menceritakan tentang seorang murid pindahan yang bernama Kim hyun yang pindah ke sekolah barunya yang bernama sekolah SMA CSB (CENTRAL SPORT BUSAN), awalnya kehidupannya lancar namun tampaknya dia tidak terlalu mengetahui tentang sisi gelap sekolah ini beserta kota ini maka dari itu kim Hyun mau tak mau harus mencari tahu tentang sisi gelap sekolah ini dan kota ini agar dirinya bisa menjalani kehidupan yang normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilwa nuryansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Apartemen Kim Hyun, Malam Hari
Panci sup aluminium yang dibawa Han Ji-soo kini berada di atas meja makan Kim Hyun. Ji-soo menyajikan sup tersebut ke dalam dua mangkuk, ditemani nasi dan beberapa lauk sederhana yang juga dibawanya.
Kim Hyun dan Ji-soo kini duduk berhadapan, suasana sedikit canggung setelah pertemuan singkat dan penjelasan bohong Kim Hyun tentang "klub bela diri."
Kim Hyun mengambil sendok pertamanya, mencoba sup itu. Matanya langsung melebar.
Hyun: (Terkejut) "Wow. Ini... ini sangat enak, Ji-soo-ssi."
Sup itu adalah sup rumput laut (Miyeokguk) yang kaya rasa, hangat, dan sangat menenangkan. Rasa kaldu yang kuat dan daging yang empuk terasa seperti balsem untuk tubuhnya yang remuk.
Hyun: (Mengambil suapan kedua) "Sungguh! Ini enak sekali. Kau hebat dalam memasak."
Wajah Ji-soo memerah karena pujian itu. Ia menunduk malu sambil memegang mangkuknya.
Ji-soo: "Ah, itu... Tidak juga, Kim Hyun-ssi. Kemampuanku masih belum apa-apa. Ini hanya Miyeokguk biasa."
Hyun: "Tidak biasa. Ini jauh lebih enak daripada makanan rumahan yang pernah kumakan. Serius. Kau harus percaya padaku."
Ji-soo akhirnya mengangkat kepalanya, tersenyum kecil.
Hyun: (Penasaran) "Kau belajar memasak di mana? Apakah dari Ibumu?"
Ji-soo: "Tidak sepenuhnya. Di sekolahku—di Yeon-Ah High School—ada kelas wajib yang semua murid harus ikut, yaitu kelas memasak. Kami harus menguasai masakan dasar Korea dan beberapa masakan internasional. Ini adalah bagian dari kurikulum."
Kim Hyun mengangguk, mengerti. Yeon-Ah adalah sekolah elit khusus perempuan di kota itu. Tentu saja kurikulum mereka berbeda, bertujuan untuk membentuk wanita 'sempurna'.
Hyun: "Sekolah elit memang berbeda ya. Pantas saja kau sangat terampil."
Ia mengangkat mangkuknya. "Ji-soo-ssi, terima kasih banyak untuk makan malam ini. Aku benar-benar membutuhkannya."
Ji-soo hanya tersenyum dan melanjutkan makannya. Kim Hyun ikut larut dalam kenikmatan sup hangat itu, merasakan kekakuan di tubuhnya sedikit mereda. Untuk sesaat, ia melupakan pertarungan dan kekejaman sekolah.
Bagian II: Matematika dan Jadwal Sekolah Elit
Keesokan Harinya, Minggu Pagi
Alarm di ponsel Kim Hyun berbunyi. Ia segera bangun. Rasa sakit di tubuhnya tidak hilang, tetapi jauh lebih tertahankan berkat sup Ji-soo dan tidur yang nyenyak.
Meskipun hari Minggu, Kim Hyun bersiap-siap untuk berolahraga ringan. Ia mengenakan pakaian olahraga serba hitam: celana training hitam, kaus lengan panjang hitam, dan jaket hoodie hitam, dipadukan dengan sepatu lari putih bersih.
Ia turun dengan lift. Ketika pintu lift terbuka di lantai dasar, ia melihat Ji-soo sudah menunggu di dekat lobi.
