“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7. Tendangan susulan
Suara motor Priya pelan-pelan menghilang di jalanan depan rumah. Arman masih berdiri di dekat pintu, tangannya bertolak pinggang, wajahnya menegang tapi lebih ke kesal pada situasi, bukan pada Widya.
Dari arah kamar, Widya keluar sambil membawa gelas kosong. Ia berjalan tenang, lalu berhenti di ruang tamu, memandang Arman sebentar.
“Mas,” panggilnya pelan.
Arman menoleh.
“Lain kali, jangan bawa urusan pribadi ke rumah, ya. Apalagi sampai kedengeran sama orang-orang.”
Arman mendengus kecil, menoleh, suaranya datar. “Aku juga nggak mau, Wid. Dia maksa tanya alamat rumah ini, aku nggak tau kalau dia malah datang ke sini.”
Widya mengangkat bahu, nadanya tetap kalem. “Ya aku ngerti. Cuma, kamu tahu sendiri gimana tetangga di sini. Dikit-dikit suka cerita. Kalau sampai mereka lihat atau dengar, kita yang repot. Aku juga nggak mau capek pura-pura di depan keluarga.”
Arman terdiam sejenak, menatap Widya. “Aku usahain, kok. Nggak bakal kejadian lagi.”
Widya tersenyum tipis, lalu meletakkan gelas di meja. “Ya sudah. Kita kan udah sepakat, di depan orang-orang harus kelihatan baik-baik aja. Jadi tolong, jangan bikin aku susah jaga muka.”
Arman menunduk, lalu duduk di sofa. Suaranya lebih pelan. “Iya, Wid. Maaf.”
Widya tidak menanggapi panjang. Ia hanya mengangguk singkat, lalu melangkah ke arah dapur dengan santai. Rumah kembali hening, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak, dan suara motor tetangga yang lewat depan rumah.
Arman menatap ke arah dapur, menarik napas panjang. Meski percakapan mereka tenang, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sebuah rasa yang sulit ia namai.
*
*
Lampu kamar sudah diredupkan. Keduanya berbaring di ranjang, masih dengan pembatas bantal guling di tengah. Hening cukup lama, hanya suara detik jam yang terdengar, dan suara deru halus pendingin udara.
Arman menatap langit-langit, pikirannya masih sibuk dengan kejadian sore tadi. Sementara Widya juga belum bisa terlelap. Widya akhirnya membuka suara, nadanya santai tapi terdengar menusuk halus.
“Mas…”
Arman melirik sekilas. “Hm?”
Widya tetap menatap langit-langit. “Sampai berapa lama Priya kamu suruh nunggu?”
Pertanyaan itu membuat ruangan semakin hening. Arman menarik napas pelan, lalu bergumam, “Aku nggak tahu, Wid. Jujur aja… aku sendiri nggak kepikiran sejauh itu. Dari awal aku pikir pernikahan ini cuma sementara.”
Widya tersenyum tipis, meski tidak menoleh. “Sementara, ya? Kedengarannya gampang, padahal kita nggak tahu besok gimana. Dunia ini kecil, Mas. Sekali ada yang bocor ke telinga keluarga, bisa panjang urusannya.”
Arman mengusap wajahnya, suara lelah keluar dari bibirnya. “Aku ngerti. Dan aku janji nggak bakal biarin Priya ke sini lagi. Aku juga nggak mau kamu ikut kebawa masalahku.”
Widya bergumam ringan, “Baguslah kalau gitu.” Widya lalu berguling miring, membelakangi Arman, seolah obrolan barusan tidak berarti apa-apa.
Menit demi menit terus berlalu, Arman masih terjaga, pandangannya menempel ke punggung Widya. Suara napas istrinya sudah mulai teratur, pertanda sebentar lagi ia benar-benar akan terlelap.
“Heran, kenapa bisa santai banget orang ini,” gumam Arman pelan, hampir tak terdengar.
Arman akhirnya memejamkan mata, mencoba tidur. Baru beberapa menit, tiba-tiba Widya menggeliat. Guling yang tadi jadi pembatas malah terseret ke arah Arman. Sekejap, lengannya menjulur seenaknya dan mendarat di dada Arman.
Arman membuka mata kaget. “Wid, serius? Tidur apa latihan gulat sih?” desisnya pelan.
Tidak ada jawaban, Widya sudah masuk alam mimpi. Ia bahkan mendengkur halus, wajahnya damai. Arman menahan diri, mencoba meletakkan lengan Widya kembali ke sisinya. Tapi baru saja berhasil, tiba-tiba kaki Widya menghentak keras.
Buk!
Arman jatuh separuh badan dari ranjang. “Aduh! Astaga…” ia mengerang, buru-buru naik lagi sambil menatap Widya yang nyenyak tak berdosa.
“Ini orang kalau tidur bisa lebih ganas daripada pas bangun,” gumamnya sambil menggeleng.
Akhirnya Arman menyerah, mengambil bantal tambahan dan menaruhnya di bawah kepalanya sambil menyisakan jarak aman. Matanya menatap langit-langit sekali lagi.
Tanpa sadar, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Ya Tuhan, kenapa rasanya makin ribet.”
Tak lama, rasa kantuk mengalahkan semuanya. Malam pun menelan keduanya, dengan Widya tetap lelap dan Arman tertidur sambil setengah waspada, takut kena tendangan susulan.
---