NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Rian menghela napasnya.

"Mungkin aku memang tidak diizinkan untuk tahu, Ris," bisik Rian, suaranya parau oleh keputusasaan.

Aris duduk di depan Rian, mencoba menenangkan. "Yan, jangan berpikir begitu. Dia hanya fokus kuliah, bukan menghilang selamanya. Dunia tidak sedang berhenti, kamu juga jangan berhenti."

"Tapi aku merasa buta lagi, Ris! Aku di sini, menabung setiap hari, bekerja sampai tulangku serasa mau patah, tapi aku bahkan tidak tahu apakah Naya masih di sana, apakah dia masih menungguku, atau dia sudah dipaksa menikah oleh ayahnya!"

"Keyakinan, Yan. Ingat kan apa yang kamu bilang waktu kamu dengar lagu itu?" Aris menatap mata Rian dengan tajam. "Naya setia dalam penantiannya. Kamu harus setia dalam perjuanganmu. Kalau pintu ini tertutup, artinya kamu harus bangun pintu yang lain. Tapi jangan pernah berpikir untuk menyerah."

Rian menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam badai di batinnya. Tiga bulan tanpa kabar dari Dian adalah ujian kesabaran yang luar biasa. Ia kembali menatap jalanan London yang mulai diselimuti salju tipis. Ia harus bertahan. Ia harus percaya bahwa benang merah itu tetap ada, meski saat ini sedang tertutup kabut tebal ketidakpastian.

...----------------...

Sore itu London terasa sangat lembap. Rian sedang merapikan beberapa cangkir di meja bar saat seorang pria Indonesia di meja pojok melambaikan tangan, memberi isyarat meminta tagihan. Pria itu tampak sibuk; satu tangannya sibuk memasukkan kabel pengisi daya ke dalam tas, sementara laptopnya masih terbuka lebar di atas meja.

Rian melangkah mendekat. Saat ia meletakkan nampan kecil berisi bill di samping laptop tersebut, sebuah suara tiba-tiba keluar dari speaker. Suara yang jernih, dingin, namun memiliki frekuensi yang sanggup meruntuhkan seluruh pertahanan batin Rian.

"...Baik, laporan itu harus sampai di meja saya malam ini. Jangan ada keterlambatan lagi. Terima kasih."

Layar laptop itu menunjukkan sebuah ruang rapat besar di Jakarta, dan meskipun Rian hanya melihat punggung seorang wanita yang sedang berdiri membelakangi kamera, suara itu tidak mungkin salah.

Rian mematung. Tangannya yang memegang nampan gemetar hebat. Naya... batinnya berteriak. Itu adalah suara yang selalu ia putar berulang kali di ingatannya. Suara yang kini terdengar jauh lebih tegas dan dewasa, seolah-olah sang pemilik suara telah membangun tembok pelindung di sekeliling dirinya.

"Yan! Rian! Pesanan meja empat!" seru Aris dari balik konter.

Rian tersentak. Sedetik ia menoleh ke arah Aris, dan di detik itulah pria di meja pojok itu menekan tombol End Meeting dan langsung melipat laptopnya dengan cepat.

"Terima kasih, Mas," ujar pria itu sambil meletakkan beberapa lembar uang di atas kertas bill. Ia tampak terburu-buru, melirik jam tangannya, lalu segera menyampirkan tasnya dan melangkah keluar kafe sebelum Rian sempat membuka mulut.

Rian berdiri mematung di samping meja yang kini kosong. Ia menatap pintu kaca kafe yang masih berayun, melihat sosok pria itu menghilang di antara kerumunan orang di trotoar London.

"Ris..." suara Rian tercekat di tenggorokan saat Aris menghampirinya.

"Kamu kenapa, Yan? Muka kamu pucat sekali," tanya Aris heran.

"Suara tadi, Ris... suara dari laptop orang itu. Itu suara Naya. Aku yakin seribu persen itu Naya!" Rian mencengkeram pinggiran meja kayu itu dengan kuat.

Aris menatap Rian dengan tatapan antara ragu dan kasihan. "Banyak suara yang mirip di dunia ini, Yan. Mungkin kamu cuma terlalu rindu—"

"Tidak! Aku tahu getar suaranya, Ris! Dia bicara soal laporan, soal rapat... Dia benar-benar ada di kantor itu. Dia masih di sana!" mata Rian berbinar, bukan karena sedih, tapi karena sebuah keyakinan yang kembali terbakar.

