NovelToon NovelToon
Sebaiknya Kamu Lari

Sebaiknya Kamu Lari

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Nikahmuda / Duniahiburan
Popularitas:978
Nilai: 5
Nama Author: HARJUANTO

Hanya cerita fiktif belaka, jangan dijadikan keyakinan atau kepercayaan. Yang pasti ini adalah cerita horor komedi.

Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 : Berantakan

“Ibu Anggi … hasilnya sudah keluar!”

Suara dokter yang memanggil membangunkan Agni dari tidurnya di kursi tunggu rumah sakit. Kakek yang berada di sebelah Agni pun ikut terbangun. Mereka segera mengikuti dokter menuju ruangannya. Mereka duduk di kursi yang menghadap lampu x-ray pembaca hasil rontgen. Dokter menempelkan hasil rontgen di atas lampu tersebut. Ia menghela nafasnya sebelum memulai kalimatnya.

“Kita langsung saja ya … seperti yang Ibu dan Bapak lihat …  pada tulang rusuk paling bawah dekat ulu hati ini terjadi retakan, tulang ini nyaris patah (Dokter menunjukkan pada foto rontgen-nya). Dan yang paling bisa menyebabkan hal ini hanyalah adanya benturan keras sepeti kecelakaan atau adanya pukulan dengan benda tumpul. Pukulan atau benturan ini juga yang membuat hatinya luka,” jelas dokter.

“Itulah mengapa perut Anggi terlihat bengkak,” timpal kakek, dokter mengangguk.

“Kemudian lebam-lebam yang terjadi di sekitar dada bagian atas, tengah dan bawah, juga pundak … ini akibat tembakan … tembakan yang berasal dari senapan paintball, ahli forensik mengenali bentuk lukanya, juga partikel kecil dari cat yang pecah dan masuk di dalam jaringan kulit atas … jadi bisa dipastikan itu memang berasal dari peluru senapan paintball,” lanjut dokter.

“Apa?” gumam Agni terkejut, “bukankah kalau permainan paintball itu tidak sampai membuat lebam dan tidak boleh langsung mengenai kulit Dok?” Dokter mengangguk. “Apakah ini berarti anak saya ditembaki tanpa mengenakan baju perlindungan?” sambung Agni.

“Saya tidak bisa mengatakan apakah Anggi ditembaki Bu… tapi yang jelas, saat peluru cat itu mengenai Anggi, sepertinya dia memang tidak memakai baju perlindungan,” jawab dokter.

“Ya Tuhan …” desis Agni sedih.

“Ckckck, apakah anak-anak ini tidak tau kalau peluru paintball dalam jarak dekat bisa melukai orang?” decak kakek kesal.

“Bisa kita lanjutkan?” tanya dokter, maka Agni dan kakek pun mengangguk.

“Tapi pemicu yang membuat nyawa Anggi tak tertolong itu bukan karena tembakan peluru cat tersebut atau tulang rusuk yang retak … ini yang mengejutkan … dalam darah Anggi, saya menemukan zat adiktif dari psikotropika dalam kadar yang sangat tinggi,” ungkap dokter.

“Apa maksud Dokter?” tanya Agni tak mengerti.

“Zat adiktif? Narkoba?” tanya kakek juga.

Dokter mengangguk.

“No, no, no … anak saya tidak pernah bersentuhan dengan narkoba Dok! Saya kenal anak saya!” tolak Agni. “Tenang Bu … saya tidak mengatakan Anggi memakai narkoba … saya hanya mengatakan kalau di darahnya ditemukan zat adiktif tersebut,” jelas dokter. “Psikotropika jenis apa?” tanya kakek. “Ekstasi,” jawab dokter. Agni geleng-geleng, ia tetap bersikukuh kalau anaknya tidak memakai narkoba. “Setau saya dari membaca banyak artikel, narkoba jenis ini tidak merenggut nyawa dalam semalam Dok,” ujar kakek.

