NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 7 — Proyek Luar Kantor (dan Bos yang Tiba-tiba Hangat)

Hari Jumat pagi.

Ruang redaksi Vibe Media terasa sedikit lebih santai dari biasanya. Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing — semua, kecuali Emma, yang menatap email di layarnya dengan ekspresi bingung.

> 📩 From: Liam Dawson

Subject: Proyek “Interactive Series” - Presentasi Klien

Kirimkan konsep dan video teaser ke lokasi klien di Queens, hari ini pukul 2 siang. Kamu dan Ryan mewakili tim editorial.

Emma menatap layar itu lama. “Queens? Dua jam perjalanan? Dengan Ryan?”

Suara Ryan muncul dari belakang. “Kau kelihatan seperti baru baca surat panggilan sidang.”

Emma menunjuk layar. “Kita disuruh presentasi ke klien langsung.”

Ryan mengintip. “Oh, hebat! Aku suka keluar kantor. Gratis jalan-jalan.”

“Ini bukan jalan-jalan, Ryan,” katanya datar. “Ini presentasi penting. Kalau gagal, proyek kita batal.”

Ryan mengangguk penuh semangat. “Tenang. Aku udah latihan ngomong di depan kaca kamar mandi selama tiga hari.”

Emma menghela napas. “Kau sadar kaca tidak memberi pertanyaan susah, kan?”

Ryan tersenyum lebar. “Makanya aku butuh kamu.”

---

Dua jam kemudian, mereka sudah duduk di mobil perusahaan menuju Queens.

Ryan yang menyetir, sementara Emma sibuk memeriksa naskah di tablet.

“Jadi, nanti bagian pembuka kamu yang bicara,” jelas Emma. “Aku lanjut bagian analisis audiens, lalu kita tutup dengan teaser video.”

Ryan menatap jalan. “Kedengarannya rapi banget. Kau selalu gitu ya, ngatur semuanya?”

“Kalau nggak, dunia ini akan kacau,” jawab Emma tanpa menoleh.

“Lucu, ya,” kata Ryan pelan. “Kau bilang dunia akan kacau, tapi waktu kau senyum, justru dunia kelihatan lebih tenang.”

Emma menoleh cepat. “Kau serius ngomong kayak gitu ke atasanmu?”

“Serius. Dan nggak nyesel,” katanya sambil tetap fokus ke jalan.

Emma hanya bisa menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya pura-pura sibuk lagi.

Tapi senyum kecil di bibirnya tidak bisa disembunyikan.

---

Di gedung klien, presentasi berjalan mulus. Ryan sempat sedikit salah ucap — memanggil “marketing director” dengan sebutan “marketing disaster” — tapi justru membuat ruangan tertawa.

Emma menutup sesi dengan profesional dan elegan.

Setelahnya, salah satu klien berkata, “Tim kalian luar biasa. Energinya terasa hangat dan jujur.”

Ryan berbisik, “Itu karena aku nyengir terus.”

Emma menjawab cepat, “Dan karena aku kerja dua kali lipat.”

Klien menyalami mereka dan berkata, “Saya akan bicara langsung dengan Mr. Dawson, tapi saya pikir proyek ini punya potensi besar.”

Emma mengangguk sopan, namun begitu mereka keluar dari gedung, Ryan bersorak kecil. “Kita berhasil!”

Emma tersenyum lega. “Ya, sejauh ini.”

Ryan mengangkat tangannya tinggi. “High five?”

Emma menatapnya ragu, tapi akhirnya menepuk tangannya juga. “Baiklah. Sekali ini.”

Mereka tertawa, berdiri di bawah langit sore yang mulai jingga.

Untuk sesaat, suasana terasa ringan — sampai ponsel Emma bergetar.

Notifikasi masuk dari Liam.

> 📲 Bagus kerja kalian. Tapi besok aku ingin laporan lengkap di mejaku jam 9 pagi.

