Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
“Baru hari pertama kerja, sudah disuruh lembur, ya?” komentar Sera sambil menyajikan makan malam.
“Memangnya aku siapa sampai dapat perlakuan istimewa dari Bos?” Dasha tertawa kecil.
“Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong, kamu pasti kangen anak-anakmu. Kenapa nggak beli iPad saja biar bisa video call mereka?”
“Aku sedang menabung, Sera.”
“Bayar kapan pun nggak masalah. Kalau aku boleh, aku kasih gratis, tapi aku tahu kamu bukan tipe yang mau menerima cuma-cuma. Di akhir pekan nanti, kita ke Mall. Sekalian jalan bareng, kan seru! Pertama kali kita nongkrong bareng sebagai BFF!”
Dasha akhirnya mengangguk setuju. Ia memang sangat merindukan Leo dan Lea, meski baru sehari berpisah. Mungkin begitulah rasanya jadi seorang ibu, perhatian tak pernah bisa lepas dari anak-anaknya. Lagipula, ini kali pertama ia jauh dari mereka selama ini.
**
Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja, tanpa perubahan sikap dari Issa. Dasha hanya bisa menghela napas. Ia tahu ini pekerjaan, tapi tetap saja, tak seharusnya memperlakukan karyawan sekeras itu.
Dulu, katanya, Issa ramah, murah senyum, dan selalu menyapa siapa pun yang berpapasan dengannya. Tapi kini benar-benar lain.
Suatu siang, ponselnya tiba-tiba berdering keras di tengah kesunyian lantai. Ia hampir melompat saking kagetnya. Melihat siapa yang menelepon, ia tersenyum, Levi.
Dasha meninggalkan catatan di mejanya bahwa ia ke toilet, lalu cepat-cepat keluar agar tidak ketahuan.
Begitu masuk ke toilet, ia langsung mengangkat telepon.
“Aku masih di kantor, Levi,” bisiknya pelan.
“Aku tahu, maaf ya. Aku cuma mau bilang aku pulang ke Sisilia hari Minggu. Dan tentu saja, aku kangen suara cemprengmu.” Levi tertawa di seberang.
“Heh! Tapi besok malam aku mau beli iPad buat anak-anak, biar bisa video call. Capek rasanya cuma teleponan.”
“Serius besok?”
“Iya.”
“Boleh aku ikut?”
“Kamu nggak sibuk?”
“Untukmu? Nggak lah.”
“Aku juga bareng temanku, dia mau bantuin dulu sampai gajian. Itu idenya dia juga.”
“Senang dengar kamu udah punya teman.”
“Sahabat, malah.”
“Jadi aku digantikan, ya?”
“Sejak kapan kamu jadi sahabat terbaikku, hmm?” goda Dasha.
“Dasar, Dasha! Tapi serius, aku kangen cerewetmu. Oke, besok aku ikut. Kenalin aku sama sahabat barumu, biar kita lihat siapa yang lebih ‘the best friend’.”
“Kamu ini kompetitif banget!” tawa Dasha. Saat itu, ia mendengar suara lift terbuka. “Aku harus tutup. Ada orang datang. Sampai besok.”
Setelah menutup telepon, ia buru-buru keluar hanya untuk mendapati Issa berdiri di depan mejanya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Uh... ke toilet, Bos. Tahu sendiri…”
“‘Panggilan alam’?” tanyanya tajam.
Dasha hampir saja memutar matanya.
“Masa langsung dibilang panggilan alam? Bisa jadi cuma pipis, kan?” jawabnya lirih.
“Lalu kenapa begitu lama? Jangan bilang kau mengobrol di jam kerja?” Ketahuan.
Dasha terdiam.
“Jangan bersikap tidak profesional, Nona. Aku benci orang tidak profesional.”
“Maaf, Tuan.”
“Seharusnya begitu. Anggap ini peringatan. Kembali bekerja.”
Issa lalu melangkah ke lift tanpa mengalihkan tatapan dinginnya sampai pintu tertutup.
Dasha mendengus pelan. Dingin benar!