“Betul, setiap zat psikotropika memang akan merusak dalam jangka panjang tetapi … bila digunakan dalam dosis tinggi dalam satu kesempatan, zat ini akan mematikan, kita mengenalnya dengan sebutan, over dosis. Dalam kasus Anggi, dugaan awal saya, dosis yang tinggi ini membuatnya jadi over dosis, membuat detak jantungnya meningkat sangat cepat di luar detak jantung rata-rata, ini membuat jantungnya mengalami tekanan hebat dan akhirnya gagal jantung, ditambah kondisi Anggi yang mengalami luka dalam dan saya pikir juga sedang dalam kondisi keletihan luar biasa membuat fisiknya tak sanggup menerima tekanan dosis tinggi tersebut. Ahli forensik pun sepakat mengenai penyebab utama kematian ini.”

“Anggi ga mungkin melakukan perbuatan bodoh seperti itu,” gumam Agni.

“Jadi … itulah yang kami temukan … berdasarkan autopsi ini, menurut saya, Ibu sebaiknya berkoordinasi dengan pihak kampus dan pihak yang berwajib … karena memang jelas ada bukti penganiayaan terhadap tubuh Anggi,” saran dokter.

“Baik Dok … terima kasih telah membantu,” ucap Agni seraya menjabat tangan dokter tersebut diikuti kakek. “Kalau jenazah Agni akan dibawa pulang sekarang … saya sudah siapkan ambulan untuk membawanya,” ujar dokter. “Terima kasih sekali lagi Dok,” angguk Agni dan kakek berbarengan. Sebelum mereka pergi, dokter berkata dengan bersungguh-sungguh, “Bu, saya turut berduka cita yang terdalam.” Agni menerima kalimat duka itu dengan mengangguk pelan.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Agni hanya bisa berpikir.

Ia tak bisa menangis. Sedihnya mendadak hilang karena dalam benaknya banyak pertanyaan yang berseliweran muncul. Mengenai luka-luka bekas penganiayaan di tubuh anaknya, siapa yang melakukannya? Begitu juga mengenai ditemukannya zat narkoba di dalam darah anaknya, kenapa bisa? Apakah ia harus menghubungi polisi? Apakah ia harus menghubungi pihak kampus? Agni menatap jalan tol lurus di depannya yang sepi. Seperti dirinya yang harus menghadapi ini sendiri.

Menjelang pagi, mobil Agni dan ambulan sampai di komplek perumahan. Bergetar hati Agni melihat sudah banyak tetangganya berkumpul di rumahnya, dan tampak Bu Erna beserta si kembar berdiri menunggu di depan pintu pagar. Agni dan kakek turun setelah mobil terparkir di pinggir jalan. Berlari menghambur si kembar dengan airmata berlinangan di pipi mereka memeluk mamanya. Hati Agni seperti diguncang-guncang mendengar tangisan si kembar ini yang menanyakan kakak mereka, Anggi. Lidah Agni terasa kelu, ia tak bisa berkata, ia hanya bisa menunduk diam.

Kakek segera menghampiri si kembar, memeluk mereka, menenangkan mereka.

Tak lama para tetangga membantu petugas ambulan untuk menurunkan keranda jenazah Anggi dan membawanya ke dalam rumah. Agni hanya bisa berjalan pelan dipapah Bu Erna dan menerima ucapan dukacita dari para tetangga yang bersimpati. Saat itu seperti mimpi buruk bagi Agni. Melihat bendera kuning yang berkibar di pagarnya, menerima ucapan dukacita dari para tetangganya, melihat airmata yang jatuh berlinangan dan itu semua untuk Anggi. Agni ingin bangun dari mimpi buruk ini, tetapi tak bisa. Agni ingin menolak mimpi buruk ini, tetapi ia tak kuasa.

Agni hanya bisa menatap nanar semuanya dalam diam.

***

Iring-iringan ambulan, mobil dan motor bergerak menuju tempat pemakaman.

Banyak tetangga dan teman yang mengantarkan. Agni duduk di kursi belakang diapit si kembar yang masih sesunggukkan menangis di bahu kanan dan kirinya, sedang kakek yang mengendarai mobilnya. Agni terus menciumi kepala si kembar bergantian untuk memberikan tenang.

Tak lama iring-iringan itu sampai di pemakaman.

Hari itu burung-burung berkicau merdu. Langit biru tanpa awan kelabu. Matahari bersinar terang tapi tak terik. Angin bertiup menyegarkan udara. Dari balik kacamata hitamnya Agni menatap nisan kayu yang dibawa kakek bertuliskan nama putrinya. Hatinya hancur saat itu.

Setelah semua berkumpul mengelilingi makam, maka kakek melangkah maju. Ia menghela nafas sebelumnya lalu berkata dengan sedikit gemetar, “Sebelum kita memulai pemakaman ini … perkenalkan saya, Kakek dari Anggita Damayanti dan mewakili keluarga yang sedang berduka (Kakek menunjuk pada Agni, Anindya dan Aditya yang berdiri berhimpitan di belakangnya) untuk berbagi sedikit kenangan baik tentang cucu, anak dan kakak kami ini.”

“Anggi … adalah anak baik. Anggi memang tidak terlalu menonjol di dalam hal pelajaran tapi dia anak yang tidak pernah menyusahkan orang tuanya, senang membantu siapa saja, berani dan sayang pada adik-adiknya. Bagi kami ini yang terpenting dalam hidup, memiliki empati … ada satu cerita tentang keberanian cucu saya ini … dia pernah mendatangi anak-anak nakal yang merudung adik-adiknya di sekolah dan entah gimana, dia berhasil membuat para anak nakal itu tidak pernah merudung adik-adiknya lagi bahkan mereka memohon ampun.” Semua yang mendengar kisah itu tersenyum.

“Anggi ditinggal pergi oleh ayahnya saat ia masih di sekolah dasar, dan di hari yang cerah ini, kami memakamkan Anggi di sebelah makam ayahnya … semoga dia bisa bertemu lagi dengan ayahnya, … Nggi … Kakek, Mamamu dan Adik-adikmu bangga sama kamu … selamat jalan Nggi … sekiranya itu saja, kami dari pihak keluarga mengucapkan terima kasih buat semua yang telah datang mengantarkan Anggi sampai ke rumah terakhirnya ini dan buat para tetangga yang telah membantu kami sejak semalam sampai sekarang, terima kasih,” ucap kakek mengatupkan jemarinya di dada lalu menutup kalimatnya.

Maka secara perlahan jenazah Anggi diturunkan ke dalam liang lahat.

Pecah tangisan si kembar dan para pelayat. Jantung Agni dipukul-pukul sedih melihat jenazah putrinya itu dikebumikan, seberapa kuatnya ia menahan untuk tidak menangis tetap saja airmata itu pecah dengan sendirinya dan mengaliri pipinya tak henti. Kakinya mencoba tegar berdiri, tetapi melihat tanah merah itu mulai menutupi jenazah putrinya, ia tak kuasa. Agni luruh jatuh diiringi teriakan Anindya dan Aditya memeluk mamanya. Kakek dan beberapa orang membantu Agni memeganginya untuk berdiri. Agni menggeleng pelan melihat proses pemakaman itu, ia ingin menyangkal tapi sia-sia, bibirnya gemetar tak tahu harus mengucapkan apa.

Salam perpisahan yang menyakitkan adalah ketika tanah merah terakhir telah ditumpahkan menutupi orang yang sangat kamu sayangi dan kayu nisan ditancapkan serta bunga ditaburkan. Agni tahu ia tidak akan pernah bertemu dengan putrinya lagi.

***

Bendera kuning itu melambai-lambai lemah ditiup angin di pintu pagar.

Kursi-kursi kosong bekas pelayat masih berjajar di pekarangan dan di jalan depan rumah. Beberapa pelayat telah pamit pulang, meninggalkan tetangga dekat yang masih membantu membereskan sisa-sisa pemakaman. Kakek sedang ngobrol dengan beberapa tamu sedang Agni dan si kembar sedang berada di kamar Anggi. Mereka duduk di pinggiran tempat tidur menatap foto-foto si empunya kamar yang menempel di dinding tanpa bicara. Masing-masing memiliki kenangan tentang Anggi. Kenangan yang bermain melompat-lompat di antara awan-awan masa lalu mereka.

Anindya masih menyeka mata dan hidungnya yang basah karena terus menangis di sebelah mamanya yang memeluk selimut biru muda itu. Kepalanya menempel di bahu Agni. Sedang Aditya memandangi hiasan-hiasan pesta kejutan yang tak jadi dipasangnya.

“Pak, maaf … tolong salamkan untuk Bu Agni … saya pamit dulu … ga enak menganggu beliau di kamar … kalau perlu apa-apa, jangan sungkan ketuk rumah saya saja ya Pak,” ujar Bu Erna sedikit berbisik pada kakek. Kakek segera menyalami Bu Erna, “Baik Bu … terima kasih banyak sudah membantu kami.” Bu Erna tersenyum, “Ga masalah Pak … mari …” Kakek membungkuk setengah badan untuk menandakan rasa terima kasihnya. Semua tetangga dan tamu pun telah pulang.

Rumah menjadi hening.

Inilah keheningan yang paling hakiki, setelah acara pemakaman.

Kakek berdiri di pintu kamar memandangi ibu dan anak kembarnya itu. “Anin, Adit ayo isi perut dulu… tadi tetangga membawakan banyak makanan tuh, ayo pada makan … dari semalam sampai siang ini kalian belum makan apa-apa, jangan sampai sakit …” ujar kakek mengingatkan. Aditya menuruti, ia melangkah keluar kamar sedang Anindya menggelengkan kepala. “Nin … ayo makan dulu … Kakek betul … nanti kamu sakit,” bisik Agni mengusap rambut putrinya. “Mama juga makan yuk,” ajak Anindya. “Kamu saja duluan, Mama nanti menyusul,” ucap Agni.

Anindya berdiri, mengecup dahi mamanya lalu keluar kamar.

“Tutup pintunya Pak … biarkan aku sebentar di sini,” ucap Agni. Kakek mengangguk dan menutup pintunya. Setelah pintu ditutup Agni merasakan tubuhnya sangat dingin dan hatinya kosong. Ia terdiam dalam kesenyapan kamar yang banyak digelimangi kenangan-kenangan tentang putri sulungnya. Ia teringat saat putrinya ingin kuliah di luar kota saat itu. Agni bersikukuh menolaknya. Ia tidak bisa melepas putri sulungnya hidup sendirian tanpa pengawasan darinya. Perdebatan panjang pun terjadi hingga akhirnya Agni luluh memberikan ijinnya setelah putrinya meyakinkan bahwa ia bisa menjaga dirinya. Dan kini Agni menyesali keputusannya, kalau saja ia tetap bersikukuh saat itu, semua ini tak akan terjadi.

Agni semakin memeluk erat selimut biru itu dalam dadanya.

Ia teringat saat-saat putrinya mulai belajar berjalan dan menyebut kata pertamanya, “Ma”. Ia tersenyum dalam kenangan itu. Berdua bersama suaminya mereka saling bahu membahu membangun keluarga kecil mereka. Bersama membeli sebuah rumah sederhana dan sebuah mobil dengan cara mencicil, bersama pula mengurus dan membesarkan putri sulung mereka. Hingga saat-saat membahagiakan itu selesai. Kehancuran pertama dirasakan Agni. Saat mengandung si kembar 9 bulan, suaminya harus pergi selamanya. Patah hati Agni saat itu, ia limbung dalam kesedihan. Tetapi kelahiran si kembar dan senyum putri sulungnya membuatnya bangkit kembali dan Agni berjanji pada mendiang suaminya untuk membesarkan sendiri ketiga putri-putra mereka dengan baik.

Hari ini, kehancuran kedua dirasakan lagi oleh Agni, hanya saja kini hatinya lebih berantakan. Ia harus kehilangan seorang anak yang telah dikandungnya selama 9 bulan. Yang dilahirkannya dengan penuh perjuangan. Yang dibesarkannya dengan penuh rasa sayang tak mengenal lelah. Yang menemaninya dan membantunya dalam membesarkan si kembar. Yang diharapkannya akan memiliki masa depan cerah serta menjadi kebanggaan keluarga, kini semua itu pupus begitu saja. Agni seperti jatuh ke dalam jurang kesedihan yang dasarnya ia tidak tahu.

Harapan dan doa baik-baik untuk Anggi, berbanding terbalik dengan kenyataannya, sungguh menyakitkan.

