NovelToon NovelToon
Kepepet Cinta Ceo Arogan

Kepepet Cinta Ceo Arogan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / CEO / Romansa / Fantasi Wanita / Nikah Kontrak / Wanita Karir
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: keipouloe

Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.

Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.

Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rapat yang menentukan

Perjalanan menuju ruang rapat di lantai 28 terasa mencekam. Langkah kaki bergema di sepanjang koridor kaca yang sepi. Devan berjalan di depan, tegap dengan jas abu arang yang rapi tanpa satu pun lipatan. Arash mengikuti beberapa langkah di belakang, menenteng map berisi ringkasan one-page yang ia kerjakan semalam tanpa tidur.

Begitu pintu ruang rapat terbuka, hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menyergap. Di dalam, meja oval panjang sudah dipenuhi air mineral, berkas presentasi, dan name tag tamu dari Kementerian Perindustrian. Tiga pejabat kementerian sudah duduk rapi, berbicara pelan di antara mereka sambil menunggu tuan rumah.

Devan masuk tanpa banyak bicara, hanya mengangguk kecil sebagai salam profesional. Arash menunduk sopan dan segera membantu menyiapkan dokumen tambahan di ujung meja.

“Saya akan mulai dari data ini,” ujar Devan datar, duduk di kursinya dengan tenang. Ia membuka lembar ringkasan dari Arash dan membacanya dalam diam.

Suara lembaran kertas yang digeser menjadi satu-satunya bunyi di ruangan itu.

Arash berdiri kaku di belakangnya, seperti murid yang menunggu nilai ujian akhir. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri, kencang dan tidak stabil.

Beberapa detik kemudian, Devan menurunkan kertas itu.

“Tidak buruk,” katanya akhirnya. “Ringkas, padat, dan tidak ada kesalahan format.” Ia berhenti sejenak. “Kecuali satu—kau menulis ‘Devan Adhitanma’ di footer. Saya sudah memperbaikinya.”

Arash menahan napas. “Maaf, Pak. Itu pasti karena saya—”

“Saya tidak peduli alasannya.” Suaranya tetap datar, tapi tajam. “Saya hanya peduli hasilnya. Untung saja saya yang melihatnya. Kalau sampai pihak kementerian membaca, itu bisa jadi bencana diplomatik kecil.”

Ia menyilangkan tangan di atas meja. “Dengar baik-baik. Selama rapat, kau hanya boleh bicara kalau saya tanya. Fokus. Catat semua hal penting, terutama saat pembahasan tarif impor dan penyesuaian pajak. Jangan sampai tatapanmu kosong seperti waktu kau ketiduran di ruang arsip. Paham?”

Arash menunduk cepat. “Paham, Pak.”

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Para pejabat dari kementerian berdiri. Devan bangkit menyambut mereka dengan jabat tangan hangat, senyum formal yang nyaris tidak menyentuh matanya.

“Selamat datang di Adhitama Group, Pak,” ucapnya sopan.

“Terima kasih sudah menerima kami,” jawab pejabat kementerian paruh baya itu, menatap Devan dengan hormat yang terselubung kewaspadaan.

Rapat pun dimulai.

Bagi Arash, ini bukan sekadar rapat. Ini seperti menyaksikan permainan catur dalam tempo tinggi. Devan Adhitama memimpin presentasi dengan ketenangan luar biasa. Ia tidak menaikkan nada suara, tidak terburu-buru, dan setiap kalimat yang keluar terasa seolah sudah disusun dengan sempurna di kepalanya.

Ia membahas proyek desalinasi Tirta Kencana dengan data ekonomi yang solid—bagaimana teknologi air laut menjadi solusi strategis bagi industri nasional, dan bagaimana Adhitama Group siap menanggung investasi awal.

Sementara para pejabat kementerian melontarkan pertanyaan kritis, Devan menjawabnya satu per satu dengan nada santai tapi presisi mematikan.

