“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Suasana taman menjadi hangat dan hidup oleh celotehan Fio, padahal tak ada manusia lain yang bicara.
Darrel berhenti mengetik sejenak. Matanya melunak. Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya terasa sedikit lebih ringan… sesuatu yang jarang ia rasakan sejak perceraiannya.
Namun, seperti biasa, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya duduk diam, memperhatikan dalam hati.
Fio masih jongkok di tepi kolam, menaburkan sisa pakan ikan sambil bersenandung kecil. Ikan-ikan koi berenang riang, air kolam bergelombang tenang.
Dari bangku taman, Darrel akhirnya menutup laptopnya pelan—klik. Ia menatap punggung gadis itu sesaat sebelum membuka suara.
“Suaranya berisik sekali… Kamu lagi bicara dengan siapa?” tanya Darrel datar, tanpa ekspresi.
Fio menoleh cepat, sedikit terkejut karena dari tadi ia kira Darrel terlalu sibuk dengan laptopnya. Tapi kemudian bibirnya menyunggingkan senyum mengg0da.
“Lah… emang gak kelihatan? Sama ikan, Tuan Muda.”
Alis Darrel terangkat sedikit. “Ikan?”
“Iya.” Fio berdiri dan menepuk-nepuk tangannya yang basah, lalu menunjuk ke kolam. “Mereka kan makhluk hidup juga. Siapa tahu mereka kesepian, kan kasihan kalau gak diajak ngobrol.”
Darrel hanya memandang datar. “Ikan tidak mengerti bahasa manusia.”
Fio langsung menyeringai. “Siapa bilang? Nih ya, begitu aku bilang ‘ayo makan’, mereka langsung datang semua. Itu namanya ngerti, Tuan Muda.”
Darrel tidak menanggapi. Ia hanya kembali menyandarkan punggung ke kursi dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya kembali dingin, seperti tidak tertarik melanjutkan perdebatan.
Melihat itu, Fio mengerling iseng.
“Duh, gawat. Kayaknya yang perlu diajak ngobrol bukan cuma ikan, tapi juga manusianya. Soalnya dingin banget… kalah sama AC!”
Darrel melirik sekilas, tapi tidak terpancing. Ia menjawab pendek, “Kalau sudah selesai, tinggalkan tempat ini.”
“Wah, ketus banget,” gumam Fio pelan, tapi cukup keras untuk didengar. Ia pura-pura mendecak sambil mengambil wadah pakan.
Darrel tetap tidak bereaksi. Ia membuka kembali laptopnya, seolah obrolan itu tidak pernah terjadi.
Fio hanya menghela napas dan berjalan pergi sambil bergumam sendiri.
“Bos-nya dingin banget… untung ikannya gak ikutan cuek.”
Darrel mendengarnya—dan sudut bibirnya nyaris, hanya nyaris, terangkat. Tapi ia cepat-cepat menahan ekspresi itu, kembali memasang wajah serius seperti biasa.
Fio menyudahinya, kembali ke dalam rumah.
***
Malam harinya, suasana ruang makan keluarga besar Darrel terasa lebih hidup dari biasanya. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya hangat, menyinari meja makan panjang yang dipenuhi aneka hidangan menggugah selera: ayam panggang bumbu rempah, tumis sayur segar, sup bening dengan aroma kaldu yang harum, dan puding mangga yang tampak menggoda di tengah meja.
Para bibi dan pekerja rumah sibuk hilir mudik menyiapkan piring dan gelas. Bu Rania tersenyum puas dari kejauhan, matanya sesekali melirik ke arah dapur—tempat Fio tadi sibuk memasak dengan cekatan.
Fio sekarang hanya duduk manis di pojokan dapur sambil membersihkan peralatan bekas masak, mengenakan celemek bergambar kelinci yang dipinjam dari Bibi Tuti. Pipi dan sedikit poni depannya basah karena uap panas dari dapur, tapi matanya berbinar puas.
“Masakan kamu enak banget, Fio,” puji Bibi Tuti pelan sambil menepuk bahunya. “Udah lama saya tidak makan ayam panggang seenak ini. Rempahnya pas, bumbunya meresap banget.”
Fio terkekeh kecil. “Terima kasih, Bi. Ya maklum… anak kos, kalau gak bisa masak ya kelaparan.”