Suaranya masih terngiang di telinga Agni. Senyum cerianya masih membayang di pelupuk mata Agni. Agni membenamkan wajahnya pada selimut tebal biru itu lalu menjerit sekuat tenaga untuk mengeluarkan semua rasa sedih dan marah dalam dadanya.

***

Hari-hari berantakan itu dimulai.

Anindya dan Aditya terbangun dari tidurnya. Mereka berebut masuk ke dalam kamar mandi. “Hey, hey jangan rebutan!” seru kakek dari dapur. “Kakek kenapa ga ngebangunin sih? Kesiangan nih,” kesal Anindya. “Hehehe, Kakek juga kesiangan,” sahut kakek. Setelah mandi si kembar bergegas ke dapur dan melihat lesu pada meja makan yang kosong dan berantakan, serta tidak ada menu favorit mereka yang biasa terhidang. Kakek hanya menghidangkan dua tangkap roti dengan selai stroberi dan dua kotak susu yang dibelinya di warung.

“Kek, apa ga ada sarapan lain? Adit bosan!” cetus Aditya. Anindya pun mengangguk. “Ya abis, kemarin dibikinin nasi goreng kalian ga suka,” kilah kakek. “Ya iyalah Kek … yang kita pengen itu nasi goreng bukan nasi gosong …” cetus Anindya mengambil roti dan susu itu terpaksa karena tak ada pilihan lain lalu berjalan ke depan. “Hehehe ya gosong dikit sih,” kelit kakek. “Pfffhhhh,” lenguh Aditya mengambil roti dan susu itu juga lalu menyusul Anindya.

Mereka berdua berhenti dan berdiri di depan pintu kamar Anggi menatap ke dalam.

Di dalam kamar tampak Agni masih terduduk di tempat yang sama menatap kosong foto-foto di dinding. “Ma, Anin pergi sekolah dulu,” pamit Anindya. “Ma, Adit pergi sekolah dulu,” timpal Aditya. Agni hanya mengangguk pelan dengan mata terus menatap kosong pada dinding itu. Si kembar menghela nafas lalu melangkah lesu keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. “Ayo, ayo yang semangat jangan lesu begitu dong,” seru kakek yang telah bersiap di belakang kemudi dan menyalakan mesinnya. Mobil pun berjalan menuju sekolah.

“Sampai kapan Mama akan seperti itu Kek?” tanya Anindya sambil matanya memandangi pohon-pohon di pinggir jalan yang berkelebatan cepat. Kakek menghela nafas lalu mengangkat bahunya. “Sudah mau tiga minggu … tapi Mama ngelamun terus di kamar, apa Mama ga pernah mandi gitu Kek?” tanya Aditya juga. “Ya ga tau Dit … Kakek ga merhatiin …” jawab Kakek.

“Anin rindu Mama yang dulu … yang bawel, yang ceria, yang selalu nemenin kita, masak yang enak buat kita, bukan berarti masakan Kakek ga enak ya, no offense,” cetus Anindya. “Mmmm,” tanggap Kakek singkat. “Kita semua juga sedih kehilangan Kak Anggi … tapi Mama ngelupain kita,” timpal Aditya. Anindya mengangguk setuju.

“Hey, jangan berpikir begitu, kesedihan yang dirasakan oleh setiap orang itu berbeda, ada yang bisa cepat move on … ada yang tidak … kita harus memberi Mama kalian waktu … Kakek yakin ga lama lagi juga Mama akan kembali seperti dulu,” urai kakek.

Mobil pun sampai di sekolah dan si kembar turun. “Hey Kembar! Sore, jam lima, seperti biasa Kakek jemput, jangan kemana-mana!” seru kakek. Anindya dan Aditya mengangguk dan melanjutkan masuk sekolah. Kakek menyandarkan tubuhnya di kursi, ia tercenung sebentar, memikirkan kata-kata cucunya tadi lalu menghela nafas. Kakek pun memutar mobilnya untuk kembali pulang.

