NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:760
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dokter Onkologi

Pagi itu sinar matahari menembus tirai putih rumah sakit, memberi suasana sedikit lebih hangat. Tasya baru saja membuka matanya ketika melihat Revan masih duduk di kursi dengan posisi setengah tertidur, wajahnya lelah.

"Revan," panggil Tasya pelan.

Revan tersentak bangun, langsung menegakkan tubuh. "Kamu udah bangun? Gimana? Udah mendingan?"

Tasya tersenyum tipis. "Udah mendingan. Tapi kamu kelihatan lebih sakit daripada aku. Dari semalem belum makan, kan?"

"Aku nggak lapar," jawab Revan cepat.

Tasya menghela napas, menatapnya dengan lembut. "Revan … mending kamu sarapan dulu ke kantin. Aku nggak apa-apa di tinggal sebentar. Dari pada kamu juga ikutan sakit nantinya."

Revan menatapnya lama, ragu. Tapi akhirnya ia berdiri, meraih jaketnya. "Oke, aku ke kantin. Tapi jangan ngapa-ngapain dulu. Aku balik sebentar lagi."

Begitu pintu tertutup, Tasya menghembuskan napas lega. Akhirnya ia punya waktu sendirian.

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Kali ini seorang dokter masuk dengan map hasil lab di tangannya. Senyum ramah menghiasi wajahnya, tapi sorot matanya serius.

"Anastasya?" panggilnya sambil mendekat. "Kami sudah dapat hasil tes darahmu."

Tasya langsung menegakkan tubuh, jantungnya berdegup kencang. "Hasilnya gimana, Dok?"

Dokter membuka map, matanya menelusuri lembaran hasil tes. "Ada beberapa hal yang tidak biasa. Jumlah sel darah putihmu cukup tinggi, dan ini bukan hal yang bisa dianggap remeh. Kami sarankan kamu dirujuk ke dokter onkologi untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Seolah waktu berhenti. Kata onkologi menampar Tasya begitu keras. Ia mencoba tetap tersenyum walau tangannya dingin. "Onkologi… itu artinya ..."

Dokter tidak langsung menjawab, hanya menatapnya penuh pengertian. "Belum tentu. Tapi untuk memastikan, kamu perlu tes lanjutan."

Tasya menelan ludah, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "Saya mengerti, Dok. Tapi … saya rasa saya lebih nyaman kalau periksa ke dokter keluarga saya. Bisa, kan, kalau saya pulang hari ini?"

Dokter menggeleng. "Sebaiknya kamu tetap di sini sampai pemeriksaan lanjutan. Kondisimu kemarin cukup drop."

Tasya menguatkan dirinya, matanya menatap dokter dengan sungguh-sungguh. "Tolong izinkan saya pulang. Saya janji akan segera periksa lagi ke dokter keluarga. Saya baik-baik saja, Dok. Saya cuma butuh istirahat di rumah."

Ada jeda lama. Dokter menghela napas, akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, tapi tolong jangan ditunda. Saya akan buatkan surat rujukan. Jangan dianggap remeh, ya."

"Terima kasih, Dok," ucap Tasya dengan senyum kecil yang dipaksakan.

Beberapa menit kemudian, perawat masuk untuk mencopot infus. Tepat saat itu, pintu terbuka lagi. Revan masuk sambil membawa roti dan kopi dari kantin.

Ia membeku melihat perawat sedang melepas jarum di tangan Tasya. "Ini apa-apaan?" tanyanya cepat. "Kenapa infusnya dicopot? Kamu beneran udah boleh pulang?"

Tasya buru-buru tersenyum ceria, seolah tidak ada yang terjadi. "Iya. Dokter bilang aku udah cukup sehat. Jadi bisa pulang hari ini dan istirahat di rumah."

Revan mendekat, menatap Tasya lekat-lekat, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Kamu yakin?"

Tasya mengangguk cepat, matanya berbinar penuh kepura-puraan. "Iya ... lagian lebih nyaman istirahat di rumah."

Revan masih menatapnya tajam, mencoba mencari celah kebohongan. Namun Tasya pandai menyembunyikan guncangannya dengan senyum hangat.

Di balik senyum itu, jantungnya terus berdegup kencang, menggaung kata yang baru saja ia dengar dari dokter, onkologi.