Alat masak di kontrakan Fio memang lengkap walau sudah sesikit usang. Semua itu peninggalan ibunya. Dulu, saat ibunya masih ada, mereka berhemat. Bukan berarti mengurangi porsi makan, tapi mencukupkan supaya uangnya terbagi dengan rata untuk keperluan hidup termasuk kuliah Fio yang membutuhkan banyak biaya. Setelah ibunya meninggal pun barang itu masih ada dan dipakai Fio untuk memasak.
Di ruang makan, Darrel baru saja turun dari lantai atas. Mengenakan kemeja abu-abu gelap dengan lengan tergulung, ia melangkah tenang namun berwibawa. Semua pekerja yang melihatnya refleks memberi salam hormat.
Ia duduk di kursi utama dengan tenang. Awalnya tidak berniat makan banyak—seperti biasanya, makan malam keluarga hanyalah rutinitas yang terasa hambar baginya.
Namun begitu sendok pertama menyentuh lidahnya, langkah pikirannya berhenti sesaat.
Ini…
Alisnya berkerut ringan. Rasa ayam panggang itu berbeda. Lebih segar, bumbunya meresap sempurna sampai ke dalam daging. Tumis sayurnya tidak terlalu berminyak dan terasa renyah, pas sekali. Bahkan supnya memiliki cita rasa kaldu ayam asli, bukan kaldu instan seperti yang biasa dimasak Bibi.
Siapa yang masak malam ini? pikirnya dalam hati.
Darrel menatap piringnya sebentar, lalu memandang ke arah Bu Rania yang sedang sibuk membantu bibi menaruh air minum. Ia tahu betul, rasa ini bukan masakan ibunya. Ia juga hafal gaya masakan para bibi—semuanya punya ciri khas masing-masing.
Namun yang ini… benar-benar baru.
Tanpa sadar, ia mengambil suapan kedua, ketiga… lebih banyak dari biasanya.
Bu Rania yang memperhatikan diam-diam hanya tersenyum samar. Bagus... Berhasil menarik perhatianmu tanpa perlu aku paksa, batinnya puas.
Di pojok dapur, Fio mengintip sedikit dari celah pintu sambil memeluk piring kosong. Ia melihat Darrel yang tampak serius menyantap makanannya.
“Dingin sih, tapi doyan juga ya ternyata…” gumamnya pelan dengan nada geli.
Darrel sendiri tidak tahu kalau sang “koki misterius” sedang mengintipnya. Ia hanya menyandarkan punggung, menatap meja makan, dan bertanya-tanya dalam hati:
Siapa sebenarnya yang masak malam ini...?
***
Acara makan malam ini akhirnya usai menjelang pukul delapan malam. Para bibi dan pekerja sibuk membereskan meja makan, sementara sebagian lainnya kembali ke pekerjaannya masing-masing. Suasana rumah kembali perlahan tenang.
Fio yang dari tadi hanya membantu di dapur, mulai menggulung celemek kelinci yang dipakainya. Ia berencana pulang sendiri naik ojek online, seperti biasa. Namun, belum sempat ia keluar dapur, suara Bu Rania memanggilnya lembut.
“Fio, sebentar sayang…”
Fio menoleh cepat. “Iya, Bu?”
Bu Rania mendekat sambil tersenyum hangat, tangannya menggandeng Fio pelan seperti seorang ibu menggandeng anak gadisnya. “Kamu sudah mau pulang, ya?”
“Iya, Bu. Soalnya besok pagi saya ada kelas jam delapan. Takut kesiangan,” jawab Fio sopan.
“Bagus, kamu rajin. Tapi… malam ini biar Darrel saja yang antar kamu pulang,” ucap Bu Rania dengan nada tenang tapi tegas.
Fio langsung gelagapan kecil. “Hah?! Gak… gak usah, Bu! Saya bisa sendiri kok. Naik ojek aja. Gak enak ganggu Tuan Darrel, lagian—”
“Bukan ganggu. Dia juga belum keluar rumah. Lagipula mama lebih tenang kalau kamu dianter,” potong Bu Rania lembut tapi tidak memberi ruang untuk penolakan. Dia benar-benar tidak ingin terjadi apa-apa kepada Fio di jalan. Bahkan tanpa sadar Bu Rania menyebut 'mama' untuk Fio.
“B-Bu…” Fio mencoba mencari alasan lain, tapi mata Bu Rania sudah menunjukkan tidak ada pilihan lain.
Sementara itu, di ruang keluarga, Darrel baru saja meletakkan laptop kerjanya ketika ibunya memanggil.
“Darrel.”
Ia menoleh malas. “Apa lagi, Ma?”
“Antar Fio pulang ke kontrakannya.”
Bersambung