Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Sebuah Tawaran Tak Terduga
Hari-hari Maya berlalu dalam kesibukan dapur.
Aroma masakan dan bunyi peralatan dapur menjadi satu-satunya fokusnya, cara dia untuk menghindari kesedihan karena Madhan dan kekhawatiran tentang masa depannya sebagai mualaf yang sendirian. Dia telah kembali bekerja di rumah megah Kak Laila(bos Maya) sebagai juru masak, dan kamar kecil di belakang rumah menjadi tempat perlindungannya.
Suatu sore, saat Maya sedang sibuk merapikan bahan makanan yang baru dibelinya dari pasar, ponselnya berdering. Nama Hana muncul di layar. Seperti biasa, Hana mengabarkan hal-hal kecil, menanyakan kabar Maya, dan memastikan dia baik-baik saja. Di tengah percakapan, suara Hana berubah menjadi lebih serius.
Hana: "Maya, ada Wawa di sebelah saya. Kakak sepupu saya itu ingin bicara dengan kamu, sebentar saja, bisa?"
Jantung Maya berdesir, bertanya-tanya ada urusan apa.
Maya: "Bi-bisa, Kak."
Hana: "Baik, saya berikan ponselnya ke Wawa ya."
Terdengar suara perpindahan ponsel, lalu suara wanita lain yang terdengar ramah dan keibuan menyapa.
Wawa: "Assalamualaikum, Maya. Ini Wawa, sepupunya Hana."
Maya: "Wa-alaikumussalam, Kak Wawa."
Wawa: "Begini, Maya. Hana sudah cerita banyak sekali tentang kamu, tentang perjalanan kamu menjadi mualaf, dan kondisi kamu saat ini. Saya kagum sekali dengan keteguhan hati kamu."
Maya hanya mendengarkan, hatinya berdebar tak karuan.
Wawa: "Saya dan Hana berpikir... ini mungkin kesempatan bagus untuk kamu, Maya. Ada seorang istri yang sedang mencarikan istri kedua untuk suaminya. Latar belakang agama mereka baik sekali, mereka hidup sesuai tuntunan."
Maya terdiam, kaget. Tawaran itu datang begitu saja, dari orang yang baru dikenalnya suaranya. Wawa melanjutkan, nadanya penuh keyakinan.
Wawa: "Saya pikir, ini jalan yang baik untuk kamu, karena kamu seorang mualaf. Dengan begitu, agama kamu akan tetap terjaga, insyaaAllah. Kamu akan mendapatkan bimbingan yang selama ini kamu cari."
Keheningan melingkupi sambungan telepon itu selama beberapa detik. Di dapur besar Kak Laila, Maya masih mematung, jantungnya berdetak kencang mendengar tawaran Wawa. Pikiran pertamanya bukanlah tentang pria itu, melainkan tentang wanita yang berbesar hati mencarikan "istri kedua" untuk suaminya sendiri. Bagi Maya, itu terdengar mustahil.
Maya: "Kak Wawa... benarkah? Maksudku... benarkah istri pertamanya itu yang mencarikan sendiri?" tanya Maya, suaranya dipenuhi nada tidak percaya.
"Sejatinya tidak ada wanita yang ingin dimadu, Kak."
Di seberang sana, Wawa menghela napas lembut, memahami keraguan Maya. Dia tahu betul sensitivitas masalah ini.
Wawa: "Saya mengerti keraguan kamu, Maya. Sejujurnya, saya sendiri tidak terlalu dekat dengan wanita tersebut. Pertemuan pertama kami adalah saat acara kajian besar di salah satu kota beberapa waktu lalu."
Maya mendengarkan dengan saksama sambil bersandar di meja dapur yang dingin.
Wawa: "Kami bertemu di sana, berkenalan, dan mengobrol banyak. Sampai akhirnya kami saling bertukar nomor ponsel."
Wawa berhenti sejenak, mengumpulkan kata-kata.
Wawa: "Meskipun saya tidak mengenal secara pribadi atau mendalam wanita tersebut, tapi saya punya sahabat yang tinggal di kota yang sama dengannya. Menurut informasi dari sahabat saya, wanita tersebut dan suaminya sejauh ini tampak baik-baik saja. Mereka juga berasal dari keluarga yang cukup mampu, jadi secara materi insyaAllah terjamin."
Informasi itu sedikit menenangkan Maya, tapi keraguan tetap ada. "Tampak baik" tidak selalu berarti "baik-baik saja" di balik pintu tertutup. Namun, di sisi lain, kebutuhan Maya akan bimbingan dan stabilitas hidup mulai mendesak, menutupi suara keraguan itu.
Wawa: "Jadi bagaimana, Maya? Kalo kamu bersedia, saya akan langsung mengabari Umma Fatimah atau kamu mau bicara langsung dengan beliau?"
Maya memejamkan mata. Ini adalah persimpangan jalan terpenting dalam hidupnya yang baru.
Pertanyaan Wawa menggantung di udara dapur besar itu. Pikiran Maya berkecamuk. Satu sisi hatinya yang rapuh dan mendambakan bimbingan ingin segera meraih kesempatan ini, melihatnya sebagai jawaban doa. Sisi lain, yang lebih realistis dan terluka oleh pengalaman pahit sebelumnya, dipenuhi keraguan mendalam. Mustahil rasanya ada pernikahan poligami yang berjalan tanpa konflik.
