Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Hampir Bertemu Mantan Istri
Alina menghela nafas lega sekaligus berkacak pinggang menatap Leon yang kini berjalan dengan Aeris di gendongannya.
"Ke mana kamu tadi!? Mama panik nyariin! Kalau nanti diculik om-om jahat di sini gimana!?" kata Alina dengan nada tinggi.
"Habisnya Mama kelamaan banget, milih satu barang aja berjam-jam. Lumutan Aeris nungguin, katanya," sahut Aeris dengan cemberut.
Alina menghela napas kasar.
"Kemana dia tadi, Le?" tanyanya pada Leon
"Tadi Aeris ketemu—"
"Aeris cuma lihat-lihat barang di sana aja tadi," potong Leon cepat, mendahului ucapan bocah itu.
Aeris menoleh, menatap Leon dengan bingung.
"Udah, ayo. Kita pulang. Kayaknya belanjaan Mama udah cukup," kata Alina akhirnya.
"Mommy... tahu nggak, tadi Aeris—"
"Aeris..." tegur Leon cepat.
"Kita pulang sekarang," katanya lagi.
"Aeris turunin aja," kata bocah itu.
"Oke," Leon menurunkan Aeris dengan hati-hati.
Bocah itu kemudian berjalan lebih dulu di depan mereka.
"Kenapa sih? Ketemu sama siapa katanya?" tanya Alina, penasaran.
"Nggak tahu juga. Mungkin ketemu sama orang yang pernah dia lihat di mana gitu," jawab Leon sambil mengangkat bahu.
"Kamu mau nambah barang belanjaan lagi?" tanya Leon lagi.
"Nggak lagi ah, udah cukup kok," jawab Alina sambil membuka ponselnya.
Leon merangkul pinggang Alina. Mereka berjalan bersamaan, namun saat melewati toko perhiasan, mata Leon membola. Ia melirik ke arah samping, memastikan Alina yang tampak sibuk dengan ponselnya tidak melihat ke arah toko itu.
Jangan sampai Alina lihat, batin Leon.
•
•
"Buat apa sih kamu beliin ini?" bisik Devi pelan.
"Simulasi. Kita cari cincin nikah. Udah, pilih yang mana yang kamu suka, aku tinggal bayar aja," kata Revan dengan nada tenang.
"Semuanya bagus, tapi kayaknya nggak cocok di tangan aku," ujar Devi sambil mencoba salah satu cincin.
"Kenapa ngomong gitu? Atau kamu mau semua, biar nanti kalau nggak cocok tinggal pakai yang lain?"
"Revan..."
"Makanya pilih. Habis ini kita mau ngerjain proyek lagi," jawab Revan.
Sementara itu, Alina dan Leon sudah tiba di parkiran.
Saat Alina hendak masuk ke mobil, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Bentar…” katanya, lalu berjalan menjauh.
Leon memperhatikan Alina yang tampak serius menjawab telepon. Ia kemudian menoleh ke belakang, melihat Aeris yang tampak senang bermain dengan mainan barunya.
“Aeris…” panggilnya pelan.
“Kenapa, Om?” jawab bocah itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Lego yang masih terbungkus.
“Om mau ngomong sesuatu sama kamu,” ujar Leon.
“Ngomong aja, nggak usah basa-basi,”
Leon menghela napas berat. “Jangan kasih tahu Mommy kalau kamu ketemu sama Om yang nabrak kamu tadi itu.”
“Why?”
“Pokoknya jangan. Om itu orangnya nggak baik.”
Aeris mendongak, menatap Leon dengan ekspresi penasaran. “Dari mana Om tahu kalau Om toilet itu nggak baik?”
Leon terdiam. Ia memeletkan lidah sambil berpikir harus menjawab apa.
“Pokoknya… Om itu nggak baik,” katanya akhirnya.
Aeris akhirnya mengangguk pelan.
Leon tersenyum kecil, lalu tangannya terulur mengusap kepala bocah itu dengan lembut.
Tak lama kemudian, Alina masuk ke dalam mobil.
“Siapa yang nelpon?” tanya Leon.
“Teman aku,” jawab Alina sambil mengecek ponselnya.
“Cowok atau cewek?”
“Cewek lah! Mana ada lagi aku punya teman cowok,” sahut Alina.
