiti
Kayla memegang sisi gerbang pendakian.
Sari menggenggam tanganku seolah hidupnya bergantung di situ.
Aku berdiri di antara dua orang paling berarti dan paling menyakitkan dalam hidupku —
dan gunung menunggu jawaban yang akan memutuskan siapa yang kembali… dan siapa yang menghilang.
Kayla menoleh, suaranya pelan: “Aku nggak mau kamu hilang, Ka. Kalau harus ada yang bayar buat kamu tetap hidup… biar aku.”
Sari menatapku, matanya penuh air, bukan memaksa… tapi memohon aku jangan memilih kematian yang mudah.
> Bukan kematian fisik — tapi kematian diri.
Gunung bukan mau tubuhku.
Gunung mau membuatku kosong.
Itu perbedaannya.
---
Sari akhirnya bicara duluan.
Suara pecah, lirih, jujur:
“Raka… gue nggak mau lu pilih gue. Gue nggak mau lu pilih Kayla.
Gue cuma mau lu pilih diri lu sendiri.”
Kayla memalingkan wajah — sakit tapi paham.
“Jadi gue nggak cukup berharga untuk dipilih?”
suara Kayla gemetar, bukan marah — hanya takut tidak berarti.
Sari menunduk. “Lo berharga. Justru karena itu lo nggak boleh hilang demi orang lain.”
Dunia berhenti sebentar.
Aku melihat keduanya.
Dan di detik itu aku sadar:
Kalau aku bilang “gue pilih Kayla” → Kayla akan tersenyum dan melangkah sendiri ke dalam kegelapan.
Kalau aku bilang “gue pilih Sari” → Kayla akan hancur dan tetap akan hilang — bukan ke gunung, tapi ke dalam dirinya sendiri.
Kalau aku bilang “gue pilih diri gue sendiri” → salah satu dari mereka akan tetap merasa tidak cukup.
Tidak ada jawaban yang menyelamatkan ketiganya.
Lalu ada suara lain — bukan dari gunung, bukan dari hutan, bukan dari apa pun di luar.
Suara dari dalam kepalaku:
> “Gunung nggak butuh tubuh. Gunung butuh hati yang patah.
Pilih dengan cara yang paling melukai dirimu sendiri.”
Dan aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku menarik napas, setengah tubuhku gemetar.
“Aku bukan pilih Sari.”
Kayla mengangkat kepala — harapan hampir muncul.
“Aku bukan pilih Kayla.”
Harapan itu langsung jatuh.
“Aku pilih yang nggak bisa diganti siapa pun.”
Mereka berdua menunggu.
Dan akhirnya aku bilang:
> “Aku pilih aku…
dan aku nggak mau ada satu pun dari kalian yang hilang karena gue.”
Keheningan panjang.
Bukan lega.
Bukan sedih.
Sesak — karena keputusan itu tidak membuat semuanya aman… hanya membuat aku yang menanggung semuanya.
Kayla pelan berkata: “Kalau kamu pilih diri kamu… itu berarti pintu kamu akan tertutup untuk gue.”
Aku mengangguk — air mata jatuh. “Kalau pintu gue nutup demi lu… berarti pintu lu nggak terseret.”
Sari akhirnya menangis terisak — bukan karena sedih, tapi karena aku memilih opsi yang menyelamatkan semua kecuali diriku.
Kayla bicara lagi, suaranya patah: “Kalau pintu kamu tertutup… lu yang hilang.”
Aku menggeleng pelan. “Bukan hilang, Kay.
Gue cuma berhenti jadi alasan orang ninggalin dirinya sendiri.”
Aku melangkah melewati Kayla dan Sari — bukan ke dalam gerbang, bukan ke arah kota.
Ke arah hutan samping — arah yang tidak punya jalur.
Sari panik, memegang lenganku. “RAKA JANGAN MASUK NANTI LU HILANG!”
Aku menatap dia dari jarak dekat — untuk pertama kalinya bukan dengan ketakutan, tapi dengan keputusan.
“Kalau gue pilih salah satu dari kalian… gue kehilangan diri gue.
Kalau gue pilih diri gue… gue kehilangan dunia.”
Itu harga yang gunung tagih dari pemimpin rombongan.
Dan dari awal… aku memang pemimpin — bahkan kalau aku nggak mau.
Aku pelan melepaskan tangan Sari.
“Lu janji sama gue satu hal: jangan nyalahin diri lu. Jangan nyalahin Kayla.
Gue bukan mati. Gue cuma nutup pintu yang seharusnya gue tutup dari dulu.”
Kayla mulai terisak keras: “RAKA PLEASE JANGAN JADI PENJAWAB YANG GA ADA YANG MINTA—!”
Tapi aku membungkuk dan mencium keningnya pelan.
“Lo nggak harus mati buat gue.”
Kalimat yang gunung paling benci.
Lalu aku peluk Sari erat.
“Dan lo nggak harus jadi kuat sendirian.”
Kalimat yang gunung tidak bisa patahkan.
Setelah itu, aku mundur dua langkah.
Kayla memekik: “RAKA JANGAN PERGI!”
Sari berteriak lebih keras: “KA — KITA NEMBUS INI BERTIGA ATAU GAK ADA YG NEMBUS!”
Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak tragedi dimulai.
“Justru karena kita bertiga… gue pergi.”
Dan aku masuk ke hutan, bukan ke gerbang pendakian.
Gunung Arunika tidak mengambil aku.
Aku datang sendiri — tanpa mengorbankan siapa pun.
Dan ketika langkahku hilang dalam kabut, aku mendengar suara belakangku… suara yang bukan dari dunia:
> “Tidak ada jiwa yang lebih berat daripada jiwa yang memilih terluka daripada melukai.”
Dan setelah itu…
sunyi.
---
Kayla jatuh menangis.
Sari memeluknya.
Tidak ada yang hilang di gerbang.
Tidak ada tubuh yang disentuh makhluk.
Tidak ada nama baru di gelang.
Pintu Raka menutup — alami, tanpa penyerahan orang lain.
Dan saat itu juga —
> daftar gelang berubah menjadi satu kata baru:
SELESAI
Tapi bab ini bukan happy ending.
Karena jauh di dalam hutan, Raka berjalan sendiri ke arah kabut.
Tidak memanggil siapa pun.
Tidak dipanggil siapa pun.
Menutup pintu bukan berarti selamat.
Tapi itu berarti tidak ada yang lain harus menggantikan.
Dan kadang…
itulah bentuk cinta yang paling menyakitkan.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor