NovelToon NovelToon
Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: riena

“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”

Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.

Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Keputusan bulat

Arman bersandar di pagar balkon, suara Priya masih lirih tapi penuh desakan.

“Man… aku nggak mau putus. Aku nggak bisa. Aku pikir aku kuat ninggalin kamu, tapi ternyata nggak. Aku salah. Aku nggak rela kalau kamu beneran pergi sama orang lain.” ucap Priya sambil terisak.

Arman mendengus, menahan diri supaya tidak  meledak.

“Priya, sadar. Kamu yang mutusin dulu. Kamu yang bilang mau selesai. Aku cuma ngikutin.”

“Aku waktu itu emosi, Man! Aku cuma pengen diuji… pengen lihat sejauh mana kamu bakal berjuang buat aku. Tapi ternyata kamu malah bener-bener lepasin aku. Itu sakit banget, tau nggak?” jerit Priya.

Arman menutup wajah dengan telapak tangan, frustasi.

“Priya, aku udah nikah. Kamu ngerti nggak maksudku? Aku suami orang sekarang. Kita nggak bisa seenaknya kayak dulu lagi.”

“Aku nggak peduli! Aku cuma mau kamu balik kayak dulu. Aku masih cinta sama kamu, Man. Jangan bohong kalau kamu udah nggak ada rasa. Aku tahu… aku tahu kamu masih mikirin aku.” jeritan Priya semakin memekakkan telinga.

Arman diam. Napasnya berat. Kata-kata Priya menggedor sisi hatinya yang paling rapuh, tapi logikanya berteriak menolak.

“Aku… nggak bisa, Priya. Yang kamu mau itu mustahil.”

“Kalau kamu pikir aku bakal mundur, kamu salah besar. Aku bakal tetap di sini, sampai kamu sadar kita ini belum selesai.” Priya keras kepala.

Sambungan telepon terputus sepihak. Arman menatap layar ponsel dengan rahang menegang. Tangannya sempat terangkat, ingin melempar ponsel ke lantai, tapi ia urungkan.

Sayang, Man. Ponsel kok mau di lempar.

Arman lalu menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu masuk kembali ke kamar.

*

Lampu kamar sudah redup. Widya masih berbaring membelakangi pintu, tubuhnya kaku. Mata terpejam rapat, tapi dadanya terasa berat mendengar potongan suara tadi dari balkon.

Arman menaruh ponsel di meja, lalu duduk di sisi ranjang. Ia menatap punggung Widya lama sekali, ingin bicara tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya menghela napas, mematikan lampu, lalu ikut merebahkan diri di sisi ranjang.

Keheningan menelan kamar itu, hanya ada bunyi jam dinding yang berdetak. Dua orang yang sama-sama terjaga, tapi berpura-pura tidur dengan pikirannya masing-masing.

*

*

Suara sendok beradu dengan piring terdengar pelan. Widya duduk di meja makan dengan wajah tenang, tapi sorot matanya redup. Ia makan roti bakar sambil sesekali melirik ponselnya, berusaha sibuk sendiri.

Arman keluar dari kamar dengan kemeja sudah rapi, rambut sedikit acak. Wajahnya tampak lelah, lingkar mata agak menghitam. Ia menarik kursi dan duduk di seberang Widya.

Beberapa detik hanya ada suara piring dan jam dinding.

Arman berdehem pelan.

“Kamu kuliah jam berapa hari ini?” tanya Arman dengan intonasi biasa saja.

Widya tak langsung menjawab, hanya menyeruput teh. Lalu dengan nada datar menjawab. “Jam sembilan. Nggak usah dianterin. Aku bisa sendiri.”

Arman mengangkat alis, agak kaget dengan penolakan Widya. “Aku sekalian berangkat ke kantor. Kan searah.”

Widya menunduk, mengoles selai di rotinya. “Nggak perlu. Aku nebeng temen.”

Arman terdiam. Ia tahu Widya sedang menjaga jarak, tapi bibirnya terlalu kaku untuk memaksa. Sementara itu, dalam kepalanya, kalimat Priya semalam berulang-ulang: “Aku nggak mau putus. Aku masih cinta kamu.”

Arman mengusap wajah, lalu menunduk ke piringnya. “Wid… kamu marah?”

Widya menoleh sebentar, tersenyum tipis tapi jelas  terlihat hambar.

“Enggak. Kenapa aku harus marah?”

Senyum itu justru lebih menusuk daripada kalau Widya benar-benar meledak.

Arman menahan napas, matanya mengikuti setiap gerak Widya yang berusaha terlihat cuek. Ada rasa bersalah menggelayut, tapi disisi lain, bayangan Priya yang terus ngeyel masih membebani pikirannya.

Mereka berdua akhirnya larut dalam diam masing-masing. Dua cangkir teh mengepul di meja, tapi tak ada obrolan hangat yang biasanya mengisi pagi.

*

*

Suara klakson motor terdengar pelan dari depan pagar. Widya keluar rumah sambil merapikan tas ranselnya. Sinta teman kuliah Widya sudah menunggu dengan motor.

Arman berdiri di teras, masih memegang gelas kopi yang belum habis. Ia baru saja ingin menawarkan kembali untuk mengantar, tapi Widya sudah keburu melambaikan tangan ke temannya.

“Wid…” panggil Arman.

Widya menoleh sebentar, senyumnya sopan tapi tipis. “Aku berangkat dulu, Mas. Hati-hati di jalan ke kantor ya.”

Arman langsung menawarkan. “Mau aku—”

“Udah ada yang jemput.” Widya langsung memotong, nada suaranya tetap halus tapi jelas. Ia lalu naik ke motor temannya. “Makasih ya.”

Arman hanya bisa menatap punggung Widya yang makin menjauh di jalan. Ada rasa kosong yang aneh, meski tadi dia sendiri yang sempat merasa risih dengan sikap dingin Widya.

Arman hanya bisa  menghela napas panjang, menenggak habis sisa kopinya. 

Arman lalu mendesah frustasi, setelahnya melirik motor yang biasanya ia pakai untuk mengantar Widya. Joknya masih dingin, tak terpakai.

“Ribet banget hidup gue…” gumamnya lirih, sebelum akhirnya ia berangkat ke kantor dengan kepala penuh rasa campur aduk.

*

*

Siang Hari – Kantor Arman

Suasana kantor agak lengang setelah jam makan siang. Arman baru saja kembali ke mejanya ketika resepsionis mengetuk pintu ruangannya.

“Mas Arman… ada tamu yang  cari. Katanya kenal dekat sama Mas.”

Arman mengerutkan dahi. “Siapa?”

Belum sempat resepsionis menjawab, sosok Priya sudah melangkah masuk tanpa diundang. Dengan gaun kerja rapi, dia tampak percaya diri sekaligus penuh emosi.

“Priya?” Arman langsung berdiri. “Ngapain kamu ke sini? Ini kantor, bukan tempat buat drama.”

Priya tersenyum miring, melangkah lebih dekat. “Aku cuma mau ngobrol. Masa sama pacar, ngobrol aja nggak boleh?”

“Jangan ngomong gitu,” potong Arman dingin. “Aku udah nikah, Priya. Ingat itu. Semua orang kantor juga tau. Aku nggak mau kena masalah.”

Priya menghela napas panjang, berusaha tetap tenang padahal matanya sudah berkaca-kaca. “Kenapa kamu tega banget? Waktu aku bilang putus, kamu diam. Nggak ada usaha buat nahan. Kamu sadar nggak? Itu artinya kamu rela aku pergi gitu aja?”

Arman menatap Priya lama. “Kamu yang minta putus. Aku cuma menghargai keputusanmu. Dan aku nggak akan tarik-tarikan orang yang sudah memilih pergi.”

Priya menggigit bibir, nadanya meninggi. “Tapi aku salah, Man! Aku nyesel! Aku masih cinta kamu, ngerti nggak? Aku nggak peduli kamu udah nikah sama Widya. Kita masih bisa…”

“Cukup!” suara Arman keras, membuat beberapa pegawai di luar ruangan melongok penasaran. Ia menurunkan nada bicaranya, menahan diri. “Aku nggak pernah main-main sama statusku. Aku suami Widya, mau ada rasa atau belum, aku harus hargai itu. Kamu jangan nekat datang lagi ke sini. Ini bisa bikin gosip, bisa bikin masalah besar.”

Priya terdiam, matanya berkaca-kaca. “Jadi… kamu bener-bener nolak aku? Bahkan setelah semua yang kita lalui?”

Arman menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk mantap. “Iya. Kita selesai, Priya. Jangan bikin semua makin rumit.”

Priya menutup mulut dengan tangannya, berusaha menahan tangis. Ia melangkah mundur, lalu keluar dari ruangan dengan wajah penuh luka.

Arman terduduk di kursinya, menekan pelipis dengan tangan. Hatinya berat, tapi keputusannya sudah jelas.

“Harusnya dari dulu aku setegas ini…” gumamnya lirih.

“Pacar lu, Bro? Terus, bini lu gimana? Ketauan bos, kena sanksi lo.” ucap Andi, rekan kerja Arman yang sedikit rese dan kepo.

“Mantan, bukan pacar.” bantah Arman.

Andi cuma mengangkat bahunya, tapi wajahnya menunjukkan kalau ia tidak percaya dengan jawaban Arman.

“Ckk, Priya bikin masalah aja.” omel Arman sambil berdecak kesal.

*********

1
Enisensi Klara
Udah makin ada kemajuan nih mereka tinggal unnoxingan 🤣🤣
Enisensi Klara
Makin gencar nih Arman 🤣🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..Arman modus ya bilang mo istirahat dirumah bareng Widya ..padahal emang mau dekat2 Widya 🤣🤣
Enisensi Klara
Pegang aja tuh tangan Widya ga usah ragu dan malu lah Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..Arman beliin Widya gelang biar Widya gampang di cari pas dikeramaian padahal modus aja ,biar bisa belikan Widya 🤣🤣jgn cuma gelang lucu beli juga gelang emas dong 🤣🤣
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman mulai gombalin Widya hihihi 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Cieee...udah mulai nih saling kasih minuman ke pasangan pake sendok bekas pakai 🤗🤗🤗
Enisensi Klara
Arman gandeng dong tangan Widya 🤣
Enisensi Klara
Takut ada copet Widya jadi pegang erat tasnya 😇😇
Enisensi Klara
Yeaay 🥳🎉🎉🥳 up lagi maaci kak Rie 🤗🤗🤗
emillia
priya....priya...dengan kamu memprovokasi begitu semakin arman muak sama kamu
Safitri Agus
hubungan mereka sudah maju beberapa langkah kedepan, semoga bisa saling menerima satu sama lainnya 😊
Yani Hendrayani
ceritanya ga pernah gagal luar biasa
Mam AzAz
terimakasih Up nya 😊
Mam AzAz
cieee cieee😄😄😄
Safitri Agus
Widya malu-malu nih ciee🤭
Safitri Agus
ya nda papa toh man sudah halal kok
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman yg curi2 pandang ke Widya lewat kaca spion 😇😇😇
Enisensi Klara
Cieee ..yg gak bisa jauhan hihihi 🤣🤣🤣itu udah cinta namanya Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Karena kamu sebenarnya punya rasa yg sama kyk Arman Wid ,makanya ga bisa marah sama Arman 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!