NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Abadi dalam Truntum

​Enam Bulan Kemudian.

​Malam itu, kawasan Menteng bermandikan cahaya keemasan. Bukan emas yang menyilaukan dan norak, melainkan pendaran cahaya warm white yang memantul lembut pada panel-panel tembaga bakar dan dinding batu alam.

​The Royal Heritage Hotel Menteng resmi dibuka kembali.

​Bangunan yang setengah tahun lalu nyaris runtuh itu kini berdiri megah bak istana Jawa kuno yang hidup di era modern. Tidak ada lagi bau apek atau debu puing. Udara dipenuhi aroma bunga sedap malam dan melati yang segar. Alunan gamelan live—dari perangkat Kyai Naga Siluman yang dipinjamkan Pak Hamengku—mengalun magis, menyambut tamu-tamu VVIP yang turun dari mobil mewah mereka.

​Di Grand Ballroom, Kaluna berdiri di sudut ruangan, menahan napas saking takjubnya.

​Ia mengenakan kebaya beludru kutubaru berwarna merah marun tua (Maroon), dipadukan dengan kain batik motif Truntum berprada emas. Rambutnya disanggul modern dengan tusuk konde tembaga. Ia terlihat seperti putri keraton yang anggun.

​Matanya menyapu sekeliling ruangan. Desainnya... menjadi kenyataan.

​Dinding-dindingnya dilapisi panel kayu jati ukir dan tembaga oxidized yang memberikan nuansa hangat dan mewah. Tirai kain lurik menjuntai tinggi di jendela. Dan di langit-langit, tempat di mana dulu Bara hampir kehilangan nyawanya, kini terpasang chandelier tembaga raksasa yang kokoh dan memukau.

​"Cantik sekali."

​Kaluna menoleh. Ratna Adhitama berdiri di sampingnya. Sang Nyonya Besar tampak segar dan sehat dalam balutan kebaya senada.

​"Desainnya, maksud Ibu?" tanya Kaluna tersenyum.

​"Desainnya, dan arsiteknya," jawab Ratna tulus. Ia merapikan selendang di bahu Kaluna. "Terima kasih sudah mewujudkan ini, Nak. Kalau Kakek Bara masih ada, dia pasti menangis bahagia melihat hotelnya jadi seindah ini."

​Mata Kaluna berkaca-kaca. "Terima kasih, Bu."

​"Oh ya, Papa mau bicara," Ratna menyodorkan iPad-nya yang sedang tersambung Video Call.

​Di layar, Pak Suryo Adhitama duduk di kursi roda di taman rumah sakit Singapura, melambaikan tangan dengan senyum lebar. Wajahnya jauh lebih segar.

​"Kaluna! Selamat ya! Om nonton liwat streaming. Bagus sekali! Kapan-kapan Om pulang, kamu harus ajak Om keliling hotel ya!" suara Pak Suryo terdengar antusias meski sedikit pelat.

​"Siap, Om. Om Suryo cepat sembuh ya. Kami tunggu di Jakarta," jawab Kaluna haru.

​Tiba-tiba, lampu ballroom meredup. Sorot lampu spotlight mengarah ke panggung.

​Musik gamelan berhenti, berganti dengan intro piano yang elegan.

​MC naik ke panggung. "Hadirin sekalian, mari kita sambut CEO Adhitama Group, Bapak Bara Adhitama!"

​Tepuk tangan membahana.

​Bara naik ke podium. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan pocket square batik Truntum yang serasi dengan kain Kaluna. Tangan kirinya sudah sembuh total, tidak ada lagi gips, meski ada bekas luka samar di pelipisnya yang justru membuatnya terlihat semakin maskulin.

​Bara berdiri tegak, memandang ratusan tamu undangan—investor, pejabat, selebriti, dan tentu saja Pak Hamengku yang duduk di meja depan sambil mengacungkan jempol.

​"Selamat malam," suara bariton Bara menggema, karismatik dan tenang.

