NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:561
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 - Boxton Desa Tak Bersahabat

Udara pagi Desa Boxton masih segar, bau tanah basah sisa hujan semalam bercampur dengan aroma masakan dari kedai-kedai yang mulai dipenuhi warga. Di antara hiruk-pikuk itu, langkah-langkah berat pasukan Zevh memasuki desa membawa suasana berbeda. Semua mata tertuju, semua suara pelan meredam.

Zevh berdiri tegak di luar pintu sebuah kedai terbesar di desa itu. Sorot matanya dingin, tak pernah lepas dari punggung Elara yang tampak kecil dan gamang di tengah keramaian asing.

Di dalam, Zark sudah duduk santai sambil memesan makanan, sementara Veron dengan rakus menyantap daging panggangnya. Elara, meski gelisah, duduk diam di bangku panjang dengan tatapan berusaha tenang.

Tak lama, Zevh melangkah masuk. Suasana seketika hening. Semua penghuni kedai, bahkan para pelayan, menundukkan kepala seakan menyambut seorang raja. Ia duduk di hadapan Elara.

“Mereka tahu siapa dirimu,” ucap Zevh dengan suara rendah namun penuh wibawa.

Elara mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,” sahutnya datar.

Zevh mengangkat dagunya, matanya menusuk. “Kau akan mengerti jika kau mengikuti perintahku.”

Seketika kemudian, kata-kata Zevh meluncur enteng, seolah tanpa beban.

“Buka bajumu.”

Kata itu bagai petir bagi Elara. Darahnya mendidih. Tangannya menghantam meja hingga kursi panjang yang ia duduki terjungkal.

“Aku tawanan, bukan penghangat ranjangmu!” pekiknya lantang. Zevh menatap dingin. Lagi-lagi Elara salah paham.

Keheningan pecah. Beberapa warga terperangah, lalu bisik-bisik merayap cepat di antara mereka.

Seorang pelayan wanita maju, wajahnya penuh amarah.

“Hei, gadis tak tahu diri! Apa kau tidak dengar ucapan Panglima? Apa telingamu tuli?”

Hinaan itu membuat suasana semakin panas. Namun Zark dan Veron tetap santai, seolah semua ini bagian dari tontonan yang mereka nikmati. Ajudan-ajudan Zevh hanya duduk diam, sama sekali tidak terusik.

Seorang pria berambut ikal, pemilik kedai, mendekat dengan penuh hormat pada Zevh.

“Panglima, apakah gadis ini telah mengusik perjalanan Anda?” tanyanya.

Zevh hanya menggerakkan kepalanya sedikit. Isyarat itu cukup.

Pria ikal itu menatap Elara dengan sorot tajam. Tangannya menekan bahu gadis itu hingga Elara meringis.

“Buka bajumu di hadapan Panglima, atau akui dosamu! Katakan, apa yang kau perbuat hingga membuat Panglima murka sampai kau dibawa kemari!”

Elara menggertakkan gigi, meremas erat dress yang ia kenakan. Tatapannya menantang, lalu ia berlutut. Dengan mata yang menatap lurus ke arah Zevh, ia melawan dengan kata-kata.

“Pria sombong, angkuh… kau menyebalkan!”

Sorot matanya tajam, lantang, dan penuh penekanan. Kedai mendadak riuh, beberapa orang mengumpatnya. Dan Zevh kini mendekat berdiri di depan Elara yang bertekuk lutut.

Pria ikal itu menekan bahu Elara makin keras hingga kepalanya tertunduk paksa di hadapan Zevh.

“Gadis kurang ajar! Cepat akui dosamu, atau...”

Tangannya meraih bagian bahu dress Elara.

Krakk!

Suara robekan kain terdengar, meski jubah tipis di pundak Elara masih menutupinya dari tatapan orang banyak.

Zevh lalu membungkuk perlahan, ujung jarinya turun menyentuh jubah Elara, menggesernya tipis, pundak putih Elara pun hampir terlihat begitu jelas di mata Zevh.

Elara menahan nafas, lalu bersuara dengan getir.

“Tunggu… Baik, aku mengaku. Aku hampir membuat Panglima dan rombongannya terjatuh dari kuda. Tapi itu murni ketidaksengajaan.” suaranya begitu lantang, dan itu bukanlah jawaban yang Zevh tunggu. Bukan sama sekali.

