Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Kesaksian Palsu
Langkah kaki Wei Ren perlahan lenyap di balik kabut lembab. Bai Lin setengah menoleh, matanya bertubrukan dengan tatapan Yanzhi, sekejap, ada rasa bersalah yang ia sembunyikan di balik kelopak matanya yang turun. Tapi ia memilih menunduk, mengikuti jejak Wei Ren.
Begitu bayangan mereka hilang, Han Ye mendesah panjang, pandangan masih menajam ke arah lorong gelap.
"Berengsek. Dia pasti bawa omong kosong itu ke luar," gumamnya rendah. Ia menoleh ke Yanzhi. "Cepat kemasi sisa Jade. Kita cari jalan pulang sebelum kabut menutup semua celah."
Yanzhi hanya menjawab dengan anggukan pendek. Jemarinya meremas pecahan segel di balik lengan jubah, hawa panas dan dingin saling berganti, membuat kulit di bawahnya terasa geli dan perih.
Suara Roh di kepalanya masih mendesis.
"Bagus. Setiap hembusan kabut ini membuka satu rantai lagi. Biarkan penjara tua ini rapuh… satu retakan cukup untuk membuat semuanya runtuh."
Yanzhi pura-pura tak mendengar. Ia hanya menarik napas dalam, sekali-sekali matanya menyapu simbol di dinding. Retakan di altar yang sempat terbuka sudah membeku lagi, tertutup puing-puing kecil. Seolah menunggu tuannya pulang di lain waktu.
Mereka berdua melangkah keluar lorong. Kabut hitam merambat di celah batu, meremas pijakan jadi licin. Di kejauhan, samar-samar terlihat kilau obor, beberapa murid lain tampak bergerak lambat, saling menggandeng supaya tak hilang arah.
Di titik pertemuan jalur, Han Ye mengangkat tangan, menunjuk bekas pilar batu yang setengah runtuh.
"Ke arah sana. Mei Jiu dan yang lain mungkin bertahan di sisi timur. Kita satukan jalur, lalu keluar."
Yanzhi hanya mengangguk lagi. Suaranya serak, tenggorokannya kering, rasa hangus Jade dan aura segel masih tertinggal di rongga dadanya.
......................
Beberapa jam kemudian, rombongan kecil itu akhirnya tembus di celah lembah yang pecah jadi celah curam. Kabut di sana tipis, menyingkap pancaran lampu obor di kejauhan. Di bawah tebing, siluet beberapa murid sudah menunggu. Salah satunya berdiri sedikit terpisah, jubah hitam panjang, bahu disampirkan lambang sekte.
Lu Ming. Senior pendamping tim mereka.
Ia berdiri tegak di samping tumpukan Jade kasar, hasil panen para murid. Matanya tajam menelisik satu per satu murid yang keluar. Saat Han Ye dan Yanzhi turun, Lu Ming sempat mendongak, pandangan tajamnya menempel di wajah Yanzhi yang pucat.
"Kalian lambat." Suaranya datar, tapi nadanya menekan. "Mana Mei Jiu?"
Han Ye menjawab cepat, "Di belakang. Mengawal beberapa murid yang terpisah."
Lu Ming mendengus pelan. Matanya sempat melirik Yanzhi, seolah mencium aura aneh, tapi ia tak bertanya lebih jauh. Ia hanya mencatat nama di gulungan kertas di tangannya.
Wei Ren berdiri agak di pinggir, pura-pura sibuk membersihkan debu di bahu Bai Lin. Sekilas, sorot matanya dan Yanzhi bersitatap lagi. Wei Ren hanya tersenyum samar, mengangkat alis, seolah membisik: Nanti, aku bawa kabar ini pulang.
Roh di kepala Yanzhi terkekeh kecil.
"Bagus. Biarkan dia bicara. Kau cuma perlu diam dan tunggu pintu berikutnya terbuka sendiri."
Yanzhi mendengus pelan, suaranya pelan ke Roh di kepalanya.
"Kalau pintunya kebuka, kau duluan yang kubenamkan ke sana."
Roh hanya tertawa, desisnya makin panjang.
Lembah ditinggalkan.
Tapi pintu neraka sudah diketuk.
......................
Angin beku merambat di sela balok batu putih. Aula Utama Sekte Tianhan berdiri kokoh, lantai pualam memantulkan sinar lentera biru, langit-langitnya menggantung pilar es yang berkilau redup.
Di barisan depan, Tetua Fan duduk di kursi panjang berukir salju. Jubahnya bersih, putih kebiruan, lambang Tianhan terpahat di dada. Matanya setipis mata pisau, menatap satu per satu murid yang berlutut di hadapan.
Suara rotan catatan di tangannya berderak pelan.
"Jade. Catat nama. Laporkan hasil."
Suara Tetua Fan terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Seorang murid di depan Yanzhi membungkuk cepat, menyerahkan kantong Jade. Di sisi aula, Lu Ming berdiri tegak, sesekali mencatat nama di gulungan bambu.
