Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 UNIVERSE ARUNIKA— Semakin Dekat, Semakin Sulit Menolak
Aku pikir kembali ke kota akan menghentikan semuanya.
Ternyata tidak.
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabut. Tidak ada suara langkah. Tidak ada mimpi ganjil.
Justru itu yang menakutkan.
Ketenangan mendadak seperti ini terasa bukan keselamatan… tapi jebakan.
Seperti gunung sedang memberi ruang untuk membuat satu kesalahan kecil — kesalahan yang akan membuka pintu lebar-lebar.
Sari menjaga jarak.
Dia menghilang sementara.
Dia takut kalau kami terus bersama, pilihan yang salah akan terjadi.
Aku mengerti… tapi tetap saja kesepian itu menyiksa.
---
Di hari ke-8, aku menerima telepon dari nomor tak dikenal.
Awalnya aku abaikan. Tapi telepon itu masuk terus, lima kali berturut-turut.
Akhirnya aku angkat.
“Halo?”
Tidak ada suara.
Hanya nafas, pelan… dan suara langkah.
Tap… Tap… Tap…
Enam langkah.
Aku langsung tutup telepon dan lempar ponsel ke kasur.
Beberapa detik kemudian ada notifikasi WA masuk dari Sari:
> “JANGAN ANGKAT TELEPON APA PUN YG NGGAK KAMU TAU”
Aku jawab cepat:
> “Udah. Tapi suaranya kedengeran.”
Sari membalas hampir instan:
> “Dia nggak ngejar kamu. Dia cuma cek pintumu udah mau kebuka atau belum.”
Jari tanganku kaku.
Aku tidak balas.
Sari chat lagi:
> “Ka… jangan cari Kayla. Jangan balas Kayla. Jangan kepikiran Kayla.”
Dan di titik itu… aku sadar: Sari bukan cuma takut pintunya sendiri terbuka.
Dia takut pintuku terbuka karena Kayla.
---
Sayangnya, hidup tidak berhenti hanya karena kita ingin menjauh dari seseorang.
Dua hari setelah itu, Kayla muncul di halaman depan rumah.
Tanpa peringatan.
Aku turun ke teras. Dia berdiri sambil senyum canggung, bawa kopi dingin favoritku.
“Kalau kamu beneran lagi struggling… kamu nggak harus sendirian.”
Aku langsung mundur setengah langkah.
“Kay, lu nggak boleh ke sini.”
Dia tertawa kecil. “Kok kayak sinetron sih? Gue cuma mau jadi teman.”
“Gue serius.”
“Aku juga.”
Dia melanjutkan dengan suara pelan: “Dulu kamu bilang aku satu-satunya orang yang bisa bikin kamu ngerasa aman.”
Aku terdiam.
Bukan karena sentimentil…
tapi karena aku ingat — aku pernah bilang itu dulu.
Waktu aku dan Kayla dekat.
Dan gunung mendengarkan.
Kayla mengambil langkah kecil mendekat. “Raka… ada apa sih? Kamu kenapa ngejauh? Kamu kenapa dingin banget?”
Rasanya seperti disayat.
Bukan karena aku tidak peduli Kayla —
tapi justru karena aku peduli, sehingga berbahaya.
Aku menarik napas pelan. “Kalau aku bilang kalo aku menjauh justru buat ngelindungin lo, kamu percaya nggak?”
Kayla tertawa singkat, tapi itu tawa orang yang patah. “Ka… kamu nggak lindungin siapa-siapa kalau kamu ngejauh dari semua orang sampai kamu sendirian mati pelan-pelan.”
Penderitaannya — itu yang membuatnya pintu paling mudah terbuka.
Dan gunung tahu itu.
Aku mencoba putuskan percakapan. “Kayla, please, pulang.”
Dia menggigit bibir, suara menurun: “Apa aku salah? Aku… cuma sayang sama kamu.”
Hatiku seperti ditarik paksa ke dua arah sekaligus.
Aku ingin peluk dia.
Aku ingin bilang maaf.
Aku ingin bantu dia supaya nggak ikut masalah ini.
Tapi justru keinginan itu yang berbahaya.
Dan aku tahu karena tepat di momen itu —
gelang di saku jaketku terasa panas, seakan membakar kulit.
Tanpa melihat, aku tahu huruf ketiga sudah muncul.
K A Y
“Kayla.”
Suara itu keluar sebelum sempat kupikir.
Dia langsung mendongak. “Iya?”
Aku menggeleng cepat. “Nggak… bukan…”
Kayla memegang pergelangan tanganku.
“Raka… please jangan dorong aku pergi. Aku tau kamu butuh seseorang. Gue ada di sini. Jangan hilang dari hidup gue.”
Mataku panas.
Aku benci gunung ini.
Bukan karena terornya…
tapi karena dia memanfaatkan hal yang paling manusiawi: rasa sayang.
Aku melepaskan tangan Kayla perlahan, menatap matanya langsung.
“Lo nggak ngerti apa yang lo bilang.
Kalau lo ikut deket… lo bakal hilang. Bukan karena gue ninggalin lo… tapi karena gue sayang sama lo.”
Kayla terdiam.
Dia tersenyum — bukan manis, tapi sedih banget.
“Sayang itu bukan dosa, Ka.”
Dan kalimat itu membuatku hancur.
Karena benar.
Tidak ada yang salah dengan sayang.
Tapi saat aku melepaskan tangannya… aku mendengar suara lain dalam kepala:
“Kalau kamu mau selamat… kamu hanya perlu membiarkan orang yang sayang padamu menggantikan posisimu.”
Aku menarik mundur tanganku secepat mungkin, seolah menyentuh bara.
“Pulang, Kayla. Tolong. Bukan untuk gue. Untuk lo.”
Untuk pertama kalinya, Kayla menangis di depan aku.
Dia tidak teriak. Tidak drama.
Dia hanya berkata pelan:
“Kalau suatu hari kamu kecelakaan… atau kamu hilang… dan gue nggak bisa bantu karena kamu dorong gue pergi… gue nggak akan maafin diri gue sendiri.”
Itu kalimat yang paling mematikan dari semuanya.
Karena itu adalah janji emosional.
Dan janji adalah pintu.
Kayla akhirnya pergi… tapi langkahnya berat, seperti orang yang menyerah, bukan pulang.
Saat dia berjalan menjauh… aku melihat gelang di tanganku.
Dan sekarang ada empat huruf.
K A Y L
Sari benar.
Gunung tidak perlu mengajak orang kelima.
Gunung hanya perlu menunggu kita yang memanggilnya lewat perasaan.
Dan dengan satu kejadian kecil saja…
nama Kayla hampir lengkap.
Kalau huruf kelima muncul… daftar selesai.
Dan saat daftar selesai…
satu orang akan hilang selamanya.
Aku menggenggam gelang itu sampai jari memutih.
Aku sadar satu hal yang paling menyakitkan:
Untuk menyelamatkan diri kami dari gunung…
kami harus menyakiti orang yang sama sekali tidak bersalah.
Dan itu adalah horor yang paling manusiawi.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor