Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7.Pembela
Aruna kembali ke rumah sakit setelah mencegatkan taksi untuk Utari dan memastikan pasien itu pulang dengan selamat. Utari begitu bahagia, bahkan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Aruna. Wajah Aruna ikut sumringah, ia berjalan sambil bersenandung kecil menuju ruang psikiater. Namun begitu melangkah ke meja perawat, wajahnya langsung tegang.
Di sana sudah berdiri dokter senior, dr. Salma, dengan tangan berkacak pinggang. Tatapannya tajam, penuh aura yang sama sekali bukan hal baik.
Aruna terdiam, mencoba tetap profesional. Ia menunduk sedikit sambil memberi salam.
“Siang, Dok,” ucap Aruna sopan, hendak berlalu ke meja kerjanya.
“Stop!” suara dr. Salma melengking, membuat langkah Aruna terhenti. Perawat-perawat lain langsung menoleh, suasana ruangan jadi hening. Aruna segera berbalik, menunduk, tak berani menatap mata tajam itu.
“Dari mana saja kamu?” suara dr. Salma menusuk. “Kamu tahu, saya mencari kamu sejak tadi!”
Aruna menelan ludah, mencoba tenang. “Dokter mencari saya? Ada apa, ya, Dok?”
“Kamu masih bisa bertanya kenapa saya mencari kamu?” dr. Salma menyipitkan mata, suaranya meninggi.
Aruna menarik napas. “Maaf, Dok. Tapi setahu saya tadi jam istirahat, dan tidak ada pasien saat itu. Jadi saya—”
“Jam istirahat, kamu bilang?” dr. Salma tertawa sinis, suaranya terdengar pahit. “Kamu pikir rumah sakit ini sama seperti sekolah? Bahkan saya sebagai dokter tidak pernah benar-benar bisa menikmati jam istirahat. Tapi kamu, seorang perawat, berani bilang seperti itu?!”
Wajah Aruna tetap tenang, meski jantungnya berdegup keras. “Maaf, Dok. Tapi saya juga manusia. Saya perlu waktu sejenak untuk bisa tetap fokus dan mengabdikan diri pada pasien.”
Maya, yang berdiri di belakang, hampir menepuk dahinya. Runa, kenapa sih lo masih aja keras kepala… batinnya.
Brakk!
Dr. Salma menghantam meja dengan telapak tangannya. Semua orang terlonjak kaget. Suaranya pecah memenuhi ruangan.
“Kamu pikir saya tidak tahu kamu keluar sebelum jam istirahat?!” tatapannya membakar. “Kalau saya mau, saya bisa laporkan kamu ke dr. Martin. Skorsing? Atau mungkin langsung dikeluarkan dari sini!”
Aruna menggenggam ujung bajunya, menahan diri. “Silakan, Dok. Saya memang keluar sebelum jam istirahat, tapi itu karena saya membawa pasien untuk terapi.”
“Terapi?” dr. Salma mendengus, tawanya penuh hinaan. “Kamu lagi-lagi berlagak seperti dokter. Jangan bilang kamu kembali melakukan terapi kilat seperti waktu itu. Kekacauan yang kamu buat masih belum cukup, hah?”
Ia maju selangkah, menuding wajah Aruna dengan telunjuknya. Sorot matanya menekan, penuh ancaman. Aruna menahan napas, kakinya bergetar, tapi ia tetap berdiri tegak.
Namun sebelum ia sempat menjawab, suara berat dari arah belakang terdengar jelas, memecah ketegangan.
“Saya yang memerintahkannya.”
Semua orang di ruangan sontak berbalik menoleh ke arah sosok pria yang baru saja masuk.
“Dokter Dirga?” ucap dokter Salma terkejut begitu menoleh padanya.
“Saya yang memintanya melakukan terapi kilat, Dokter Salma,” jelas Dirga dengan nada tegas namun tenang.
“Ja… jadi dokter Dirga yang memintanya?” Salma tersenyum lebar, matanya langsung berbinar. Ia lalu menepuk lengan Aruna pelan. “Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi? Kalau begitu, kesalahpahaman ini tidak akan terjadi. Kamu malah membuat saya terlihat buruk di mata perawat dan dokter Dirga,” ucapnya, seolah-olah menyalahkan Aruna.
"Ih najis… giliran sama Dirga aja bisa sok manis. Suara toa lo yang tadi kemana, Mbak? "batin Aruna sambil memutar bola mata malas.