Ji-soo terlihat rapi dalam pakaian kasualnya. Ia mengenakan kaus turtleneck rajutan berwarna cream lembut, dipadukan dengan rok A-line mini berwarna cokelat tua dan kaus kaki panjang putih yang mencapai betis, serta sepasang sepatu loafer cokelat mengkilap. Sebuah tas selempang kecil bergantung di bahunya. Ia tampak seperti gadis yang sedang bersiap untuk kencan, bukan les.
Hyun: "Ji-soo-ssi! Pagi."
Ji-soo menoleh, sedikit terkejut, tetapi segera tersenyum.
Ji-soo: "Oh, Kim Hyun-ssi. Pagi. Kau mau pergi ke mana?"
Hyun: "Aku mau jogging sebentar di taman. Kau sendiri? Kau terlihat rapi sekali untuk hari libur."
Ji-soo: (Menghela napas pelan) "Aku harus pergi ke tempat les. Sudah ditunggu oleh tutor."
Hyun: (Mengernyit) "Les? Les macam apa di hari Minggu pagi, Ji-soo-ssi? Ini kan hari libur."
Ji-soo: "Les Matematika. Ada ujian tengah semester yang akan datang, jadi kami harus mengejar materi."
Mendengar kata 'Matematika' membuat Kim Hyun terdiam. Selama masa sekolahnya dulu, matematika adalah tembok tak tertembus yang tidak pernah berhasil ia panjat. Angka-angka seolah menari-nari mengejek di benaknya.
Sekolah elit... bahkan les pun harus di hari libur. Kim Hyun hanya bisa menggelengkan kepala.
Tiba-tiba, sebuah taksi online berwarna hitam berhenti di depan Ji-soo.
Ji-soo: "Aku harus pergi sekarang, Kim Hyun-ssi. Sampai jumpa."
Hyun: "Hati-hati, Ji-soo-ssi."
Ji-soo masuk ke dalam taksi, dan mobil itu segera melaju. Kim Hyun memperhatikan kepergiannya, memikirkan betapa berbedanya kehidupan mereka. Sekolahnya adalah medan perang, sekolah Ji-soo adalah kompetisi akademik tingkat tinggi.
Hyun: (Bergumam) "Kalau aku harus les Matematika di hari Minggu, aku mending dihajar lagi oleh Gyu-sik."
Ia menggeleng, lalu menarik tudung jaketnya dan mulai berlari menuju taman terdekat.
Satu Jam Kemudian, Taman Kota
Kim Hyun telah berlari selama satu jam, memilih rute yang sepi di taman dekat apartemennya. Keringat membasahi jaket hoodie-nya, tetapi tubuhnya terasa lebih baik.
Setelah menyelesaikan lari, ia berhenti di bawah pohon besar dan mulai melakukan pendinginan, meregangkan kaki dan bahunya.
Sambil menarik napas dalam-dalam, pikirannya kembali ke pertarungan kemarin.
Kecepatan itu...
Saat bertarung melawan Jang Tae-young, ia merasakan peningkatan fokus yang tiba-tiba yang memungkinkannya melihat gerakan Tae-young seolah melambat, bahkan bisa merasakan butiran debu atau tetesan keringat di sekitar lawannya. Keadaan itu menyelamatkannya.
"Aku harus bisa mengontrolnya. Itu adalah kekuatan yang harus kumanfaatkan".pikir kim hyun
Kim Hyun mencoba mengaktifkannya. Ia memejamkan mata, mengosongkan pikirannya, dan berusaha merasakan setiap hal kecil di sekitarnya—angin, suara burung, langkah kaki orang yang lewat.
Satu menit berlalu... Dua menit berlalu... Tiga menit berlalu...
Pada menit kelima, Kim Hyun membuka matanya, menghela napas panjang.
Hyun: (Bicara sendiri, frustrasi) "Nihil. Aku tidak merasakan apa-apa. Kenapa aku mencoba melakukannya seperti karakter fiksi konyol yang mencoba bermeditasi?"
Ia mengacak-acak rambutnya kesal. "Kenapa aku ini bodoh sekali?!"
Karena tidak menemukan jawaban, ia memutuskan untuk pulang. Namun, saat berbalik, matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatian.
