Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#6
Happy Reading...
.
.
.
Setelah pertemuan itu berakhir, Raka berjalan keluar dari kafe dengan langkah yang pelan. Cuaca siang ini terasa panas menyengat, seolah ikut menambah berat pikirannya. Ia memegang map yang berisi desain dari perusahaan baru Arvino, namun perhatian Raka sama sekali tidak tertuju pada isi map tersebut. Yang terus muncul dalam kepalanya hanyalah satu hal, alasan Arvino tiba-tiba ingin bekerja sama dengannya.
Raka berhenti di dekat mobilnya. Ia bersandar sebentar, menarik napas panjang.
Apa sebenarnya maksud Arvino? batinnya.
Jika tujuan Arvino memang hanya untuk bisnis, mengapa ia datang sendiri dalam pertemuan itu? Mengapa ia memberikan proyek sebesar itu pada orang yang baru dikenalnya? Bahkan mereka baru bertemu untuk pertama kali dan itupun hanya sekedar bertegur sapa.
Raka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
Ia membuka map dan melihat kembali desain yang Arvino tunjukkan.
“Apa ini hanya kebetulan?” gumamnya pelan. “Atau ada sesuatu yang memang sengaja ditujukan kepadaku?”
Ia terdiam lagi. Nama Naira kembali muncul dalam kepalanya. "Tapi...Jika aku menerima proyek ini… bukankah itu berarti aku akan semakin sering bertemu dengannya?" Gumannya.
Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.
Selama ini Raka telah berusaha menjaga jarak, berusaha agar tidak melibatkan Naira dalam pencariannya mengenai masa lalu Nayla. Namun dengan adanya kerja sama ini, ia tahu batas itu akan sulit dipertahankan.
“Apa mungkin… ini salah satu cara Tuhan membawaku lebih dekat?” bisiknya lagi. “Atau justru ini cara untuk melancarkan rencana balas dendam yang selama ini kupendam?” Raka menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran itu, tetapi rasa ragu tetap tertinggal.
Ia memejamkan mata sebentar.
Namun bagian lain dalam dirinya berkata. "Bukankah ini kesempatan? Kesempatan untuk lebih dekat dengan keluarga Nayla? Kesempatan untuk membuka satu pintu lagi untuk niatnya membalaskan dendam."
Raka membuka matanya perlahan. Jalanan tampak sibuk, namun ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berhenti.
“Apa pun niat Arvino,” ucapnya akhirnya, “aku harus tetap berhati-hati.” Ia masuk ke dalam mobil dan kembali menatap map di pangkuannya.
Jika ini memang takdir, pikirnya, maka aku harus siap menghadapi apa pun yang menunggu di depan.
Hari itu, Raka kembali menyadari satu hal, yaitu perjalanan menuju kebenaran baru saja memasuki babak baru dan ia tidak tahu apakah ia siap atau tidak untuk segala konsekuensinya.
.
.
.
Pagi itu suasana sedikit menegangkan bagi Naira. Ia tidak mengerti mengapa Arvino memaksanya untuk ikut serta dalam peninjauan lokasi untuk perusahaan barunya. Padahal Naira sudah menolak. Naira mengatakan bahwa ia tidak memiliki kepentingan di sana. Namun Arvino bersikeras.
Alvino memberikan tatapan tajamnya. “Naira.. " Ucapnya memotong perkataan Naira. "Tidak ada alasan, pokoknya kamu harus ikut aku.” ucap Arvino tegas saat mereka berada di mobil.
“Tapi Vin… aku...”
“Tidak perlu banyak alasan. Aku ingin kamu ada di sana. Aku ingin kamu ikut denganku. Titik.” Nada suaranya terdengar jelas mengandung paksaan.
Naira hanya menghela napas dan memalingkan wajah ke jendela. Ia tahu menolak hanya akan membuat suasana semakin tidak nyaman.
Setibanya mereka di lokasi, beberapa staf sudah menunggu bersama Raka dan Dimas. Raka sedang memeriksa struktur bangunan ketika suara langkah Arvino dan Naira terdengar mendekat. Tanpa sengaja, tatapan Raka dan Naira bertemu. Tidak ada kata yang keluar, tapi entah kenapa hanya keheningan yang terasa.
Namun detik berikutnya, Arvino menyentuh lengan Naira sambil berkata, “Hati-hati melangkah, sayang. Lantai di sini tidak rata.” Ucapnya menunjukkan kepedulian. Tapi bagi Raka itu terkesan seperti menunjukkan kepemilikann Arvino pada Naira.
