NovelToon NovelToon
Ning Azzahra Ganiyyah Al - Hasyimi

Ning Azzahra Ganiyyah Al - Hasyimi

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Persahabatan
Popularitas:391
Nilai: 5
Nama Author: blue_era

Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

06. api dalam jiwa yg terkungkung

Waktu berlalu, Ning Azzahra kini telah genap berusia 16 tahun. Delapan kakaknya telah menyelesaikan pendidikan mereka dan kembali ke Pesantren Al-Ikhlas, mengabdikan diri sebagai pengajar. Kehadiran mereka memberikan warna baru bagi pesantren, namun juga menambah beban bagi Ning Azzahra.

Suatu hari, Ning Azzahra mengetahui bahwa ia telah dipindahkan dari sekolah akselerasi (Excel) di Surabaya ke madrasah aliyah milik pesantren Al-Ikhlas. Keputusan ini diambil tanpa persetujuannya, dan ia merasa sangat marah dan kecewa. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya sendiri.

"Kenapa Azzahra dipindahkan ke sini? Azzahra tidak mau!" protes Ning Azzahra kepada Gus Zaky dan Gus Rofiq, dua kakaknya yang dianggap paling dekat dengannya.

"Ini demi kebaikanmu, Ning. Kami ingin kamu lebih dekat dengan keluarga dan pesantren," jawab Gus Zaky dengan nada lembut.

"Alasan saja! Kalian hanya ingin mengontrol Azzahra, kan? Kalian tidak percaya pada Azzahra!" bentak Ning Azzahra dengan mata berkaca-kaca.

"Bukan begitu, Ning. Kami hanya ingin menjagamu. Kamu tahu sendiri bagaimana para santriwan di sini," timpal Gus Rofiq dengan nada yang sama.

"Justru karena itu Azzahra ingin tetap di sekolah lama! Di sana Azzahra bisa belajar dengan tenang dan tidak ada yang mengganggu!" bantah Ning Azzahra.

"Keputusan sudah bulat, Ning. Kamu harus belajar di sini," kata Gus Zaky dengan tegas.

Ning Azzahra tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merasa terkekang dan tidak berdaya. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas.

Di kelas Excel Pesantren Al-Ikhlas, Ning Azzahra menjadi satu-satunya santriwati di antara delapan santriwan. Kehadirannya menjadi daya tarik tersendiri bagi para santriwan, yang setiap hari menggodanya dengan berbagai macam cara.

Awalnya, Ning Azzahra berusaha untuk mengabaikan godaan para santriwan. Namun, lama-kelamaan ia merasa risih dan terganggu. Ia merasa tidak nyaman dan tidak bisa fokus pada pelajaran.

Pada suatu pagi, lima santriwan mengerubungi Ning Azzahra di kelas Excel. Mereka menggodanya dengan kata-kata yang tidak pantas dan mencoba untuk menyentuhnya. Ning Azzahra merasa sangat takut dan marah. Ia berusaha untuk melawan, namun ia tidak berdaya.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Kyai Ahmad Ghozali, Nyai Afiqah, dan delapan putra mereka berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para santriwan itu melecehkan Ning Azzahra.

"Kurang ajar!" teriak Gus Hilman dengan geram. Ia dan Gus Salman segera menghampiri para santriwan itu dan menyeret mereka keluar dari kelas.

Para santriwan itu dihukum dengan hukuman yang berat. Mereka dicambuk di depan seluruh penghuni pesantren dan diwajibkan untuk menggantikan pekerjaan mbak-mbak ndalem selama satu bulan penuh.

Namun, hukuman tidak hanya diberikan kepada para santriwan itu. Ning Azzahra juga dimarahi habis-habisan oleh keluarganya. Mereka menuduh Ning Azzahra telah memancing para santriwan itu dengan sikap dan penampilannya.

"Kamu harus menjaga diri, Ning! Jangan membuat kami malu!" bentak Gus Hilman dengan nada marah.

"Kamu harus tahu bagaimana cara berpakaian dan bertingkah laku yang benar! Jangan membuat para santriwan itu tergoda!" timpal Gus Salman dengan nada yang sama.

Ning Azzahra merasa sangat sakit hati. Ia merasa tidak dihargai dan tidak dipercaya oleh keluarganya sendiri. Ia merasa bahwa ia selalu disalahkan atas semua yang terjadi padanya.

Sebagai hukuman tambahan, Ning Azzahra juga dicambuk oleh Gus Hilman dan Gus Salman. Kyai Ghozali, Nyai Afiqah, dan keenam putra mereka yang lain tidak tega melihat Ning Azzahra dicambuk. Namun, mereka tidak bisa menghentikan Gus Hilman dan Gus Salman yang sudah terlanjur marah.

Hukuman cambuk itu berlangsung selama dua minggu penuh. Setiap malam, Ning Azzahra dicambuk di depan seluruh penghuni pesantren. Ia merasa sangat malu, sakit, dan terhina.

Selain dicambuk, Ning Azzahra juga diwajibkan untuk menggantikan pekerjaan mbak-mbak ndalem. Ia harus membersihkan seluruh ndalem, mencuci pakaian, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia merasa sangat lelah dan tertekan.

Ning Azzahra merasa bahwa hidupnya telah hancur. Ia merasa tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Ia merasa sendirian dan tidak berdaya. Namun, di dalam hatinya, ia menyimpan api kemarahan dan pemberontakan. Ia bertekad untuk membalas dendam kepada semua orang yang telah menyakitinya.