Sekitar sepuluh meter di depannya, seorang Nenek tua dengan pakaian olahraga khas orang tua sedang berjalan pelan sambil serius menatap layar ponselnya. Di jalur yang akan dilewatinya, tergeletak sepotong kulit pisang yang dibuang sembarangan.
Hyun: "Nenek, awas!"
Sayangnya, Kim Hyun terlambat.
PLAK! DHUGGG!
Nenek itu menginjak kulit pisang dan langsung terpeleset. Ia jatuh terhempas ke samping, menjerit kesakitan.
Nenek: (Meringis kesakitan) "Aduh! Pinggangku! Aduh, pinggangku mau patah!"
Kim Hyun segera berlari dan menolong Nenek itu, membantunya duduk di bangku taman terdekat.
Hyun: (Khawatir) "Nenek, Anda baik-baik saja?"
PLAKK!
Nenek itu langsung memukul lengan Kim Hyun dengan tongkat kecil yang dibawanya.
Nenek: (Marah) "Tentu saja tidak baik-baik saja, anak muda! Kalau aku baik-baik saja, kenapa aku menderita seperti ini?! Pertanyaan bodoh!"
Kim Hyun hanya meringis, menggosok lengannya yang dipukul.
Nenek: (Mengeluh) "Pinggangku kaku. Nak, tolong belikan Nenek minyak urut di apotek seberang sana. Yang paling mujarab."
Nenek itu menunjuk ke seberang jalan.
Hyun: (Terkejut) "Aku, Nek? Kenapa harus aku?"
Nenek: (Mengeluarkan uang 100.000 Won dari saku bajunya) "Memangnya ada orang lain di sini, hah?! Cepat, sebelum pinggangku benar-benar patah!"
Kim Hyun hanya bisa canggung. Dengan terpaksa, ia mengambil uang itu dan bergegas pergi.
Saat Kim Hyun berlari menyeberang jalan, ia tidak menyadari bahwa seorang pria muda yang berdiri di dekat pintu masuk taman memperhatikannya dengan tatapan dingin.
Pria itu melihat Kim Hyun berlari dengan uang di tangannya, menjauhi Nenek yang kesakitan.
Kim Hyun kembali dari apotek, membawa kantong plastik putih berisi minyak urut. Ia berjalan sambil mengumpat pelan.
Hyun: (Menggerutu) "Kenapa aku harus dipukul dan disuruh-suruh? Dasar hari sial. Seharusnya aku tidur saja di rumah."
Saat ia melangkah masuk ke area taman, sebuah bayangan hitam melintas cepat.
WUSSHH!
Sebuah tendangan kaki cepat mengarah ke sisi kepala Kim Hyun. Itu adalah serangan kejutan yang datang tanpa peringatan!
Kim Hyun, didorong oleh refleksnya sebagai martial artist alami, mengangkat kedua tangan yang masih nyeri itu untuk menahan serangan tersebut.
DHAKK!
Meskipun tertahan, kekuatan tendangan itu luar biasa. Kim Hyun terdorong mundur, kantong plastik itu terbang, dan ia jatuh berguling-guling hingga berlutut. Rasa sakit akut menjalar dari kedua tangannya.
Hyun: (Menggeram kesal) "Sialan! Seharusnya aku tetap di rumah saja!"
Sebuah suara dingin dan tajam terdengar dari depannya.
Pria Asing: (Dingin) "Memang banyak kejahatan yang dilakukan oleh siswa CSB yang kudengar dari masyarakat, tetapi ini pertama kalinya aku melihat langsung kau memalak nenek tua. Dasar sampah."
Kim Hyun mendongak, matanya menyipit. Di depannya berdiri seorang pemuda berambut pirang, dengan tinggi sekitar 167 cm—terlihat lebih kecil dari kebanyakan petarung CSB, tetapi aura yang dipancarkannya sangat mengancam. Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana putih. Pria itu berdiri di posisi siap bertarung.
Kim Hyun menatap matanya, dan sebuah nama asing yang pernah ia dengar dari desas-desus sekolah melintas di benaknya, menggantikan semua rasa sakitnya.
Hyun: (Batin, terkejut) Lee Jae-hwan?!
Bersambung...