Sentuhan itu membuat Naira tersentak ringan, sedangkan Raka langsung membuang muka. Ia berpura-pura kembali fokus pada peta bangunan di tangannya. Tidak ada yang mengetahui bahwa hatinya sempat bergetar saat tatapan itu terjadi, kecuali dirinya sendiri.
Arvino melirik ke arah Raka yang tampak mencoba menghindari pandangan. Tanpa ada yang menyadari, bibir Arvino terangkat membentuk senyum kecil yang penuh makna. Sebuah senyum sinis yang hanya muncul ketika ia merasakan kemenangan kecil.
“Kita mulai saja pembahasannya,” ujar Arvino.
“Baik, Tuan Arvino,” jawab Raka singkat. Suaranya terdengar stabil, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan sepenuhnya.
.
.
.
Dimas menghampiri Arvino setelah selesai menjelaskan bagian awal lokasi.
“Tuan Arvino, saya ingin menunjukkan area belakang. Ada beberapa bagian yang perlu Anda tinjau langsung,” ujar Dimas sopan.
Arvino mengangguk. “Baik, tunjukkan jalannya.”
Sebelum pergi, Arvino menatap Naira. “Tunggu di sini. Jangan kemana-mana.”
Naira hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Baik.”
Dengan langkah berat, ia menunggu hingga Arvino dan Dimas menjauh. Setelah yakin dirinya sendirian, Naira mengalihkan pandangan dan melihat Raka sedang berdiri dekat meja kerja sementara, memperhatikan denah bangunan dengan serius. Entah dorongan apa yang membuatnya bergerak, namun perlahan ia melangkah menghampiri Raka.
“Apa kamu memang selalu seserius ini?” ucap Naira pelan.
Raka mendongak dan seketika tatapannya teralihkan. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, namun ia segera menormalkan wajahnya.
“Nona Naira… ya, sepertinya begitu,” balasnya dengan suara rendah namun jelas.
Naira mengerjap pelan. Untuk pertama kalinya, Raka melihat tatapan mata perempuan itu terlihat sendu, seolah memendam sesuatu yang tidak ia mengerti.
“Apa Anda sedang sibuk? Jika ya, saya tidak ingin mengganggu,” ujar Naira cepat.
“Tidak. Hanya sedang memeriksa ulang bagian fondasi.” jawab Raka tenang.
Keheningan sejenak terjadi sebelum Naira kembali membuka suara. “Pak Raka… bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Tentu.”
Naira menarik napas. “Menurut Anda… apakah dalam sebuah hubungan itu wajar jika seseorang terlalu membatasi pasangannya?”
Raka mengernyit halus. “Maksud Anda?”
"Apakah anda juga termasuk laki- laki yang over protektif terhadap pasangan anda?" Tanya Naira sambil menatap Raka.
"Tentu saja tidak. Apakah kamu dalam hubungan seperti itu?"
Naira menganggukkan kepalanya. “Arvino selalu ingin saya berada di dekatnya. Ia tidak pernah membiarkan saya pergi sendiri. Bahkan untuk bertemu teman-teman sekalipun ia harus tahu. Ia mengatur banyak hal… mulai dari pakaian, cara bicara, hingga dengan siapa saya boleh berhubungan.”
Raka menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. “Apakah itu membuat kamu tidak nyaman?”
Naira menunduk. “Sangat. Tapi ia selalu mengatakan bahwa itu semua demi kebaikan dan keselamatan saya.”
“Jika kamu merasa terkekang, itu tidak bisa disebut perhatian,” balas Raka hati-hati.
Naira menggigit bibir bawahnya. “Saya… saya merasa seperti tidak punya ruang untuk menjadi diri saya sendiri.”
“Apakah kamu pernah mencoba membicarakannya dengan Tuan Arvino?” tanya Raka.
“Pernah,” jawab Naira lirih. “Tapi ia hanya marah dan mengatakan saya tidak tahu apa yang terbaik untuk diri saya.”
"Lalu keluarga kamu.. Apa merekan tahu?"
Naira menganggukkan kepalanya.
Raka menghela napas. “Saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi kamu, tetapi setiap orang berhak atas kebebasan. Bahkan dalam hubungan sekalipun.”
Naira menatap Raka lagi, kali ini lebih lama. “Terima kasih… Saya hanya butuh seseorang untuk mendengarkan.”
Raka mengangguk pelan lalu atensinya kembali kepada lembar kertas yang berada di hadapannya. Sedangkan Naira entah kenapa perasaannya menjadi sedikit lebih ringan.
Keduanya terdiam, namun kata-kata yang belum terucap terasa menggantung di udara.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...