Maya memejamkan mata erat. Dia tahu keputusan sebesar ini tidak bisa diambil hanya dengan logika atau emosi sesaat. Dia harus melibatkan Yang Maha Kuasa dalam penentuannya.
Maya: "Kak Wawa... bisakah saya meminta waktu sedikit lagi untuk menjawabnya?"
Suaranya terdengar sedikit bergetar, tapi ada keteguhan di sana.
Wawa: "Tentu, Maya. Kami mengerti. Ini keputusan besar."
Maya: "Terima kasih, Kak. Saya perlu melakukan salat istikharah dulu sebelum saya bisa memberikan jawaban pasti," jelas Maya.
Wawa terdengar lega dan setuju di seberang telepon. "MasyaaAllah, itu langkah yang paling bijak, Maya. Lakukanlah. Kami menunggu kabar dari kamu."
Setelah bertukar salam penutup, panggilan pun terputus.
Maya berdiri sendirian di tengah dapur, ponselnya digenggam erat. Matahari di luar telah sepenuhnya tenggelam, digantikan oleh kegelapan malam. Satu-satunya cahaya di dapur itu berasal dari lampu neon di atasnya. Dia menarik napas dalam, merasakan sedikit ketenangan setelah mengambil keputusan untuk mencari petunjuk.
Malam ini, dia tidak akan tidur dengan gelisah; dia akan bersujud, meminta Allah untuk menunjukkan jalan yang terbaik baginya, jalan yang lurus dan benar, agar ia tidak salah langkah lagi.
...****************...
Dua hari berlalu sejak panggilan telepon dari Wawa. Hari-hari itu dipenuhi keheningan refleksi bagi Maya. Dapur Kak Laila menjadi saksi bisu atas kerisauan hatinya. Di sela-sela kesibukan memasak dan belanja ke pasar, pikirannya melayang pada tawaran pernikahan yang mengguncang dunianya. Salat istikharah telah ia lakukan, namun ketenangan mutlak belum sepenuhnya ia rasakan. Keraguan tetap ada, berakar dari pengalaman hidup dan logikanya sebagai seorang wanita.
Sore harinya, saat dia sedang merapikan lemari pendingin, ponselnya kembali berdering. Nama Hana muncul di layar.
Maya: "Assalamualaikum, Kak Hana."
Hana: "Waalaikumussalam, Maya. Apa kabar? Masih sibuk di dapur?"
Maya: "Alhamdulillah baik, Kak. Lumayan sibuk nih."
Mereka mengobrol ringan sejenak, bertukar kabar. Setelah beberapa saat, nada suara Hana berubah menjadi lebih serius dan hati-hati.
Hana: "Maya, maaf Kakak harus menanyakan ini. Bagaimana? Apakah kamu sudah memikirkan tawaran dari Wawa?"
Maya menghela napas. Dia tahu momen ini akan tiba.
Hana: "Pikirkan baik-baik ya, Maya. Jangan terburu-buru. Ini keputusan besar untuk masa depan kamu," nasihat Hana, tulus.
Maya terdiam sejenak, mengumpulkan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Maya: "Jujur saja, Kak... di satu sisi, aku kagum sekali sama istri pertamanya itu. Berbesar hati, rela mencarikan sendiri calon istri kedua untuk suaminya," aku Maya, ada nada kekaguman yang tulus dalam suaranya.
"Tapi," lanjutnya, suaranya mengecil, "di sisi lain... aku ragu. Dan nggak percaya ada wanita yang mau berbagi dan rela dimadu begitu saja."
Maya memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang paling mengganggunya.
Maya: "Memangnya, alasan mereka poligami itu apa, Kak? Apakah karena mereka belum dikaruniai anak setelah sekian lama menikah?"
Di seberang telepon, Hana tersenyum tipis. Dia bisa memahami logika dan pertanyaan Maya.
Hana: "Justru sebaliknya, Maya. Mereka sudah punya tiga anak, lho. Laki-laki dan perempuan."
Maya terkejut. Logikanya semakin sulit menerima. Punya tiga anak, hidup berkecukupan, dan masih mau berpoligami?
Hana: "Niat mereka murni, Maya. Murni karena ingin menjalankan sunnah tentang berpoligami. Mereka ingin memperbanyak keturunan. Mereka ingin membuka pintu rezeki dan membantu sesama, dan mereka melihat kondisi kamu sebagai seorang mualaf yang butuh bimbingan."
Hana: Kamu tau kalo dalam keyakinan kita, seorang anak itu bisa menjadi aset di akhirat, kamu tau tentang 3 hal yang tidak akan terputus sekalipun kita telah wafat? Salah satunya adalah doa anak yang sholeh, anak bisa jadi aset untuk kita di akhirat nanti, tentunya jika kita membimbing anak tersebut menjadi anak yang sholeh, yang paham betul tentang keyakinannya, yang tetap mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya sampai nanti."
Keheningan kembali melingkupi Maya. Dunia di sekitarnya terasa melambat. Informasi ini mengubah segalanya. Niat murni karena agama. Hal yang selama ini dia cari. Keraguan logisnya berbenturan dengan kerinduan spiritualnya. Keputusan semakin sulit, namun arah angin seakan mulai menunjukkan jalan.
Bersambung...