Sejak hukuman cambuk yang memilukan itu, Ning Azzahra berubah drastis. Ia menjadi sosok yang pendiam, penyendiri, dan penuh dengan amarah yang terpendam. Ia selalu berusaha untuk menghindari Gus Hilman dan Gus Salman, terutama saat mereka mengajar di kelasnya. Ia merasa jijik dan benci melihat wajah kedua kakaknya itu.

Ning Azzahra juga mulai sering bolos sekolah. Ia lebih memilih untuk bersembunyi di tempat-tempat sepi di sekitar pesantren, merenungi nasibnya yang malang. Ia merasa tidak ada seorang pun yang memahami dirinya. Ia merasa bahwa semua orang di sekitarnya hanya ingin mengendalikan dan menyakitinya.

Lama-kelamaan, Ning Azzahra mulai menyakiti dirinya sendiri. Ia menggoreskan benda tajam ke kulitnya, membenturkan kepalanya ke dinding, dan tidak mau makan atau minum. Ia merasa bahwa dengan menyakiti dirinya sendiri, ia bisa melampiaskan rasa sakit dan amarah yang ia rasakan.

Suatu malam, Ning Azzahra mencapai titik nadirnya. Ia merasa tidak tahan lagi dengan semua penderitaan yang ia alami. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia pergi ke tepi sungai yang terletak di belakang pesantren, berniat untuk menceburkan diri ke dalam air.

Namun, sebelum Ning Azzahra sempat melakukan aksinya, lima santriwan yang dulu pernah menggodanya datang menghampirinya. Mereka melihat Ning Azzahra berdiri di tepi sungai dengan tatapan kosong dan wajah pucat pasi. Mereka menyadari bahwa Ning Azzahra sedang dalam masalah besar.

"Ning, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya salah seorang santriwan dengan nada khawatir.

Ning Azzahra tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan kosong.

"Ning, jangan lakukan hal bodoh! Hidup ini masih panjang!" seru santriwan yang lain.

"Kalian tidak tahu apa yang aku rasakan! Kalian tidak tahu betapa sakitnya aku!" teriak Ning Azzahra dengan histeris.

"Kami tahu, Ning. Kami tahu kamu sedang menderita. Tapi, bunuh diri bukanlah jalan keluar!" kata salah seorang santriwan dengan lembut.

"Lalu apa? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ning Azzahra dengan putus asa.

"Kamu harus mencari pertolongan. Kamu harus berbicara dengan seseorang yang bisa memahami dirimu," jawab santriwan yang lain.

"Siapa? Siapa yang bisa memahami aku?" tanya Ning Azzahra dengan sinis.

"Kami. Kami bersedia mendengarkanmu. Kami bersedia membantumu," kata salah seorang santriwan dengan tulus.

Ning Azzahra terdiam sejenak. Ia melihat ketulusan di mata para santriwan itu. Ia merasa ada secercah harapan di tengah kegelapan yang melandanya.

"Baiklah," kata Ning Azzahra dengan lirih. "Aku akan mencoba."

Para santriwan itu segera membawa Ning Azzahra kembali ke pesantren. Mereka membawanya ke kamar mereka dan memberikan teh hangat serta makanan ringan. Mereka mendengarkan dengan sabar semua keluh kesah Ning Azzahra.

Kabar tentang percobaan bunuh diri Ning Azzahra sampai ke telinga Gus Hilman dan Gus Salman. Mereka sangat terkejut dan marah. Mereka tidak menyangka bahwa adik mereka akan melakukan tindakan separah itu.

Gus Hilman dan Gus Salman segera menghampiri Ning Azzahra. Mereka melihat Ning Azzahra duduk di kamar para santriwan itu dengan wajah pucat pasi dan mata sembab.

"Azzahra! Apa yang kamu lakukan di sini?" bentak Gus Hilman dengan nada marah.

"Kenapa kamu melakukan hal bodoh seperti itu?" timpal Gus Salman dengan nada yang sama.

"Aku tidak tahan lagi! Aku tidak tahan dengan semua ini!" teriak Ning Azzahra dengan histeris.

"Kamu harus kuat, Azzahra! Kamu tidak boleh menyerah!" kata Gus Hilman dengan tegas.

"Mudah bagimu untuk mengatakan itu! Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan!" bantah Ning Azzahra.

"Kami tahu, Azzahra. Kami tahu kamu sedang menderita. Tapi, kami akan selalu ada di sini untukmu," kata Gus Salman dengan lembut.

"Bohong! Kalian hanya ingin mengendalikan aku! Kalian hanya ingin menyakiti aku!" teriak Ning Azzahra dengan histeris.

Gus Hilman dan Gus Salman tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka merasa bersalah dan tidak berdaya. Mereka menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar dalam mendidik Ning Azzahra.

Sebagai hukuman atas percobaan bunuh dirinya, Ning Azzahra kembali dicambuk oleh Gus Hilman dan Gus Salman. Kali ini, hukuman cambuk itu dilakukan dengan lebih kejam dan brutal. Ning Azzahra dicambuk hingga pingsan.

Kyai Ghozali dan Nyai Afiqah tidak bisa lagi menahan diri. Mereka menghentikan hukuman cambuk itu dan memarahi Gus Hilman dan Gus Salman habis-habisan. Mereka mengatakan bahwa kedua putranya itu telah bertindak terlalu jauh dan telah menyakiti Ning Azzahra secara fisik dan mental.

Ning Azzahra kembali terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan. Ia merasa bahwa tidak ada harapan lagi baginya. Ia merasa bahwa hidupnya telah berakhir.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!