Yanzhi berdiri paling belakang. Han Ye di sampingnya, bahunya kaku. Wei Ren berdiri tak jauh, senyum licik masih menempel di bibir, kepalanya miring sedikit menatap Yanzhi, seolah menunggu giliran menancapkan jarum.
Di balik lengan jubah, Yanzhi merasakan pecahan segel berdenyut, panasnya merembes ke tulang.
Roh di kepalanya mendesis malas.
"Hebat sekali, sekte besar takut sama kabut busuk."
Yanzhi menunduk sedikit, matanya menajam. "Kalau kau bisa diam, diamlah."
Tapi suara Roh terkikik, makin gatal di tengkuknya.
Han Ye melangkah ke depan, menunduk dalam. Kantong Jade Asap Hitam kasar diserahkan ke meja batu di samping kursi Tetua Fan.
"Hasil tim Timur. Total: tiga kantong Jade Asap Hitam, delapan Jade Kabut."
Lu Ming menoreh catatan. Tetua Fan hanya mengangguk pelan, matanya tetap menusuk Han Ye.
"Dan laporan jalur lembah?"
Han Ye diam sekejap. Urat di lehernya menegang. Yanzhi mencuri pandang.
Di kepalanya, Roh mendesis puas.
"Lihat tuh. Sekali bocor, kalian berdua tamat."
Wei Ren mendekat setengah langkah, pura-pura batuk kecil. Lalu membungkuk hormat pada Tetua Fan.
"Izinkan murid tambahan menjelaskan, Tetua. Jalur Timur kemarin… agak berbahaya."
Tatapannya mencuri arah Yanzhi, senyumnya seperti paku.
Tetua Fan menaikkan alis tipis.
"Wei Ren?"
Wei Ren menunduk sopan.
"Murid hanya khawatir. Beberapa teman nyaris hilang arah di lembah. Kabutnya aneh… saya juga menemukan salah satu murid, Bai Lin tersesat jauh. Untung saya temukan. Dan kabarnya… ada Jade Asap Hitam retak di jalur lama."
Bai Lin di belakang Wei Ren menunduk lebih dalam, bahunya kaku. Jemarinya meremas gagang pedang di pinggangnya.
Yanzhi mengepalkan tangan, nada suaranya gelap.
“Teruskan mengoceh seperti itu… nanti kupastikan kau menyesal punya lidah.”
Wei Ren melirik Tetua Fan. Suaranya merendah, pura-pura bijak.
"Murid hanya ingin melapor… kabut lembah tampaknya merusak segel lama. Mungkin perlu Tetua periksa… sebelum ada murid celaka."
Tetua Fan menyipitkan mata. Tatapannya pindah ke Han Ye.
"Kau? Penanggung jawab jalur Timur. Ada yang mau kau tambahkan?"
Han Ye menatap lurus, suaranya dingin.
"Kabut itu muncul mendadak. Tidak di peta awal. Kami atasi sesuai instruksi. Jade tetap kami bawa. Murid tak ada yang mati."
Wei Ren menahan senyum, tapi matanya berkilat.
"Musang…" Roh Yanzhi mendesis lagi.
"Sekali dia sebut altar, kalian habis."
Yanzhi mencibir pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Teruskan saja buka mulut. Begitu altar runtuh, akulah yang membersihkan kekacauan yang kau mulai.”
Tetua Fan mengetuk permukaan meja batu, tok tok tok, suaranya pelan tapi dingin.
"Jade Asap Hitam. Memang itu tujuan kalian turun ke Lembah Kabut Gelap.
Batu ini sumber racun sekaligus bahan segel.
Sekte Tianhan menginginkannya, itu jelas."
Ia berhenti, pandangan tajamnya beralih dari Han Ye ke Yanzhi, menelisik.
"Tapi kabar kalian soal segel retak itu yang jadi urusan lain."
Para instruktur di belakangnya saling melirik, tegang. Suara Tetua Fan merendah, serupa bilah yang siap mengiris.
"Tambang di Jalur Timur memang tua, tapi penjara kuno di bawahnya seharusnya sudah mati sejak perang sekte lima puluh tahun lalu. Kalau sekarang retak lagi…"
Ia menyempitkan mata.
"Siapa yang membukanya?"
Yanzhi menggenggam ujung lengan jubahnya, merasakan hawa panas pecahan segel yang disembunyikan. Ia hendak bicara, tapi Han Ye lebih dulu maju setapak.
"Retakan itu bukan kami yang buka," suara Han Ye datar. "Kami hanya ikuti jalur tambang. Kabut racun menelan arah. Kami terjebak di bawah reruntuhan segel."
Wei Ren, di barisan belakang, menyeringai kecil.
"Tapi mereka memang menyalakan altar tua itu. Aku lihat sendiri."
...****************...