Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Between Duty and Desire
Suara gamelan lembut bergema di pendopo Keraton Yogyakarta malam itu. Lampu minyak menyala redup, menerangi wajah serius Sultan Harimurti — ayah Putri Raras — yang tengah duduk di singgasananya, menatap layar video call besar di depannya.
Di layar itu, terpampang wajah Perdana Menteri Inggris yang berbicara dalam bahasa diplomatik yang halus namun tegas.
Sementara Raras berdiri di sisi ayahnya, mengenakan kebaya hitam sederhana, menunduk hormat.
“We hope the misunderstanding between our royal houses will not escalate further,” ujar sang perdana menteri.
“Kami berharap kesalahpahaman antara keluarga kerajaan kami tidak akan semakin parah,”
“Prince William is under tremendous scrutiny. We are counting on your cooperation, Your Majesty.”
*"Pangeran William sedang diawasi dengan ketat. Kami mengharapkan kerja sama Anda, Yang Mulia."
Sultan menatapnya dengan mata dingin.
“Keraton kami tidak berniat menciptakan kegaduhan, Sir. Namun, nama putri kami juga bukan bahan permainan media internasional.”
Suaranya lembut, tapi mengandung wibawa yang membuat seluruh ruangan menahan napas.
Raras hanya bisa menunduk, menyembunyikan kegelisahan yang mengguncang dadanya.
Foto-foto, rumor, dan berita yang beredar sudah sampai ke tanah air. Beberapa anggota keluarga kerajaan bahkan meminta agar ia segera dipulangkan dan tidak lagi berhubungan dengan William.
Namun hatinya… tak bisa pulang begitu saja.
---
Beberapa hari kemudian
Raras kembali ke London atas undangan resmi Ratu Margaret untuk meluruskan kesalahpahaman.
Namun sesampainya di Windsor, ia tahu ini bukan sekadar undangan, melainkan panggilan penghakiman.
William menemuinya diam-diam di ruang perpustakaan istana.
Begitu pintu tertutup, mereka langsung saling memandang tanpa kata.
Ia mengenakan seragam kerajaan berwarna biru tua, sementara Raras tampak anggun dalam gaun batik modern berwarna lembayung.
“Raras…” suara William serak, nyaris bergetar.
“Aku minta maaf. Semua ini… karena aku terlalu ceroboh.”
Raras menggeleng pelan. “Bukan salahmu. Dunia kita berbeda, Will. Aku datang bukan untuk menyalahkanmu.”
“Tapi aku ingin kau tahu,” lanjutnya pelan, “Bahwa aku tidak akan pernah menyesal mencintaimu.”
William mendekat, jaraknya hanya sejengkal. “Dan aku pun takkan menyesal memilihmu, meski itu berarti kehilangan segalanya.”
Raras tersenyum getir. “Kau bicara seolah cinta bisa menaklukkan tahta.”
William menatapnya dalam. “Mungkin tidak. Tapi cinta bisa menaklukkan aku.”
Sebelum kata-kata lain bisa terucap, langkah sepatu terdengar mendekat. Mereka segera menjauh. Lady Eleanor muncul di ambang pintu, wajahnya cemas.
“Your Highness, the Queen is waiting.”
“Yang Mulia, Ratu sedang menunggu.”
William menatap Raras seolah tak rela melepaskannya. Tapi ia tahu — cinta mereka kini bukan hanya rahasia, melainkan risiko.
---
The Royal Hearing
Ruangan besar itu dipenuhi bangsawan senior dan penasihat kerajaan. Semua mata tertuju pada Putri dari Timur yang kini berdiri di tengah aula.
Ratu Margaret duduk di kursi tertinggi, anggun namun keras.
William berdiri di sisi lain, matanya terus mengikuti Raras tanpa henti.
“Princess Raras,” suara sang ratu bergema di ruangan.
“Do you admit that your closeness with Prince William has caused controversy in both our nations?”
“Putri Raras. Apakah Anda mengakui bahwa kedekatan Anda dengan Pangeran William telah menimbulkan kontroversi di kedua negara kita?”
Raras menunduk. “Yes, Your Majesty.”
“Ya, Yang Mulia.”
“Do you understand that such… involvement may disrupt diplomatic stability?”
*“Apakah Anda memahami bahwa keterlibatan seperti itu dapat mengganggu stabilitas diplomatik?”
“Yes.”
Hening beberapa saat.
Ratu lalu menatap William. “And you, my grandson, do you deny the rumors?”
“Dan kamu, cucuku, apakah kamu menyangkal rumor tersebut?”
William mengangkat kepalanya. “I don’t.”
"Tidak."
Keributan kecil terdengar di antara para bangsawan. Raras menatapnya kaget, sementara William melangkah maju.
“I love her,” katanya tegas. “And I refuse to pretend otherwise.”
"Aku mencintainya," katanya tegas. "Dan aku menolak berpura-pura sebaliknya."
Ratu Margaret menghela napas panjang, menatap cucunya lama sekali.
“Love,” ujarnya lirih, “has destroyed greater men than you, William. Don’t let it destroy your crown.”
"Cinta, telah menghancurkan orang-orang yang lebih hebat darimu, William. Jangan biarkan itu menghancurkan mahkotamu."
William menjawab tanpa gentar, “Then I’ll trade my crown for her peace.”
“Kalau begitu aku akan menukar mahkotaku dengan kedamaiannya.”
Ruangan terdiam. Bahkan udara terasa berhenti.
Raras menahan napas antara ingin menangis dan memeluknya.
Tapi sang ratu berdiri perlahan, lalu menatap mereka berdua.
“Enough. You are dismissed. Both of you.”
"Cukup. Kalian berdua diberhentikan."
Nada itu bukan amarah, tapi keputusan.
---
Malamnya
Raras duduk di balkon kamarnya, menatap langit London yang mendung. Di tangannya, sebuah surat dari Keraton Yogyakarta — berisi perintah agar ia segera kembali ke Indonesia.
Tangannya gemetar saat membaca tanda tangan ayahnya di bawah surat itu.
Sementara di halaman bawah istana, William berdiri di tengah hujan, menatap jendela kamarnya yang menyala.
Ia tahu — waktu mereka hampir habis.
Raras menutup matanya, air mata menetes di pipi.
“Aku harus pulang, Will…” bisiknya lirih pada angin.
“Karena terkadang, mencintai berarti berani pergi.”
---
Namun jauh di bawah langit yang sama, William menatap ke arah pesawat kerajaan yang akan berangkat esok pagi dan berbisik dengan tekad.
“If she’s the sun I can’t reach, then I’ll cross the world to chase her light.”
“Jika dia adalah matahari yang tak dapat kugapai, maka aku akan melintasi dunia untuk mengejar cahayanya.”
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