Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Melati terbangun perlahan ketika suara gemericik air masuk ke telinganya yang masih setengah terpejam. Matanya melirik ke arah pintu kamar mandi yang terbuka sedikit, memperlihatkan cahaya remang-remang dari dalam. Ia menguap panjang, menahan kantuk yang masih menggelayuti pikirannya.
"Kebiasaan kalau mandi pintu nggak pernah ditutup," gumamnya.
Tubuhnya remuk redam akibat ulah suaminya semalam yang hampir tak memberikan jeda untuk beristirahat.
Dengan langkah malas, Melati turun dari ranjang dan menengok ke arah jam dinding yang berdetak pelan. Jarum menunjukkan pukul 04.35 pagi. Keningnya berkerut, pikiran negatif mulai merayapi benaknya.
"Tumben Mas Revan sudah bangun jam segini. Jangan-jangan dia mau ke Bandung lagi, menemui simpanannya," bisiknya pelan, suara itu nyaris seperti bisikan yang dipenuhi kecurigaan sekaligus rasa kecewa.
Ia menatap pintu kamar mandi dengan tatapan dingin, dada terasa sesak seolah ada sesuatu yang menekan rapat hati Melati.
Pintu kamar mandi terbuka dengan suara gemeretak, Revan muncul dengan rambut basah yang meneteskan air ke dadanya yang bidang. Senyum tipis merekah di bibirnya, menebar pesona yang dulu mampu meluluhkan hati Melati. Namun kali ini, tatapan Melati berubah menjadi beku. Dadanya sesak, napasnya tersendat ketika bayangan Revan yang berbagi peluh dengan wanita lain melintas jelas di pikirannya.
"Selamat pagi, sayang," suara Revan hangat, tubuhnya tanpa sungkan menempel erat pada Melati yang hanya mengenakan piyama tipis. Hangat tubuhnya seolah ingin menghapus dinginnya pagi itu.
Namun Melati tak mampu berpura-pura. Dengan gerakan tiba-tiba, tangannya menepis tubuh Revan, disusul dorongan yang membuat pria itu sedikit terjauh. Wajahnya memerah bukan karena malu, tapi jijik yang menggerogoti. Matanya menatap tajam, napasnya bergetar menahan amarah dan kekecewaan yang membuncah.
"Jangan sentuh aku," lirihnya, suaranya nyaris berbisik, namun penuh ketegasan. Di dalam hatinya, Melati merasakan luka yang dalam, tak hanya dari pengkhianatan, tapi juga dari kenyataan bahwa pria yang dulu ia cintai kini berubah menjadi sosok yang membuatnya semakin muak.
Revan terpaku sejenak saat mendapat ledakan emosi dari Melati. Matanya membelalak, hati tiba-tiba berdebar. “Kamu kenapa sih, sayang? Tadi malam kita…” ucap Revan, suaranya penuh tanya dan sedikit cemas.
“Stop! Aku nggak mau dengar lagi, Mas!” teriak Melati sambil menutup kedua telinganya rapat, wajahnya memerah dan tubuhnya bergetar.
Revan langsung menggenggam lengan istrinya, sedikit mengguncang perlahan. “Kamu ini kenapa sih sayang, kok jadi aneh gini?"
Melati menatap dalam mata Revan, kemudian menggeleng lemah. “Aku nggak apa-apa, Mas. Mungkin aku cuma terlalu lelah...” suaranya nyaris berbisik. Revan menarik napas lega, senyum tipis terbentuk di bibirnya.
“Tumben kamu bangun duluan," tanya Melati.
Revan kembali merengkuh bahu istrinya, "Aku bangun karena dengar suara adzan, terus mandi wajib. Kamu mandi dulu, ya. Kita shalat subuh berjamaah,” ujarnya penuh kelembutan.
Melati mengangguk pelan, lalu melangkah ke kamar mandi. Revan menatapnya sebentar, lalu berbalik masuk ke walk-in closet.
Dengan cekatan, ia mengenakan baju koko navy, sarung putih melingkar di pinggang, dan kopiah hitam terpasang rapi di kepalanya.
Revan membentangkan dua sajadah satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Ia duduk bersila dengan tenang, jemarinya mulai berzikir, menyusuri ayat-ayat yang mengalir dari hati.
Waktu berjalan pelan, matanya sesekali menatap pintu seolah menanti kehadiran Melati. Lima belas menit kemudian, pintu terbuka pelan. Melati melangkah keluar, rambutnya masih basah, meneteskan air.
"Mukenanya udah aku siapin, sayang. Kamu tinggal ganti baju," suara Revan lembut, menyimpan harap dalam tatapannya. Melati hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke walk-in closet. Beberapa saat berselang, dia muncul mengenakan gamis putih dengan motif bunga kecil yang menghiasi kainnya, membawa ketenangan tersendiri di ruang itu. Keduanya lalu bersiap, menyatukan hati dan niat, melangkah menuju ibadah berjamaah dengan khusyuk dan penuh doa.
Melati menunduk pelan, jemarinya menyentuh punggung tangan Revan yang terulur. Napasnya bergetar saat berkata, "Sayang, hari ini kita pulang ke rumah, ya?"
Matanya mencari jawaban di wajah Revan. Dia mengangguk ringan. "Iya, mas. Tapi kamu nggak ke kantor?"
Revan menggeleng sambil menyunggingkan senyum penuh rencana. "Nggak, tiga hari ke depan aku ambil cuti. Aku pengen ngajak kalian jalan-jalan, menikmati udara pagi di Puncak."
Melati mengernyit, khawatir. "Tapi anak-anak kan belum libur."
Revan menepuk lembut bahu Melati, meyakinkan. "Weekend, sayang. Sabtu-Minggu. Jumat sore kita berangkat, jadi anak-anak masih punya waktu dua hari buat main. Setuju, kan?"
Hati Melati berontak antara senang dan cemas, tapi akhirnya mengangguk pelan dengan rasa terpaksa. "Iya, tapi ada syaratnya." Revan menatapnya penasaran. "Apa?" "Nonaktifin ponsel, Mas. Aku nggak mau liburan kita terusik oleh dering telepon nggak penting itu."
Revan terkekeh lalu mengangkat ponsel dari meja, matanya berbinar. "Sudah, kan?"
Dia meletakkan ponsel itu dengan santai, seolah melepaskan beban yang selama ini mengganggu. Melati tersenyum kecil, berharap suasana perempuan yang menelponnya itu tak lagi meneror suaminya.
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.