​"Enam bulan lalu, banyak yang bilang hotel ini adalah proyek gagal. Gedung tua, manajemen bobrok, dan arsitek yang..." Bara menahan senyum, matanya mencari sosok Kaluna di kerumunan, "...arsitek yang terlalu idealis."

​Hadirin tertawa kecil.

​"Tapi malam ini, kita berdiri di sini membuktikan bahwa sesuatu yang retak, yang tua, dan yang tertinggal... bisa disatukan kembali menjadi sesuatu yang lebih indah dari sebelumnya. Asalkan kita punya perekat yang tepat."

​Bara jeda sejenak. Tatapannya terkunci pada Kaluna.

​"Dalam filosofi Jawa, motif Truntum yang menghiasi dinding hotel ini bermakna cinta yang tumbuh kembali. Cinta yang tulus, tanpa syarat, dan abadi."

​"Hotel ini didedikasikan untuk masa lalu yang membentuk kita, dan masa depan yang akan kita bangun. Terima kasih kepada Pak Hamengku Kusumo atas kepercayaannya. Terima kasih kepada Ibu saya, Ratna Adhitama, atas restunya."

​"Dan terutama... terima kasih kepada Arsitek Kepala, Kaluna Ayunindya."

​Lampu spotlight tiba-tiba berpindah menyorot Kaluna. Semua orang bertepuk tangan. Kaluna tersipu malu, menundukkan kepalanya.

​"Dia bukan hanya merancang bangunan ini," lanjut Bara, suaranya melembut namun terdengar jelas di seluruh ruangan. "Dia merancang ulang hidup saya. Dia mengajarkan saya bahwa rumah bukanlah tempat, melainkan seseorang."

​Sorak-sorai dan siulan menggoda terdengar dari para tamu. Wajah Kaluna memerah padam seperti warna kebayanya.

​"Selamat menikmati malam ini. Terima kasih."

​Bara turun dari panggung dan langsung berjalan membelah kerumunan, mengabaikan wartawan yang ingin mewawancarainya, dan berjalan lurus menuju Kaluna.

​"Pak CEO, pidatonya terlalu gombal," bisik Kaluna saat Bara sampai di depannya.

​"Itu fakta," Bara tersenyum, lalu mengulurkan tangan. "Ikut aku."

​"Ke mana? Acaranya belum selesai."

​"Urusan operasional serahkan pada Julian. Catering-nya aman, kan?"

​Kaluna melirik ke arah meja prasmanan, di mana Julian—yang kini menjadi vendor F&B resmi hotel—sedang sibuk mengatur stafnya sambil mengedipkan mata jenaka ke arah mereka. Julian sudah move on, dan mereka kini berteman baik.

​"Aman," jawab Kaluna.

​"Kalau begitu, ayo."

​Bara membawa Kaluna naik lift menuju lantai teratas. Rooftop Bar.

​Area itu masih kosong karena belum dibuka untuk umum malam ini. Angin malam Jakarta menerpa wajah mereka, membawa kesejukan di tengah hiruk pikuk kota. Dari sini, pemandangan Bundaran HI terlihat spektakuler.

​Bara mengajak Kaluna berjalan ke tepi pagar pembatas kaca.

​"Ingat tempat ini?" tanya Bara.

​"Tentu saja. Dulu di sini cuma ada jemuran baju penjaga dan tangki air bocor," kekeh Kaluna. "Sekarang jadi bar bintang lima."

​"Bukan itu maksudku," Bara memutar tubuh Kaluna menghadapnya. "Ingat lima tahun lalu? Sebelum kamu pergi ke London... kita pernah bicara soal masa depan di balkon kosanmu yang sempit."

​Kaluna terdiam, senyumnya memudar digantikan tatapan syahdu. "Aku ingat. Kamu bilang kamu mau punya rumah dengan jendela besar."

​"Dan kamu bilang kamu mau jadi arsitek yang karyanya diingat orang," sambung Bara.

​"Kita sudah mewujudkannya, Bar. Hotel ini..."

​"Belum semuanya," potong Bara.