***

Agni berdiri dari duduknya, mendekati foto-foto di dinding itu. Jemarinya mengusap-ngusap lembut wajah di foto tersebut. Cukup lama Agni di situ, kemudian ia menuju meja belajar. Di atas meja hanya ada deretan buku dan peralatan tulis serta lampu duduk. Agni menarik laci-lacinya, memeriksa. Setelah itu, ia membuka lemari baju, mengangkat bajunya satu persatu serta merogoh ujung-ujung lemarinya, menyingkap baju-baju yang tergantung, memeriksa pula kantong-kantong bajunya. Semua isi lemari telah diperiksa, Agni kini berdiri di depan lemari kemudian mendongak.

Ia menarik kursi, menginjaknya untuk melihat atas lemari. Tidak ada apa-apa hanya debu tebal saja yang terlihat. Ia turun dan duduk di kursinya. Ia tidak menemukan obat-obatan terlarang atau apa pun itu. Terdengar suara mobil menggerum di luar dan suara langkah kaki kakek yang turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Kakek berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya yang lesu, kusut dan tak bersemangat itu.

“Mau sampai kapan kamu begitu Ni?”

Agni diam tak menjawab.

“Sudah saatnya kamu bangkit Ni.”

Agni menatap kakek.

“Tidak semudah itu Pak … Bapak tidak merasakan bagaimana mengandungnya, melahirkannya, membesarkannya! Hati Agni sakiiiiit banget Pak!”

“Iya Bapak memang tidak bisa merasakan sedalam yang kamu rasakan Ni, tapi Bapak juga bersedih … Bapak juga kehilangan Anggi … tapi Bapak juga harus terus hidup.”

“Apakah itu yang membuat Bapak tidak terlihat bersedih saat Ibu meninggal?”

Kakek menggeleng pelan dan melangkah masuk kamar. Duduk berseberangan dengan Agni. “Ibumu melarang Bapak untuk bersedih,” kata kakek. Agni sedikit terkejut mendengarnya. “Saat Ibumu tau sakitnya semakin parah dan ajalnya tak lama lagi, dia berpesan begitu pada Bapak … dan Bapak menurutinya … kamu tau kenapa Ibumu berpesan seperti itu?” tanya kakek, Agni menggeleng.

“Karena dia ga mau kamu terlantar … kalau Bapak bersedih terus, siapa yang ngurus kamu?”

Agni terdiam.

“Kamu masih punya si kembar … anak-anak yang manis dan seru … mereka juga butuh perhatian kamu Ni … mereka menunggu kamu.”

Kalimat itu membuat Agni termenung, ia seperti tersadarkan.

“Pak, apakah Bapak pernah bersedih saat Ibu meninggal karena Agni ga pernah melihat Bapak bersedih.”

“Setiap malam, setelah kamu tidur … Bapak menangis sampai pagi.”

Kini Agni baru mengerti. Kakek berdiri dari duduknya lalu mengusap bahu Agni meninggalkannya untuk berpikir. Agni mendesah menyesal, kini perasaannya dipenuhi rasa bersalah pada si kembar. “Oiya Ni … mumpung Bapak ingat … ini kartu nama Bu Rosa … kamu simpan saja … barangkali butuh,” ujar kakek menyerahkan kartu nama itu pada Agni. Agni mengambil dan mengantonginya bertetapan dengan suara ketukan di pintu. “Sepertinya ada tamu … biar Bapak yang buka pintunya,” ujar kakek keluar kamar menuju pintu depan. Tak lama kemudian, kakek telah muncul kembali di pintu kamar, “Ni, ada tamu … dia mau bertemu denganmu katanya.”

“Bertemu aku?” heran Agni, kakek mengangguk, lalu Agni keluar kamar menuju pintu depan, ingin tahu siapa yang mencarinya. Sesampainya di pintu, Agni melihat seorang gadis sedang berdiri memunggunginya.

“Siapa ya? Ada apa mencari saya?” tanya Agni.

Gadis itu memutar tubuhnya lalu menatap Agni, bibirnya gemetar bicara, “Tante … maafkan … saya baru bisa kesini sekarang … saya ga kuat untuk menyimpan rahasia ini lagi … saya harus menceritakannya pada Tante.”

Agni mengerutkan dahinya, semakin tak mengerti.

Tiba-tiba gadis berponi itu meneteskan airmatanya.

1
HARJUANTO
😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!