“Berani sekali kau masih bisa membela diri di atas pengakuan dosamu!” bentak pria ikal itu. Tangannya terangkat, siap menampar wajah Elara.

Namun sebelum tangan itu melayang, suara berat Zevh memotong.

“Cukup. Kau boleh pergi.” ucapnya datar, ia kecewa dengan jawaban Elara.

Pria ikal itu segera menarik diri, menunduk dalam-dalam.

“Maaf, Panglima.”

Elara membuka mata, dadanya berdegup kencang. Ia menatap Zevh dengan tatapan penuh luka dan marah, saat Zevh mencengkram bahu Elara kuat, lalu Elara berdiri tanpa berkata apa-apa. Menepis tangan Zevh. Dengan langkah cepat ia meninggalkan kedai.

Salah satu ajudan Zevh segera mengikuti jejaknya, sementara mata Zevh hanya mengikuti dari jauh. Tubuhnya tetap tegak, dingin, dan tak bergerak, namun tatapan itu tajam, seolah masih menggenggam Elara meski jarak memisahkan.

Bagi Elara, hari itu di Boxton menjadi pengingat pahit. Ia bukan hanya tawanan Zevh, tapi juga berada di tengah masyarakat yang begitu memuja sang panglima. Dan di hadapan mereka semua, harga dirinya diuji dan identitas aslinya semakin di curigai Zevh.

Langkah Elara terhuyung, seakan setiap mata yang menatapnya barusan masih menempel di kulitnya, menusuk hingga ke dalam.

Tangannya gemetar menggenggam ujung jubah yang hampir saja tersobek tadi. Nafasnya tersengal, bukan karena berlari, tapi karena menahan segala rasa yang menyesakkan.

“Sombong, angkuh, menyebalkan…” ia mengulang kata-katanya sendiri dalam hati. Tapi bukannya lega, justru dadanya semakin perih. Tatapan Zevh barusan, dingin, tanpa satu pun rasa iba, membuat Elara merasa seolah harga dirinya diinjak-injak di hadapan semua orang.

Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Apakah aku hanya tontonan? Apakah aku hanya boneka di hadapan mereka semua? Atau dia ingin mencari tahu identitas asliku. Elara menyentuh bahunya yang di sentuh jemari Zevh tadi. Cahaya mengkilat melintas di atas permukaan kulit bahunya.

Semua orang memuja Zevh. Semua orang tunduk pada ucapannya. Sedangkan dirinya? Ia hanya gadis asing yang dianggap berani melawan karena mungkin Zevh mulai mengendus aroma identitas aslinya.

Elara berhenti sejenak di ujung jalan desa. Matanya menatap kosong pada kerumunan orang yang masih berbisik-bisik, membicarakan dirinya. Rasanya ia ingin menjerit, ingin kabur sejauh mungkin, tapi langkah kakinya terikat oleh kenyataan. Ia tawanan, dan bahkan menerimanya karena ingin berlindung di balik sosok Zevh Obscura. Untuk keegoisannya saat ini.

Ia menutup mata, membiarkan angin desa Boxton menyapu wajahnya. Tapi dinginnya angin itu tak bisa menghapus panasnya rasa malu yang terbakar di pipi.

“Aku tidak akan menangis,” bisiknya pada diri sendiri, suara itu lirih namun gemetar. “Tidak di hadapan mereka. Tidak di hadapan dia…”

Namun, di balik kata-katanya, air mata tetap lolos, jatuh perlahan.

Mulutnya tak berhenti mengoceh sambil menyusuri sisi sungai yang mengalir tenang di sampingnya.

“Pantas saja Boxton tidak bersahabat. Karena hanya aku yang membenci panglima mereka,” gerutu Elara, suaranya kesal, penuh rasa tidak suka pada sikap Zevh yang angkuh.

Ia menendang kerikil kecil ke arah aliran air, cipratannya memecah permukaan yang jernih.

“Tapi kenapa mereka begitu mengagungkannya? Desa Osca saja masih belum bisa dia urus!”

Langkahnya berhenti. Matanya menyipit ketika melihat sosok pria mirip ajudan Zevh menunggangi kuda dari arah berlawanan. Jantungnya berdegup lebih cepat.

“Dia ajudannya… apa dia membawa kabar dari Osca?” bisiknya.

