Berawal disalahpahami hendak mengakhiri hidup, kehidupan Greenindia Simon berubah layaknya Rollercoaster. Malam harinya ia masih menikmati embusan angin di sebuah tebing, menikmati hamparan bintang, siangnya dia tiba-tiba menjadi istri seorang pria asing yang baru dikenalnya.
"Daripada mengakhiri hidupmu, lebih baik kau menjadi istriku."
"Kau gila? Aku hanya sedang liburan, bukan sedang mencari suami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu Banyak Aturan
Tiba di area apartemennya, wajah Green aga pucat, seperti sedang menanggung beban mental yang sangat berat.
Green turun dari sepedanya dan memarkirnya di depan toko. Ia bergegas masuk dan melewati Tomi yang sedang melayani pelanggan tanpa menyapanya.
Tujuan Green langsung ke showcase minuman dan mengambil banyak bir lalu membawanya ke meja kasir.
“Green kapan kau akan berhenti untuk minum? Wajahmu bahkan terlihat sangat pucat.” Tomi berkata saat menerima keranjang belanjaan milik temannya itu.
“Tom, bisakah kau menghitungnya saja? Aku sedang tidak ingin membicarakan apa pun.”
Tomi yang mendengar itu langsung mengunci mulutnya. Meski mereka sudah berteman cukup lama, dirinya tidak pernah bisa benar-benar mengenal gadis itu, ia sangat tertutup tentang apa pun.
Hanya satu hal yang Tomi ketahui dari Green. Ia bukan gadis yang putus asa seperti yang terlihat. Gadis itu bahkan memiliki mobil mewah di garasi bawah tanah apartemennya. Namun, bagaimana ia bisa tinggal di apartemen kecil itu? Tomi tidak tahu sama sekali dan Green tidak pernah menceritakannya.
Seperti biasa, Tomi memasukkan satu botol obat pereda pengar ke dalam kantong belanjaannya meski Green tidak memintanya.
“Besok malam, Lizbet mengajak kita untuk BBQ. Apa kau ikut? Di tempat biasa.”
Tomi menunjuk atap gedung apartemen.
Green menyerahkan kartu untuk membayar belanjaannya. “Bayar juga semua hutangku sebelumnya,” katanya, sebelum menjawab pertanyaan Tomi. “Aku tidak tahu, sepertinya aku harus bekerja setelah beberapa hari mengambil jatah cutiku.”
“Club?”
“Ya, di mana lagi?”
Terdengar helaan lelah napas dari arah belakang meja kasir. “Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan tetap saja? Kau akan kelelahan jika terlalu banyak mengambil pekerjaan sampingan seperti ini."
Green mengambil kantong belanjaannya dan menjawab, “Pekerjaan seperti ini dapat uangnya lebih banyak. Aku juga mendapatkan banyak pengalaman darinya.”
“Tapi mau sampai kapan? Sampai tubuhmu sakit dan kau baru menyesalinya.”
Green tersenyum dengan perkataan Tomi. “Tentu saja tidak. Tapi, Tom, lagi pula aku tidak pernah benar-benar sehat. Jadi kenapa aku harus mengkhawatirkan diriku akan sakit."
Green tertawa setelah mengatakannya, seolah itu bukan apa-apa baginya dan melangkah pergi, meninggalkan toko setelah menerima kartunya kembali. Tomi yang berdiri di belakang meja kasir tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksud gadis itu.
‘Apa dia sakit?’ gumam Tomi pada dirinya sendiri.
“Aku titip sepedanya, ya. Terlalu lelah kalau harus membawanya ke parkiran.”
Terdengar Green dari arah depan berkata.
“Simpan saja. Biar aku yang mengirimnya ke sana.”
Green hanya mengangkat tangannya sebagai tanda terima kasih dan melangkah menuju lift, naik ke lantai tiga di mana unit apartemennya berada.
Mungkin karena tubuhnya terlalu lelah, Green tidak memperhatikan sekeliling rumahnya. Ia bahkan tidak memedulikan kalau sekarang dirinya tidak tinggal sendirian lagi. Dia hanya ingin segera mengistirahatkan tubuhnya dan menikmati minuman yang dibelinya.
Akan tetapi, begitu pintu terbuka Green mematung di ambang pintu, menjatuhkan barang belanjaannya hingga menimbulkan suara yang nyaring, menarik perhatian orang di dalam kamar.
Saat ini, Rex duduk di atas tempat tidur dengan hanya mengenakan celana dalamnya, tubuh bagian atasnya masih bertelanjang dada, memperlihatkan tubuh atletisnya yang masih lembab. Rambutnya yang gelap masih meneteskan air. Dia sedang berusaha memakai celana piyamanya.
“AAAA!!!! CABUL! REX, DASAR PRIA MESUM. APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN DI KAMAKU?”
Green menutupi wajah dengan kedua tangannya lalu memutar tubuhnya membelakangi Rex.
Rex mendengkus mendengar teriakan dan makian istrinya yang sama sekali tidak enak didengar.
“TUTUP MULUTMU! DASAR WANITA BARBAR. SIAPA YANG KAU SEBUT MESUM?”
“TENTU SAJA KAU! SIAPA LAGI?”
Rex hanya berdecak dan menarik napas kesal. Luka di kakinya masih tertutupi perban, sedikit tidak nyaman jika digerakkan sedikit. Sekarang ia harus memakai celananya dengan gerakkan terburu-buru.