---

Matahari pagi sudah mulai naik, sinarnya menerobos masuk lewat kaca depan mobil Revan. Sepanjang jalan, suasana di antara Revan dan Tasya terasa tenang. Sesekali, Tasya menunduk, masih malu setelah kejadian semalam, sementara Revan hanya fokus menyetir tanpa banyak bicara.

Mobil itu akhirnya berhenti di depan rumah Tasya. Gadis itu menarik napas dalam, menyiapkan diri. Begitu ia turun, pintu rumah sudah terbuka dan papanya berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas.

"Anastasya, anakku Sayang, semalam kamu ke mana?"suara papanya tegas namun penuh khawatir.

Tasya refleks menoleh sebentar ke arah Revan yang masih duduk di mobil, lalu buru-buru tersenyum tipis pada papanya. "Aku … lembur kerja, Pa. Terus ketiduran di kantor. Maaf bikin Papa khawatir."

Papanya menghela napas panjang, jelas belum puas dengan jawaban itu. Tapi ia memilih menahan diri. "Ya sudah, yang penting kamu pulang dengan selamat. Sekarang masuk, istirahat. Papa nggak mau lihat kamu jatuh sakit."

Tasya mengangguk patuh, meski hatinya sedikit berdegup kencang karena kebohongan kecil yang baru saja ia ucapkan. Ia melangkah masuk, sementara Revan di mobil hanya bisa melihat sekilas, lalu menyalakan mesin dan pergi meninggalkan rumah itu.

---

Setelah tidur cukup lama, Tasya bangun dengan tubuh yang masih agak lemas. Hari itu terasa panjang, sepi, dan membosankan. Dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela kamar yang tirainya terbuka setengah. Matahari sudah tinggi, namun semangatnya seperti masih tertinggal di tempat lain.

Dia mencoba membaca buku, lalu menyalakan televisi, tapi tak ada satu pun yang benar-benar bisa mengalihkan pikirannya. Akhirnya, Tasya memeluk bantalnya erat-erat, lalu bergumam lirih, "Huh ... bosen banget nggak ngerjain apa-apa dan cuma bisa rebahan aja."

Di tengah kebosanannya, tiba-tiba pikirannya melayang pada satu sosok, Tante Bella. Seorang dokter onkologi yang dulu merawat mamanya saat masih berjuang melawan penyakitnya. Wajah lembut Tante Bella, senyumnya yang hangat, dan caranya berbicara penuh empati mendadak begitu jelas di ingatan Tasya.

"Udah lama aku nggak ketemu Tante Bella …" bisiknya pelan. Ada rasa rindu sekaligus penasaran. Ia teringat bagaimana Tante Bella sering menguatkannya di sela-sela perawatan mama dulu, seperti seorang keluarga sendiri.

Tanpa sadar, bibir Tasya membentuk senyum kecil. Namun, perlahan senyumnya memudar saat melihat secarik kertas yang berada di tasnya.

"Nomernya masih bisa di telepon nggak, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Tasya meraih ponselnya lalu mencari nomer Tante Bella. Setelah mantap, Tasya menekan tombol bergambar telepon lalu menempelkan ponsel di telinganya.

"Halo, Tas! Gimana kabarnya?" ucap Tabte Bella di seberang sana.

"Tante Bella! Aku kangen banget ..." lirih Tasya yang sebenarnya lebih rindu sang ibunda. Tante Bella mengingatkannya pada Mamanya yang sudah pergi dari bumi ini.

Mereka berbincang sampai pada akhirnya Tasya memberitahu tentang hasil laboratorium tadi pagi.

"Kamu dateng aja ya ke rumah sakit. Biar Tante bacain hasil lab-nya."

Beberapa jam kemudian, langkah kakinya bergema di lorong rumah sakit yang dingin. Ia menyerahkan map berisi hasil lab pada Tante Bella.

Dokter itu membuka lembar demi lembar, lalu wajahnya menegang. Ia menutup map itu dengan perlahan, menatap Tasya dengan sorot mata penuh pertimbangan.

"Tasya … hasil ini sebaiknya kita tes ulang. Tante nggak mau gegabah," ucapnya pelan, seolah menyembunyikan sesuatu.

Jantung Tasya berdegup kencang. Kata-kata itu justru menyalakan bara kegelisahan baru dalam dirinya.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!