NovelToon NovelToon
Return After 100.000 Years In The Abyss

Return After 100.000 Years In The Abyss

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Kelahiran kembali menjadi kuat / Action / Spiritual / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: SuciptaYasha

Lin Zhiyuan, adalah pemuda lemah yang tertindas. Ia menyelam ke kedalaman Abyss, jurang raksasa yang tercipta dari tabrakan dunia manusia dan Dewa, hanya untuk mendapatkan kekuatan yang melampaui takdir. Setelah berjuang selama 100.000 tahun lamanya di dalam Abyss, ia akhirnya keluar. Namun, ternyata hanya 10 tahun terlalui di dunia manusia. Dan saat ia kembali, ia menemukan keluarganya telah dihancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7 Pagi yang kelam di kota Wangzen

Pasar Kota Wangzen pagi itu hidup dengan warna dan tawa. Matahari memantul pada genteng-genteng merah, suara pedagang menggema, aroma gandum panggang dan sayuran segar memenuhi udara.

Kuda menarik gerobak, anak-anak berlarian sambil mengunyah roti, para ibu bercanda di dekat kios sayur. Seolah dunia tidak pernah mengenal yang namanya kehancuran, berbanding terbalik dengan kondisi Kota Linzhang.

Di depan sebuah gudang beras, seorang petani paruh baya mengusap keringatnya dengan kain kumal—namun wajahnya berseri-seri seperti baru memenangkan lotre.

“Hahaha! Panen kali ini benar-benar menguntungkan! Lihat ini, dua kantong penuh perak!” ujarnya bangga, menunjuk pada kantong koin di pinggang.

Rekannya, lelaki bertopi jerami, menepuk bahunya sambil tertawa.

“Sudah aku bilang! Rezeki kita selalu dihalangi oleh kota Linzhang dan Keluarga Lin, setelah mereka hancur, kita jadi lebih makmur."

Pria paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, benar juga. Kualitas gandum dan beras mereka terlalu bagus sehingga banyak yang membeli di mereka, kami yang kualitasnya biasa-biasa saja harus menurunkan harga untuk bersaing di pasaran."

“Betul!”

Kedua petani itu mengangguk kuat-kuat, senyumnya melebar.

“Sejak keluarga Lin tak ada lagi mengendalikan pasar… kita seperti akhirnya bisa bernapas! Mereka itu—” ia menurunkan suaranya, tapi tetap jelas terdengar, “—keluarga serakah yang menyamar jadi orang baik. Semua puji-pujian itu hanya kedok untuk menutupi kebusukan mereka!”

“Hahaha! Biarkan mereka membusuk di neraka! Yang kuatlah yang bertahan!”

Dua petani itu tertawa sambil menepuk tangan satu sama lain, wajah mereka berbinar oleh kepuasan dan kedengkian yang tertanam lama.

Mereka merayakan kehancuran orang lain. Kehancuran satu keluarga. Tanpa mereka sadari, salah satu anggota keluarga itu sedang menatap mereka dengan penuh kebencian.

“Jadi… hanya karena kalah bersaing…” Zhiyuan yang mengenakan kerudung hitam berbisik pelan namun mengandung kilat kematian, “kalian merayakan kehancuran keluargaku? Menganggap kematian mereka keberuntungan bagi mereka semua?”

Giginya terkatup rapat, suara detakan terdengar halus. Kabut Abyss di tubuhnya meronta, seperti ingin bangkit dan memakan seluruh pasar itu hidup-hidup. Membuat beberapa orang yang lalu lalang harus menjauh dengan ketakutan.

Jinzu, di sampingnya, buru-buru menepuk bahu Zhiyuan pelan namun tegang.

“Tuan muda… ingat tujuan kita datang ke sini. Kita hanya membalas dendam pada keluarga Wang. Para petani ini… mereka hanyalah rakyat biasa. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tidak tahu?” Suara Zhiyuan nyaris tidak terdengar—tapi penuh racun. “Mereka tidak tahu, tapi malah bersorak di atas darah keluargaku?”