“Aku baru saja selesai mandi dan sedang memakai baju. Kau saja yang langsung masuk tanpa mengetuk pintu.”
“Ini kamarku. Kenapa aku harus mengetuk terlebih dahulu sebelum masuk. Tidak, kenapa kau tidak menguncinya kalau kau mau mandi?”
“Aku lupa karena kau sedang tidak ada di rumah. Jadi kupikir tidak masalah.”
“Bohong, kau pasti sengaja melakukannya, kan?”
“Terserah kau saja!”
Rex mengabaikan Green yang masih membelakanginya dan memilih untuk mengambil bajunya yang masih ada di dalam koper. Namun, karena sebelumnya ia memakai celana dengan terburu-buru. Luka di kakinya semakin tidak nyaman.
“Green,” panggil Rex dengan terpaksa. Ia tidak mungkin berdiri dari duduknya karena itu akan membuat wanita itu curiga.
“APA?” jawab Green dengan nada bicara yang masih terdengar sangat garang.
Ck!
“Bisakah kau mengambilkan bajuku? Aku kesulitan mengambilnya.”
Green yang masih tidak mempercayai Rex segera menjawab. “Ambil saja sendiri. Aku tidak akan tertipu olehmu.”
Blam!
Green menutup kembali pintu kamarnya dengan keras, membuat Rex terkejut.
“Wanita sialan!” gerutu Rex tapi detik berikutnya senyuman muncul di wajah tampannya. “Apa katanya? Tidak akan tertipu? Kau bahkan sudah jadi istriku karena tipuan kecil.”
Usai mengatakan itu, Rex berdiri perlahan, ia meringis menahan sakit di kakinya. Tidak sesakit itu sebenarnya. Tapi kalau Green tahu, wanita itu pasti akan mengamuk.
Setengah jam berlalu, Rex keluar dari kamar sudah berpakaian lengkap. Ia mengenakan piyama tidurnya. Aroma sabun yang khas menguar dari tubuhnya yang baru saja selesai mandi.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Rex memperhatikan meja bundar yang sudah dipenuhi oleh kaleng minuman dan juga satu bungkus kacang. “Apakah kau sedang merayakan sesuatu?”
Green yang berada di dapur menyahut.
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau membeli banyak minuman di sini?”
Sebagai seorang pengusaha yang sering melakukan banyak pertemuan bisnis dan merayakan keberhasilan bisnis dengan minum-minum. Rex tidak terlalu asing dengan pemandangan di hadapannya.
“Apakah hanya untuk merayakan sesuatu baru kita boleh minum.”
“Tentu saja tidak.”
Green menghampiri meja lalu menghadap ke arah suaminya dengan berkecak pinggang. “Sepertinya kita harus membuat aturan... tidak, aku harus membuat aturan di rumah ini.”
Rex mengangkat sebelah alisnya. Kenapa gadis ini punya banyak sekali aturan?
“Aturan pertama seperti yang sudah kau ketahui. Aku tidak mengizinkan orang asing memasuki rumahku tanpa izin terlebih dahulu.” Green mengangkat kedua jarinya. “Kedua, karena rumah ini hanya memiliki satu kamar mandi yaitu di kamarku. Jadi kalau mau menggunakannya kau wajib mengunci pintu kamarnya juga. Ah, selain itu, kalau aku ada di rumah sebelum kau masuk ke kamarku kau wajib mengetuk pintu.”
“Tapi kau bilang—“
Green mengangkat tangannya untuk menghentikan Rex yang hendak berbicara. “Ini rumahku, dan itu kamarku. Tentu saja aku bisa melakukan apa pun. Kalau kau tidak suka, kau bisa kembali ke rumahmu. Pasti lebih nyaman.”
Rex berdecak mengerti maksudnya. “Lalu kau akan lepas tanggung jawab untuk merawatku?”
Green menjentikkan jarinya. "Tentu saja tidak! Aku akan membayar perawat untuk menjagamu.” Ia menyeringai dengan idenya yang terdengar brilian.
Namun, Green salah karena Rex lebih cerdik dibandingkan dirinya.
“Kau lupa alasanku menikahimu?”
Seperti disiram oleh seember air es, ekspresi bersemangat di wajah gadis itu langsung meredup. Kenapa bisa melupakan hal konyol itu.
Apa orang kaya selalu tidak masuk akal seperti ini?
“Terserah kau sajalah. Lebih baik sekarang kau tidur saja. Aku sedang berbaik hati untuk menyerahkan kamarku padamu dan aku akan tidur di sofa. Itu akan lebih memudahkanmu jika tengah malam harus ke kamar kecil."
Rex sedikit tertegun. Sejujurnya, sejak siang ia sudah memikirkan cara untuk membuat Green mengizinkannya tidur di kamar bersamanya. Membayangkan semalaman berbaring di sofa, Rex sudah bergidik, begitu bangun badannya pasti akan sakit.
“Kau sendiri yang mengatakannya. Jangan menarik kembali ucapanmu.” Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Siapa suruh dia menyebutnya pria cabul.
“Tentu saja, pergi sana!”
.
.
.
.
.
Hai readers. Jangan lupakan untuk tap like-nya dan berikan vote untuk dukung cerita ini.
Kalau kalian suka ceritanya, sampaikan di kolom komentar.... lopyuuuu
malam pertama Rex jadi merawat greenidia....
semangat trs Thor