“Tapi kalau cowok juga nggak apa-apa. Aku nggak akan posesif-in kamu. Kamu berhak temenan sama siapa pun… asal tahu batasan aja,”
“Tapi kamu cemburu nggak, kalau aku cuma berduaan sama teman cowok? Ini misalnya aja, lho,”
“Jelaslah aku cemburu, Nyonya Pratama. Tapi aku nggak mau mengekang kamu,” jawab Leon sambil menatapnya.
Alina tersenyum tipis. Memang seperti itu yang ia inginkan—pasangan yang tidak memposisikan dirinya sebagai penguasa. Tapi jauh di lubuk hatinya, Alina masih ragu. Ia belum siap untuk menikah dalam waktu dekat, terlebih ia tahu, ibu pria itu tidak menyukainya… juga tidak menyukai Aeris.
••••••
Sebuah mobil mewah tiba di depan rumah minimalis sederhana.
“Kamu... mau mampir dulu?” tanya Devi saat mereka sudah tiba di depan rumahnya.
Revan melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 09.00 malam.
“Nanti aja deh. Udah malam, takut nanti orang-orang mikir yang aneh-aneh,” jawab Revan sambil tersenyum kecil.
“Lagi pula kamu harus istirahat. Seharian ini kita gelut sama kerjaan, capek juga kan?” tambahnya sambil menoleh ke arah Devi.
Devi mengangguk pelan. “Makasih ya... udah belanja-in aku. Padahal uangnya lebih baik ditabung,”
“Ngomong itu mulu, bosen aku dengernya, sayang. Sekali-kali kamu belanja nggak tiap hari juga, kan?”
“Udah, sekarang sana masuk. Langsung istirahat aja,” lanjutnya.
Saat Devi hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba tangannya diraih lagi oleh Revan.
“Eh. Bentar,” katanya, menahan.
“Kenapa?” tanya Devi sambil menoleh.
“Cium dulu.”
“Heh, nggak mau!” jawab Devi cepat, wajahnya memerah.
“Bentar aja. Anggap aja kecupan selamat malam,” bujuk Revan.
“Nanti kalau ada yang lihat gimana?”
“Tenang aja, udah malam gini. Siapa juga yang mau memergoki?” jawab Revan santai.
Ia lalu mendekatkan wajahnya, menyodorkan pipinya ke arah Devi, ekspresinya penuh harap dan sedikit menggoda.
Gadis itu menghela napas kasar, lalu dengan cepat...
Cup!
Sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Revan.
“Udah!” kata Devi sambil mendorong wajah Revan menjauh.
“Sini nggak?” goda Revan, menunjuk bibirnya sambil mengangkat alis.
“Nggak ya! Yang ada kayak di kantor, kamu kebablasan lagi,” sahut Devi dengan nada sebal.
Wajahnya langsung memerah, mengingat kejadian itu masih begitu jelas di benaknya.
Revan terkekeh pelan, lalu mengusap rambut Devi dengan lembut. “Udah sana masuk.”
“Kamu hati-hati di jalan. Jangan begadang juga,” pesan Devi sebelum membuka pintu rumahnya.
Devi melambaikan tangan, dan Revan menunggu di dalam mobil sampai gadis itu benar-benar menghilang di balik pintu. Baru setelah itu ia memutar mobil, melaju tenang menuju apartemennya.
Sesampainya di sana, Revan langsung membuka pintu dan masuk. Ia melepas sepatunya asal, lalu menuju kamar. Begitu sampai, tubuhnya langsung dijatuhkan ke atas kasur empuk yang seolah memanggil sejak tadi.
Ia melepas dasi yang terasa mencekik, dan matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.
“Masa sih Leon udah punya anak? Kapan dia nikahnya?” gumam Revan, alisnya berkerut.
“Ck, ngapain juga gue mikirin itu,” ujarnya lagi, kali ini nadanya sinis.
Revan bangkit, lalu satu per satu kancing kemejanya ia lepas. Tubuhnya terasa gerah dan lengket. Tanpa banyak pikir, ia menuju kamar mandi dan langsung memutar shower.
“Seger…” gumamnya sambil mendongak, memejamkan mata menikmati guyuran air dingin yang menyapu tubuhnya.
Otot-ototnya tampak jelas, terbentuk sempurna berkat rutinitas nge-gym yang rutin ia jalani, sering kali ditemani Devi.
“Nggak sabar buat jadi-in Devi istri…” bisiknya pelan, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya.
Ia terkekeh, membayangkan hal-hal liar dan manis yang ingin ia lakukan bersama istrinya nanti—terutama di tempat seperti ini, kamar mandi yang sekarang terasa seperti ruang penuh imajinasi.