Ia menatap kerumunan orang-orang di depannya dengan mata sedingin jurang. “Mau anak-anak, wanita, orang tua… jika mereka merayakan kehancuran keluargaku, maka mereka pantas mendapat kematian.”

Jinzu mengerutkan kening, napasnya berat. Ia tahu itu bukan ancaman kosong. Ia tahu tuannya kini bukan lagi pemuda lembut yang pernah ia rawat.

Yang berdiri di sini bukan manusia biasa—melainkan sesuatu yang kembali dari pusaran neraka.

“Tuan muda…” Suaranya pelan, memohon. “Kemarahanmu benar. Tapi jangan biarkan dunia memaksamu menumpahkan darah orang yang tidak memegang pedang. Tidak bijak jika membunuh rakyat sipil.”

Zhiyuan terdiam.

Hening.

Angin melewati pasar—membawa aroma gandum dan suara tawa para warga yang tidak sadar kematian sedang memperhatikan mereka.

Lalu perlahan… Zhiyuan mengangguk.

Namun Jinzu langsung merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang belakangnya.

Itu bukan anggukan setuju. Itu anggukan seseorang yang sudah mengambil keputusan lain. Keputusan yang lebih gelap, lebih dalam, lebih kejam daripada kematian.

“Jinzu,” suara Zhiyuan tenang, terlalu tenang bahkan diikuti dengan senyum misterius. “Kau benar. Membunuh mereka itu tidaklah bijak.”

"Gluk," Jinzu meneguk ludahnya tanpa sadar.

Mata merah Zhiyuan menyapu kerumunan bagai pisau yang mengukir takdir. “Biarkan mereka tertawa. Biarkan mereka merayakan selagi mereka bisa."

Saat itu, Kota Wangzen yang riuh dan ceria, belum menyadari bahwa bayangan kematian telah memasuki kota dengan langkah senyap.

....

Pagi berikutnya di Kota Wangzen berjalan seperti biasa—setidaknya pada lima menit pertama.

Langit cerah, burung berkicau, pedagang membuka tenda, anak-anak berlari sambil membawa roti hangat.

Semuanya terlihat normal, sampai jeritan seorang pria mengguncang pasar.

“G-Gawat!! GAWATTT!!”

Seorang petani berlari terhuyung-huyung, wajahnya pucat seperti orang kesurupan. Napasnya tersengal, kaki berlumpur seolah ia baru menempuh perjalanan neraka.

“Patriark Wang! Gawat!! Semuanya… semuanya kering! Lahan gandum, padi, kebun buah—SEMUANYA MATI!”

Suara itu menghentikan aktivitas pasar seketika. Gelak tawa lenyap. Wajah-wajah bingung mulai bermunculan.

“Apa maksudmu kering?”

“kau pasti bercanda…”

“Tidak mungkin! Padahal kemarin baik-baik saja!”

Di sisi lain pasar, seorang ibu ibu baru saja menimba air dari sumurnya.

Rantai sumur berdecit, ember naik perlahan. Tapi anehnya, ember itu tidak berat layaknya menimba air, melainkan kosong. Tidak ada setetes pun air.

Wanita itu mengernyit bingung, menunduk, menyalakan lentera kecil di pinggir sumur dan mengintip ke dalam.

Dan ketika matanya menyesuaikan gelap…

Sumurnya kering. Benar-benar kering. Batu-batu dasar sumur terpapar, retak, hitam bagai hangus.

Tangannya bergetar tanpa sadar, ember jatuh berdebam.

“K—kering…” suaranya tercekat. Lalu ia berteriak, histeris, “SUMURNYA KERING!!”

Panik menular seperti wabah.

Seketika para warga berlarian menuju sumur-sumur. Satu demi satu ember ditarik dan—kosong. Rumor menjadi kepastian.

Jeritan mulai memenuhi udara.

“TIDAK ADA AIR!!”

“TANAMAN KITA MATI!!”