Ia menyelesaikan pekerjaannya tepat pukul tujuh malam. Bosnya tak kembali lagi, jadi ia mengira Issa memang sudah pulang. Ia menelpon Sera dan sepakat pulang bersama.
Turun ke lantai tempat Sera bekerja, Dasha mencari-cari sahabatnya. Tak terlihat, jadi ia bertanya pada seorang rekan pria.
“Maaf, Sera masih di sini?” tanyanya. Pria itu sempat terpaku menatapnya sebelum menjabat tangannya.
“Owen ” katanya.
Namun sebelum Dasha sempat membalas, seseorang menarik tangan Owen dari belakang.
“Jangan ganggu temanku, Owen. Cari yang lain.” Itu suara Sera.
“Aku cuma mau kenalan!”
“Kenalan? Aku sudah tahu gaya kamu. Pergi sana,” balas Sera tajam. Owen menghela napas dan mengangguk pada Dasha sebelum berlalu.
“Kita bisa pulang bareng, Sha. Aku nggak sabar buat besok!” kata Sera gembira.
“Oh, soal itu…”
“Kenapa? Ada yang salah?”
“Tidak juga. Cuma... ada temanku yang mau ikut besok. Tapi jangan khawatir, dia baik kok.”
“Aduh, nggak apa-apa! Semakin banyak, semakin seru!”
Dasha tersenyum lega. Melihat Sera bahagia seperti itu membuat hatinya ikut hangat. Ada sesuatu yang menular dari kebahagiaan gadis itu.
Mereka berjalan menuju lift. Ketika pintu terbuka, seseorang sudah ada di dalam — Issa. Sendirian.
Dasha menarik Sera masuk, tapi temannya malah menggeleng-geleng dengan ekspresi aneh. Dasha menatapnya heran.
“Ada apa, Sera?”
Sera hanya menggeleng lagi dan diam sambil menggenggam tangan Dasha semakin erat. Ia mencoba melepaskannya, tapi genggaman itu justru semakin kuat.
Kenapa lift ini terasa lama sekali? pikir Dasha.
Akhirnya lift terbuka, dan Sera langsung menariknya keluar.
“Kenapa kamu terburu-buru? Lapar?” tanya Dasha heran.
Sera baru akan menjawab saat ponsel Dasha berdering. Ia segera mengangkatnya panggilan dari anak-anaknya.
“Yes, sayang?” sapa Dasha lembut.
“Mima! Kakak marah ke teman cowokku! Katanya aku nggak boleh punya pacar karena aku masih kecil. Tapi kan cuma teman cowok, bukan pacar! Salah, kan, Mima?” Lea protes panjang lebar. Dasha hanya bisa tertawa kecil. Leo memang sangat protektif terhadap adiknya.
Di kejauhan, Dasha sempat melihat Issa berjalan cepat melewati mereka dengan wajah tegang. Selalu saja terlihat marah, pikirnya, memperhatikan bagaimana pria itu langsung menerima kunci mobil dari valet dan pergi tanpa menoleh.
“Berikan ponselnya ke kakakmu, sayang. Mima mau bicara.”
“Yes, Mima?” suara Leo terdengar pelan.
“Benarkah yang dikatakan adikmu?”
“Teman cowoknya suka sama dia, Mima! Dia masih kecil untuk punya pacar!” jawabnya dengan nada marah.
“Leo, maksud adikmu itu teman yang laki-laki, bukan pacar. Begitu ia memahami kata ‘boyfriend’. Tenangkan dirimu, ya.” Dasha menasihatinya lembut. Ia tak ingin memarahi anak-anak lewat telepon.
“Walau begitu, Mima… kalau teman cowoknya suka sama Lea?” Nada Leo mulai melembut.
“Kalian masih anak-anak, Leo. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Nanti Mima telepon lagi kalau sudah di rumah, ya? Kita bicara lagi.”
Mereka saling mengucapkan “I love you” sebelum panggilan berakhir.
Dasha hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecil. Anak-anakku memang luar biasa.