Pria misterius itu pergi tanpa jejak, namun ia meninggalkan sesuatu yang jauh lebih berharga bagi Rian daripada uang tip di atas meja: sebuah bukti bahwa Naya masih berjuang di Jakarta. Dan jika Naya masih berjuang, maka Rian tidak punya alasan untuk menyerah.

Sejak kejadian di kafe sore itu, Rian bukan lagi pria yang sama. Gema suara Naya di laptop pengunjung itu seolah menjadi bensin yang menyiram api di batinnya. Ia tidak lagi sekadar bekerja untuk bertahan hidup; ia bekerja untuk memantaskan diri.

Setiap malam setelah shift kafenya berakhir, Rian duduk di meja kecil apartemennya, dikelilingi oleh tumpukan kertas kalkir dan penggaris arsitek. Ia mulai mendaftarkan karyanya pada kompetisi desain ruang publik di London.

"Kamu tidak tidur lagi, Yan?" Aris menghampirinya dengan dua cangkir kopi hitam.

Rian menggeleng tanpa mengalihkan pandangan dari sketsa bangunan dengan atap berbentuk sayap yang sedang ia kerjakan. "Suara Naya tempo hari terdengar sangat kuat, Ris. Dia sudah menjadi pemimpin di sana. Aku tidak bisa menemuinya jika aku masih begini-begini saja. Aku harus membangun namaku sendiri di kota ini agar aku punya harga diri saat berdiri di depannya nanti."

Aris menepuk bahu sahabatnya. "Aku dukung, Yan. Tapi jangan sampai ambisi ini membunuhmu perlahan."

Empat bulan berlalu dengan cepat. Musim dingin di London mulai menyapa saat sosok yang selama ini menghilang tiba-tiba muncul di ambang pintu kafe.

"Dian?" seru Aris terkejut.

Gadis itu berdiri di sana dengan jaket tebal dan wajah yang tampak sedikit lebih tirus, namun senyumnya masih sama. "Hai! Maaf aku menghilang begitu lama tanpa kabar. Riset lapanganku di luar kota benar-benar gila, dan ponselku sempat rusak berat."

Rian yang sedang mengelap meja bar, berhenti sejenak. Jantungnya berdegup. Pintu informasi itu terbuka kembali.

"Selamat datang kembali, Dian," sapa Rian dengan nada yang diusahakan setenang mungkin.

"Oh ya, aku sempat pulang ke Jakarta sebentar untuk ambil data riset," ujar Dian sambil menyerahkan bungkusan kopi aroma khas Indonesia sebagai oleh-oleh. "Jakarta sedang kacau suasananya. Kakakku bilang manajemen di Hardi Group sedang panas karena putri pemiliknya mulai mengambil kendali dengan sangat ketat. Kakakku saja sampai kurang tidur setiap hari."

Rian hanya mengangguk pelan, meskipun tangannya mencengkeram kain lap dengan kuat di bawah meja bar. Ia tahu betul siapa "putri" yang dimaksud.

Sebagai tanda terima kasih karena Rian dan Aris sering membantunya, Dian mengajak mereka makan malam di apartemennya pada hari Sabtu malam. Suasana terasa hangat dengan aroma masakan nasi goreng yang dimasak Dian.

Di tengah obrolan seru mereka, ponsel Dian yang tergeletak di atas meja bergetar. Layarnya menampilkan nama: "Mas Rio (Jakarta)".

"Wah, pas sekali! Kakakku menelepon. Pasti dia mau pamer kalau lemburan nya sudah selesai," Dian tertawa sambil menekan tombol video call. "Tunggu sebentar ya, aku mau pamer teman-teman London aku!"

Dian meletakkan ponselnya bersandar pada vas bunga di tengah meja, mengarahkan kamera ke arah Rian dan Aris yang sedang duduk berdampingan.

"Halo, Mas Rio! Lihat nih, aku sedang makan malam sama teman-teman Indonesia di sini!" Dian melambaikan tangan ke layar.

Di layar ponsel, tampak seorang pria dengan kemeja yang sudah berantakan duduk di ruang kantor yang luas dan elit. "Wah, ramai ya! Halo semua! Saya Rio," sapa kakak Dian dengan ramah.

"Halo, Mas," sapa Aris ceria.

Rian tersenyum sopan dan sedikit mencondongkan tubuh ke arah kamera. "Halo, Mas Rio. Saya Rian."

Suara Rian yang rendah dan tenang itu mengalir jernih melintasi samudera melalui speaker ponsel. Pada detik yang sama, di latar belakang layar Rio, pintu ruangan terbuka. Seorang wanita mengenakan blazer hitam elegan masuk membawa map laporan.

Naya.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!