Maya yang berdiri di belakang sampai tak tahan mencibir pelan. "Sok manis banget. Sadar woy, nggak cocok. Pick me kok dipelihara, heran deh." Tatapannya ke Salma penuh jijik, jelas muak dengan sikap seniornya itu.
“Ah, saya rasa saya sudah sangat paham situasinya,” potong Dirga dingin sambil melangkah mendekat ke arah Aruna. “Kalau begitu, apakah dokter Salma masih ada hal lain yang perlu disampaikan? Karena saya harus bicara dengan perawat Aruna mengenai perkembangan terapi kilat pasien barusan.”
Salma sontak mengibaskan tangan, senyum manisnya kembali dipoles. “Tidak, tidak… kalau dokter Dirga memerlukan Aruna, silakan saja. Saya bisa meminta bantuan perawat lain.”
Aruna mendengus dalam hati, menatap sinis ke arah Salma. "Dari tadi kek, ngapain harus cari ribut dulu sama gue, pake salahin ini itu lagi.emang lo kira perawatan disini cuma gue doang.heran seneng banget cari masalah sama gue." batin aruna yang sudah tidak tahan ingin menjambak rambut salma jika saja dia bukan dokter senior di sana.
Sebelum sempat ia membuka mulut, tangan Aruna sudah lebih dulu ditarik oleh Dirga, membawanya pergi menuju ruanganannya.
_______
Aruna masuk ruangan dengan napas ngos-ngosan, wajahnya masih merah karena menahan emosi.
“Sumpah, gue pengen jambak rambut Salma sampe lepas dari kepalanya kalau perlu mulutnya sekalian gue pelintir biar mulut lebarnya itu nggak bisa ngomong sekalian . Heran, jadi orang kok bisa nyebelin banget,” keluhnya sambil menjatuhkan tas ke kursi.
Dirga mengangkat kepala dari berkas, duduk santai, tapi tatapannya dingin. “Gue ngerti lo kesel. Tapi prosedur lo tadi salah, Run. Untung gue yang nutupin. Kalau dr. Martin yang tahu, lo bisa kena skors atau minimal tugas tambahan.”
Aruna langsung manyun. “Kok lo jadi bela Salma? Jangan-jangan lo udah kemakan sama wajah manisnya tadi?” tuduhnya ketus.
Dirga menahan senyum tipis. “Gue nggak bela siapa-siapa. Gue cuma profesional. Inget, kita masih di jam kerja.”
Aruna mendengus, lalu duduk di kursi depan meja Dirga. “Jadi kenapa lo manggil gue?”
“Gimana terapi kilat lo sama pasien tadi? " tanya Dirga.
Aruna mengangkat dagu dengan bangga. “Dia pulang sambil bilang makasih terus. Gue berhasil bikin Utari ketawa, loh.”
Dirga mengangguk pelan. “Bagus. Dari ekspresi dan ceritanya, gue makin yakin masalahnya bukan sekadar fobia keramaian. Lebih ke rasa kesepian—dia ngerasa beda, dan itu meledak jadi kecemasan pas rame. Cara lo bikin dia fokus sama hal kecil itu pas buat langkah awal.”
Kok lo bisa tau? . "tanya Aruan yang kaget.
"Ya...Karna gue ngikutin lo. "jawab Dirga.
Aruna menarik napas panjang, berusaha meredakan degup jantungnya. Untuk sesaat, ia merasa lega—setidaknya bayangannya bahwa ada peneror yang mengikutinya ternyata keliru. Bibirnya bergumam pelan, nyaris tak terdengar, “Jadi… yang ngikutin gue dan ngawasin gue itu lo. Gue kira…”
Kalimatnya menggantung di udara. Ia buru-buru menutup mulut, tapi sudah terlambat. Dirga yang duduk di depannya langsung mengangkat alis, tatapannya tajam penuh selidik.
“Lo kira siapa, Run?” suaranya rendah, dalam, dan menusuk. “Lo lagi… diteror?”
Detik itu juga, jantung Aruna berdebar kencang, seolah hendak meledak. Tatapan Dirga tak lepas dari dirinya, seakan berusaha membaca semua rahasia yang ia sembunyikan.
.
.
.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mending Cerita deh Runa sebelum terjadi apa - apa sama lo run, inget dirga sahabat lo run dia pasti bakal melindungi lo.
Semangat Runa aku dukung apapun keputusanmu🥰
lanjut next bab ya guys, jangan lupa like👍🏿 komen 😍and subscribe❤ jejak kalian sangat berarti untukku 👣👣🥰