Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 : Amarah Bumi
Pesta pernikahan Bumi dan Ambar selesai digelar. Dua belah pihak keluarga dapat bernapas lega meski harus menahan malu karena tak hanya satu orang bertanya kenapa nama mempelai wanitanya Ambar, dan bukan Rania.
Tapi, ya, sudahlah. Lebih baik sekarang menata lembaran baru dan melupakan lembaran lama.
"Rania tidak ada dikamar," Ucap Mina ketika langkahnya mulai memasuki ruang makan, yang mana ruangan tersebut sudah diisi oleh Ambar, Anton, serta Bumi.
Anton meraih gelas berisi air putih, lalu meneguknya beberapa kali. "Kemana dia? Bukankah dia menolak keluar kamar? Ayah berbicara dengannya tadi," Sambil meletakkan gelas itu kembali.
"Ibu juga tidak tahu. Awalnya ibu hanya mengetuk pintu, biasanya Rania akan langsung membuka pintu atau menyahut lebih dulu, tapi kali ini tidak ada. Bahkan ibu sudah masuk ke dalam kamar."
Mina yang biasanya keras pada Rania, kini berubah khawatir. Anak sulungnya menolak makanan sejak tiga hari lalu. Dan sekarang saat ingin diajak makan bersama, Mina malah tidak menemukan sang empu kamarnya.
"Coba telepon dia."
Berdecak dibarengi gerakan gusar. "Ibu melihat ponselnya ada diatas meja, ayah. Dia pergi meninggalkan ponselnya. Kalau seperti ini, bagaimana kita mengubungi dia?"
"Mungkin mbak Rania ada keperluan diluar, ibu tenang saja, jangan terlalu banyak berpikir," Ambar ikut angkat bicara.
"Ibu tidak bisa tenang, ibu takut Rania melakukan hal nekat—,"
"Jangan bicara sembarangan! Rania tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang ibu pikirkan."
Untuk situasi saat ini? Mina tidak yakin Rania masih bisa berpikir waras. Mina tak menyentuh makanan dan terus menggigit ujung kuku ibu jarinya, ia tidak akan bisa tenang. Niatnya ingin berdiri dan mencari dimana Rania, tapi Anton lebih dulu menahan tangannya, Anton juga memberi isyarat agar Mina tetap diam ditempat.
Tepat diseberang Mina, Bumi terdiam usai mendengar celotehan ibu mertuanya. Ia ikut berpikir kemana Rania saat ini, ia mencoba mengingat-ingat tempat yang biasa Rania kunjungi saat merasa sedih.
"Kamu dimana, Rania?"
Bersamaan suara dering notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel milik Bumi. berpikir bahwa pesan itu dari Rania, Bumi segera meraih ponsel dan membuka ruang pesan. Dahinya membetuk kerutan saat pesan masuk ternyata dikirim oleh nomer tidak dikenal. Mengirim foto? Batinnya.
Karena merasa penasaran, Bumi membuka pesan tersebut. Sebuah foto menampilkan punggung telanjang seorang perempuan yang hanya ditutupi selimut, Bumi merasa bingung kenapa ada orang kurang kerjaan mengirimkan foto seperti ini.
Detik selanjutnya, manik Bumi bergulir membaca deretan pesan yang tertera dibawah foto tersebut.
[Unknown: Aku tidak menyangka akan mendapatkan rasa nikmat dari perempuan ini, terlebih dia yang datang padaku dan menyerahkan diri. Apa kamu tidak memuaskan dia dengan baik, Bumi? Ngomong-ngomong, aku sedikit terkejut karena ternyata dia masih tersegel.]
Rahang Bumi mengetat, urat lehernya timbul, menahan amarah setelah selesai membaca pesan itu. Dan baru ia sadari, sosok perempuan yang ada difoto tersebut adalah Rania.
[Bumi: Dimana kalian sekarang?]
[Unknown: Tentu saja disebuah kamar.]
[Bumi: Kirim alamatnya sekarang!]
[Unknown: Hei, jangan menganggu kesenangan orang lain. Kita masih akan melanjutkan kesenangan ini sampai pagi.]
[Bumi: Jangan main-main denganku! Kirim alamatnya sekarang!]
Tidak ada balasan setelah pesan terakhir, bahkan hanya centang satu. Ingin rasanya Bumi melempar ponsel dan membalikkan meja guna menyalurkan emosi. Tapi Bumi masih waras, ia ingat jika ini bukan rumahnya, apalagi mereka sedang menikmati makan malam.