Dan Carter, jangan pulang dulu. Aku ingin bicara sebentar.

Emma menatap pesan itu. Ada sesuatu di antara kalimat formalnya.

Nada yang… hangat? Atau posesif?

Ryan memperhatikan ekspresinya. “Bos?”

“Ya,” jawab Emma pendek.

Ryan mengangguk pelan. “Kau tahu, kadang aku bingung. Dia kelihatannya dingin, tapi selalu tahu kapan harus muncul di hidupmu.”

Emma tidak menjawab. Ia hanya menatap layar ponselnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya.

---

Sore menjelang malam. Kantor sudah sepi ketika Emma tiba kembali.

Lampu di ruang Liam masih menyala.

Ia mengetuk pelan, lalu masuk. “Anda ingin bicara, Pak?”

Liam berdiri di dekat jendela, jasnya sudah dilepas, dasinya longgar.

Wajahnya tampak lelah tapi tenang. “Aku dengar presentasimu tadi bagus.”

“Terima kasih, Pak. Ryan juga banyak membantu.”

“Ya, aku tahu,” katanya datar. “Dia punya gaya bicara yang… unik.”

Emma menatapnya. “Kau cemburu, ya?”

Liam berbalik cepat. “Apa?”

Emma menahan senyum. “Tadi ekspresimu lucu sekali, seolah dia bukan intern, tapi saingan.”

“Carter,” katanya pelan, suaranya lebih berat. “Aku tidak mencampur urusan pribadi di kantor.”

“Tapi kau barusan melakukannya,” balas Emma dengan nada lembut.

Hening.

Tatapan mereka bertemu, dan suasana berubah. Tidak lagi formal, tidak lagi dingin.

Liam mendekat beberapa langkah. “Emma…”

Suara itu, lembut tapi penuh tekanan yang tak bisa dijelaskan.

Emma menegakkan tubuh, berusaha tetap profesional. “Pak, kalau tidak ada urusan pekerjaan, saya—”

“Tunggu,” potong Liam cepat. “Aku cuma ingin bilang… aku bangga padamu.”

Emma terdiam. Kata itu sederhana, tapi datang dari pria yang selama ini selalu berjarak.

“Dulu aku mungkin terlalu sibuk mengejar ambisi,” lanjut Liam. “Sekarang aku sadar, yang paling kubiarkan pergi bukan proyek… tapi orang.”

Emma mengalihkan pandangan. “Terlambat untuk menyesal, Pak.”

Liam menatapnya pelan. “Mungkin. Tapi belum terlambat untuk memperbaiki.”

Udara di ruangan seolah menegang. Lampu kota di luar jendela memantul di mata mereka.

Liam setengah melangkah maju — lalu berhenti.

Emma menelan ludah. “Saya… pulang dulu.”

Ia berbalik, membuka pintu, tapi sebelum pergi, berkata pelan tanpa menoleh,

“Dan terima kasih, atas kata ‘bangga’-nya.”

Liam tersenyum kecil. “Kata itu memang milikmu dari dulu.”

Pintu tertutup perlahan.

Liam berdiri sendiri di ruangan, menatap pantulan dirinya di kaca, dan bergumam,

> “Tapi sekarang… aku harus merebutnya kembali.”

---

Sementara itu, di luar gedung, Ryan menunggu di trotoar sambil memainkan ponselnya.

Ketika Emma muncul, wajahnya tampak sedikit merah.

Ryan menyeringai. “Wah, kau kelihatan seperti baru keluar dari adegan film romantis.”

Emma mendesah. “Ryan, kau butuh filter sebelum bicara.”

“Tapi aku benar, kan?”

Emma tak menjawab. Ia hanya berjalan cepat, dan Ryan mengikutinya sambil tersenyum puas.

Dalam hati, ia tahu satu hal:

Kalau dulu Emma berlari dari masa lalunya, kini masa lalunya mulai berlari mengejarnya kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!