Tanpa pikir panjang, ia berbalik arah, berlari mengejar bayangan kuda itu. "Ayah, ibu, apa kalian baik-baik saja" ucapnya lirih, saat ia ingin tahu kabar desa Osca yang di bawa Ajudannya Zevh.

Di kejauhan, Zevh sudah melihat. Tatapannya mengikuti setiap langkah Elara yang tanpa sadar justru kembali mendekat padanya.

Ajudan yang baru tiba segera menghampiri Zevh di kedai.

“Tuan, Pangeran Arons tidak menyentuh warga desa Osca. Ia hanya memasuki salah satu rumah bangsawan, lalu keluar dalam waktu singkat.”

Zevh menajamkan pandangannya. “Apa yang dia cari?”

“Keluarga bangsawan Edric Elowen itu mengatakan, Pangeran Arons hanya menanyakan harga sebidang tanah milik mereka di perbatasan wilayah utara.”

“Cari terus informasi lanjutannya. Jangan sampai terputus.” Perintah Zevh tegas.

Dari sudut lain kedai, Elara pura-pura sibuk mengambil makanan dari meja pemilik kedai. Namun dalam hati ia bergumam lirih.

“Ayah… kau menutupinya dengan baik.”

Detik berikutnya, suara berat Zevh memotong keheningan.

“Istirahat selesai. Kita lanjutkan perjalanan.”

“Tapi aku baru mau makan…” protes Elara.

Namun pasukan segera berdiri serentak, keluar dari kedai. Tinggal Elara seorang yang belum beranjak. Tatapan warga Boxton menusuk tajam padanya, membuat udara terasa berat.

Elara menegakkan kepalanya. “Aku tahu, aku musuh kalian. Tapi aku perlu makan untuk jadi lawan kalian,” ucapnya enteng.

Tangannya mengambil beberapa makanan yang dibungkus daun, lalu pergi begitu saja tanpa membayar. Ajudan Zevh yang mengikutinya segera maju, meletakkan sejumlah uang di meja pemilik kedai.

Di luar, Elara kini berdiri di sisi kuda gagah milik Zevh.

“Ambil makanan itu darinya,” perintah Zevh pada ajudannya.

“Sisakan aku beberapa saja… aku lapar,” rengek Elara. Namun makanan di tangannya segera dirampas.

Zevh menunduk sedikit, tangannya meraih pinggang Elara. Cepat-cepat Elara mundur, menolak disentuh.

“Beri aku satu makanan saja,” pintanya, kali ini suaranya lebih lembut, tapi matanya hanya menatap makanan di dekapan ajudan, bukan Zevh.

“Beri dia satu,” ucap Zevh akhirnya.

Ajudan itu segera melempar sebungkus makanan ke arah Elara. Tangannya sigap menangkap.

“Dua,” pinta Elara lagi. Atas anggukan Zevh, satu lagi dilemparkan, langsung ia dekap dengan lega.

Namun tanpa aba-aba, Zevh kembali meraih pinggang Elara dan mengangkatnya ke atas kuda. Elara tak sempat melawan, tubuhnya sudah kembali berada di depan sosok lelaki itu.

Hatinya campur aduk. Kesal pada Zevh yang masih saja membuatnya tak berdaya. Lega karena kabar dari Osca tidak seburuk yang ia takutkan. Dan Senang karena perutnya tak akan kosong siang ini.

Tapi di balik itu semua, pertanyaan besar tak berhenti mengganggunya.

Bagaimana cara ayah mengelabui Pangeran Arons malam itu?

Elara menggenggam erat bungkusan makanan di tangannya, menatapnya seakan benda sederhana itu menyimpan jawabannya.

“Aku bisa menelan makanan ini,” bisiknya dalam hati, lirih namun tegas. “Tapi bisakah aku menelan kebohongan yang ayah sembunyikan dariku?” walau ia membenci sikap ayahnya atas keputusan menjalin pernikahan politik dengan pangeran Arons. Tapi Elara tahu ayahnya sangat mencintai dirinya dan warga Desa Osca.

Angin pagi Boxton kembali berhembus, membawa aroma tanah basah dan sisa hujan. Tapi bagi Elara, udara itu bukan kesejukan, melainkan pertanda. Bahwa perjalanan ini tak hanya akan menguji perut dan raganya, tapi juga hati dan kebenaran yang selama ini terbungkus rapat, menunggu saatnya terkuak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!