Arash mencatat secepat yang ia bisa. Ia berusaha menangkap setiap angka, istilah, bahkan nada perubahan suara. Devan bukan hanya pebisnis; ia seperti diplomat yang tahu persis kapan harus menekan, dan kapan harus memberi kelonggaran.

Ketika salah satu pejabat mencoba menggiring pembicaraan ke arah isu monopoli, Devan hanya tersenyum tipis.

“Kalau Bapak menganggap Tirta Kencana berpotensi monopoli,” katanya pelan, “maka kita bicara tentang perusahaan yang berinvestasi dalam infrastruktur vital negara—bukan sekadar bisnis. Kami bukan ingin menguasai pasar, Pak. Kami ingin memastikan Indonesia tidak lagi bergantung pada impor air bersih.”

Nada bicaranya tetap tenang, tapi semua orang di ruangan tahu: kalimat itu adalah ultimatum yang terselubung.

Rapat berlangsung selama dua jam. Ketika akhirnya berhenti untuk jeda, pejabat paruh baya itu menoleh pada Arash yang sibuk mencatat.

“Ini asisten pribadi baru, Pak Devan? Muda sekali,” katanya dengan nada ringan.

Devan menoleh sekilas. “Ya, Pak. Arash Maulidia. Mahasiswi magang yang kebetulan punya kemampuan analisis cukup baik.”

Ia melirik Arash. “Dia yang menyiapkan ringkasan hari ini.”

“Semester enam, Pak. Senang bertemu Bapak,” jawab Arash cepat, menjaga nada profesional.

“Bagus,” ujar pejabat itu. “Anak muda seperti ini yang dibutuhkan dunia kerja.”

“Tentu,” balas Devan dingin. “Asal kecepatan mereka tidak mengalahkan ketelitian.”

Senyumnya samar, dan Arash tahu siapa yang sedang ia sindir.

Rapat berlanjut hingga hampir pukul dua. Begitu tamu-tamu pamit, ruangan langsung terasa lebih hangat. Devan menutup map di depannya dan berdiri perlahan.

“Laporannya selesai sebelum pukul delapan belas. Buat versi rinci, bukan notulen. Sertakan dua skenario: optimis dan pesimis,” ucapnya tanpa menatap Arash.

“Baik, Pak.”

Devan melihat jam tangannya. “Tidak perlu kembali ke meja kerja. Kerjakan di rumahmu. Kirimkan sebelum jam enam. Anggap ini kompensasi atas jam tidurmu yang hilang.”

Arash terkejut, tapi lega. “Terima kasih, Pak.”

“Jangan senang dulu,” lanjut Devan datar. “Kalau hasilnya tidak sempurna, saya akan suruh kau lembur di kantor sampai subuh. Dan saya akan memotong bonus bulananmu—yang, untuk catatan, memang tidak ada.”

“Saya jamin sempurna, Pak,” jawab Arash cepat.

Devan hanya menatapnya sejenak, lalu berbalik keluar ruangan.

Saat pintu tertutup, Arash menghembuskan napas panjang. Tangannya masih gemetar, tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Ia berhasil melalui hari ini tanpa membuat kesalahan fatal. Bahkan—kalau bisa dibilang—ia mendapatkan pujian kecil, meskipun terselubung ancaman.

Ia menatap layar laptopnya yang masih terbuka, berisi catatan penuh coretan cepat. Hari belum selesai, tapi untuk pertama kalinya, Arash merasa sedikit yakin.

Mungkin, hanya mungkin, Devan Adhitama mulai memperhitungkannya.

Dan bagi Arash, itu sudah cukup untuk bertahan satu hari lagi di dunia kerja yang dingin dan penuh tekanan ini.

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
rokhatii: stay tune kak🙏🙏
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
rokhatii
ditanggung pak ceonya🤣🤣🤣
matchaa_ci
lah kalo gajinya di potong semua gimana arash hidup nanti, untuk bayar kos, makan, bensin pak ceo?
aisssssss
mobil siapa itu kira kira
aisssssss
bagua banget suka ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!