"Nak Bumi, ada apa? Apakah Rania menghubungi kamu?" Mina yang sejak tadi melihat gerak-gerik Bumi, kini bertanya pada akhirnya. Ia menatap penuh harap pada jawaban Bumi, berharap jika itu adalah kabar baik.
Bumi tidak langsung menjawab. Masih ada emosi dalam dada, Bumi menghembuskan napas panjang agar sedikit lebih tenang.
"Bukan," Bergerak mengantongi ponsel. "Saya baru ingat kalau ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya ijin pamit keluar sebentar untuk mengambil laptop dan beberapa berkas dirumah."
"Memangnya tidak ambil cuti?"
Menggeleng. "Tidak," Menjawab singkat pertanyaan Anton dan melenggang pergi meninggalkan makanan yang masih utuh.
"Mas Bumi kenapa?"
Pandangan Mina dan Anton tertuju pada Ambar. Perempuan itu menatap tempat dimana terakhir kali Bumi terlihat.
"Sudahlah, Ambar. Lebih baik habiskan makananmu dan segera istirahat. Kamu tidak boleh kelelahan, ingat?"
...----------------...
Soal pekerjaan dikejar deadline adalah bohong. Bumi memang pergi menggunakan mobil, tapi tidak ke rumah untuk mengambil laptop, melainkan pergi mencari keberadaan Rania.
Sepanjang perjalanan, Bumi berusaha fokus pada jalanan. Tidak lucu jika ia malah terlibat kecelakaan karena tidak fokus saat berkendara. Namun sekeras apapun Bumi mencoba fokus, tetap tidak bisa karena pikirannya dipenuhi oleh Rania.
Soal, dimana dia sekarang dan kenapa dia melakukan hal bodoh seperti ini.
Tujuan pertama Bumi adalah tempat tongkrongan Ryan. Begitu sampai disana, ia segera turun dari mobil dan melenggang masuk tanpa permisi.
"Ada tamu tidak diundang lagi," Jati melempar kartu, lalu beranjak menghampiri Bumi. "Katanya orang kaya dan berpendidikan, tapi kenapa tidak punya etika saat bertamu?"
Bumi memalingkan wajahnya dan berdecih. "Untuk apa menerapkan etika ditempat seperti ini? Bahkan tikus berkeliaran bebas disini."
"Ya, memang. Lalu kenapa kamu mau ke tempat banyak tikus ini?"
"Dimana Ryan?"
"Bos? Aku tidak tahu. Mungkin sedang bersenang-senang dengan perempuan cantik tadi."
Tangan mengepal erat di ke-dua sisi tubuh. "Kemana mereka?"
"Mana ku tahu! Bos tidak mengajak kami bersenang-senang bersama. Sepertinya kali ini berbeda, dia ingin bersenang-senang sendiri."
Atas ucapan Onad, detik selanjutnya Bumi menarik kerah baju Jati hingga hampir mencekik sang empu. Ia mendorong tubuh Jati ke belakang dan mengunci pergerakan Jati pada dinding kayu.
"Katakan dimana Ryan!" Berteriak keras tepat didepan wajah Jati. Sang empu menanggapi santai, dan tentu saja semakin membuat emosi Bumi berkobar karena responnya.
Diki menyenggol lengan Onad yang duduk disampingnya. "Hei, bukankah kamu yang baru saja bersuara? Kenapa malah Jati yang akan ditelan hidup-hidup sekarang?"
"Tidak tahu. Mungkin pria itu terlalu pusing sampai tidak bisa melihat siapa yang berbicara."
"Aku tidak tahu dimana Ryan! Aku jujur! Setelah menemui perempuan diteras, Bos tidak kembali ke dalam. Dia langsung pergi menggunakan motor."
"Wow ... Ternyata kamu bergerak cepat untuk menjemput Rania."
Suara itu berasal dari arah belakang. Bumi melepaskan cengkeraman pada kerah baju Jati, dan beralih memutar tubuhnya. Rahangnya kembali mengetat saat menemukan sosok Ryan diambang pintu.
Ryan bersandar santai dengan senyuman miring. Senyuman meremehkan bagi Bumi. "Aku tahu kamu akan datang ke sini untuk mencari ku. Jadi, ada apa? Apa kamu ingin bertanya padaku bagaimana rasanya meniduri Rania? Oh, aku orang pertama yang menidurinya—,"
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....