“APA INI KUTUKAN?!”

Langit cerah justru terasa mengerikan.

Hamparan ladang yang biasanya hijau subur kini tampak seperti kuburan raksasa.

Jutaan helai daun gandum pudar dan menguning, lalu rontok tertiup angin pagi yang tak lagi membawa kehidupan—melainkan kesunyian mematikan.

Tanah yang kemarin lembap kini pecah retak, garis-garis hitam membelah permukaan bumi seperti urat kematian yang menjalar.

Bahkan embun pagi pun tidak turun hari ini, seolah langit menolak memberkahi tanah ini lagi.

Para warga berdiri terpaku di pinggir ladang.

Ada yang menangis, ada yang gemetar, ada yang jatuh berlutut sambil memukuli tanah seakan itu bisa membangunkan kembali kehidupan.

“Tidak mungkin…”

“Semuanya… Lenyap dalam satu malam?”

“Ini… ini mustahil…”

Jeritan, tangis, doa panik—semuanya bercampur menjadi suara keputusasaan yang menghancurkan ketenangan pagi.

Di tengah kepanikan itu, rombongan keluarga Wang akhirnya muncul.

Patriark Wang Xiao berjalan paling depan.

Jubah hijau tua miliknya berkibar pelan, wajahnya biasanya tenang dan berwibawa—tapi hari ini… bibirnya kaku dan matanya penuh kengerian yang coba ia sembunyikan dengan susah payah.

Di belakangnya, para penatua mengikuti, jantung mereka berdetak kacau.

Begitu mencapai tepi ladang yang mati, langkah Patriak Wang terhenti. Ia menatap dunia yang kering dan membusuk di depannya. Tidak ada suara. Tidak ada burung. Tidak ada angin. Hanya… kematian.

Salah satu penatua menelan ludah, lalu mendekat dengan tubuh gemetar.

“P—Patriark…” Suaranya pecah. “Sungai Han… kering. Dan—dan sumur pusat kota pun sama. Bahkan sumur spiritual di halaman keluarga kita… tidak ada satu tetes pun tersisa.”

1
Winer Win
zhiyuan cool sekali..like deh ..😍😍😍😍
Winer Win
sabar..setelah ini giliran anda tuan muda Wang...
Winer Win
aku kalo baca novel genre ini..lama adaptasinya..Sam halnya nnton film2 cina..soalnya namnya hmpir mirip2..haha
mlh kalo baru awal2..kek semua tokoh tu mukanya smaaaaaaa..🤣🤣
Rizky Fathur
cepat bantai semua keturunan keluarga Wang buat juga mcnya bantai keluarga mo yang berani ikut campur dengan kejam
Rizky Fathur
cepat bantai Patriak Wang dengan kejam Thor bikin di melihat kehancuran keluarganya cepat hancurkan kultivasinya Patriak Wang bikin mcnya bikin sayembara untuk membunuh Semua keturunan Klan Wang dengan imbalan sumber daya besar bikin Patriak Wang ketakutan meminta ampunan kepada mcnya tapi mcnya tidak peduli malah tertawa kejam hahaha
y@y@
💥🌟⭐🌟💥
Raylanvas
Menarik
y@y@
👍🏿⭐🌟⭐👍🏿
Rizky Fathur
lanjut Thor cepat bantai Patriak Wang dengan kejam biarkan Dia melihat sendiri keluarga hancur dan di bantai bikin semua jiwa keluarga Patriak Wang di hancurkan Agar tidak bisa bereinkarnasi hahaha bantai Patriak Wang dengan kejam panjang tubuhnya sebagai peringatan
Rizky Fathur
cepat bantai mereka dengan kejam hancurkan jiwanya Agar tidak bisa bereinkarnasi Thor
Arafami
lanjut...
Arafami
seru lanjutkan...
Tara
sedih nya...seluruh keluarga binasa😱😭😓
y@y@
👍🏼🌟⭐🌟👍🏼
Arafami
lanjut...
Arafami
hmm interesting..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!