​Bara merogoh saku jas bagian dalamnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil. Kotak beludru yang terlihat tua dan agak usang.

​Jantung Kaluna berhenti berdetak. Ia mengenali kotak itu. Itu kotak yang sama yang Bara keluarkan di warung sate lima tahun lalu.

​Bara membuka kotak itu.

Di dalamnya, cincin perak bermata moonstone milik neneknya masih ada di sana. Berkilau lembut di bawah cahaya bulan. Cincin yang dulu ditinggalkan Kaluna di meja nakas.

​"Aku menyimpannya," bisik Bara. "Setiap hari. Aku hampir membuangnya seribu kali saat aku marah, tapi aku tidak pernah bisa."

​Bara menatap mata Kaluna dalam-dalam.

​"Kaluna Ayunindya... kita sudah melewati perpisahan, kesalahpahaman, ego, orang tua, skandal, sampai runtuhnya langit-langit. Rasanya sudah cukup dramanya untuk satu seumur hidup."

​Bara berlutut perlahan dengan satu kaki.

​Kaluna menutup mulutnya dengan kedua tangan, air mata bahagia mulai mengalir deras tanpa bisa ditahan.

​"Aku bukan lagi pewaris tahta yang sombong. Aku cuma laki-laki biasa yang punya 49% saham hotel ini, tapi punya 100% cinta buat kamu," ucap Bara dengan suara bergetar.

​"Maukah kamu menyelesaikan fragmen yang tertinggal ini? Maukah kamu membangun rumah bersamaku? Menjadi istriku, partnerku, dan satu-satunya tempatku pulang... selamanya?"

​Kaluna mengangguk cepat, suaranya tercekat oleh tangis bahagia. "Ya... Ya, Bara! Aku mau!"

​Bara tersenyum lebar, mengambil tangan kiri Kaluna, dan menyematkan cincin itu kembali ke jari manisnya.

Pas. Sempurna. Seperti cincin itu memang ditakdirkan di sana dan tidak pernah pergi.

​Bara berdiri, menarik Kaluna ke dalam pelukannya, dan menciumnya di bawah langit Jakarta. Ciuman yang bukan lagi putus asa, melainkan penuh janji dan harapan.

​Di bawah sana, pesta kembang api mulai meletus merayakan pembukaan hotel.

DUAR! DUAR!

​Cahaya warna-warni menerangi langit, menjadi latar belakang siluet sepasang kekasih yang akhirnya bersatu.

​Epilog

​Dua tahun kemudian.

​Di ruang tengah sebuah rumah modern tropis yang asri, seorang balita laki-laki sedang sibuk mencoret-coret kertas sketsa dengan krayon.

​"Aduh, Jagoan Papa... itu sketsa proyek Papa jangan dicoret-coret dong," Bara tertawa, mengangkat anaknya ke pangkuan.

​"Biarin, Pa. Itu namanya sentuhan artistik abstrak," sahut Kaluna yang datang membawa nampan berisi kopi dan pisang goreng. Perutnya terlihat sedikit membuncit—hamil anak kedua.

​Bara mengecup pipi anaknya, lalu mengecup kening istrinya. "Iya deh, Ibu Arsitek paling benar."

​"Gimana Hotel Menteng? Okupansi penuh?" tanya Kaluna, duduk di samping mereka.

​"Penuh sampai bulan depan. Pak Hamengku senang banget, dividen tahun ini cair besar. Kita bisa mulai bangun villa impian kita di Bali," jawab Bara antusias.

​Kaluna tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Bara. Ia melihat cincin moonstone di jarinya, lalu melihat keluarga kecilnya.

​Fragmen-fragmen yang dulu pecah berserakan, kini telah tersusun menjadi mozaik kehidupan yang jauh lebih indah dari yang pernah ia bayangkan.

​Tidak ada lagi yang tertinggal. Semuanya ada di sini.

Lengkap. Abadi.

​- TAMAT -

​Terima kasih telah mengikuti perjalanan Bara dan Kaluna dari Bab 1 hingga Bab 28!

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!