NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:995
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kepala

Suasana di dalam bus begitu sunyi, seolah malam itu menelan setiap desah nafas para penumpang. Tubuh-tubuh yang kelelahan merebah di kursi masing-masing, wajah mereka hampa, tanpa tawa, tanpa canda seperti saat keberangkatan kemah dulu. Diam. Hanya diam, menatap pepohonan yang bergerak mundur di jendela, atau memandangi kegelapan luar dengan mata kosong.

“Karaokean aja, please! Biar gak lemot gini! Boring banget,” suara seorang laki-laki berambut keriting memecah kesunyian.

“Lu aja yang nyanyi. Gue ogah,” sahut yang lain, dingin.

“Idih, diajak seneng-seneng gak mau,” cibir lelaki itu, langkahnya sempoyongan menyeberang ke depan bus yang bergoyang karena jalan bergelombang.

“Pak, nyalain TV-nya, ya. Nonton Upin Ipin kek di Yutup,” pintanya pada kondektur.

“Coba dulu, ya. Moga-moga sinyalnya gak jelek,” jawab Pak Agus.

“Oke, Pak!” Lelaki itu hendak kembali ke kursi. Namun langkahnya tak seimbang, hampir terjerembab ke lantai. Anak-anak lain menahan tawa, terhibur oleh tingkahnya yang konyol.

Pak Agus berusaha menyalakan televisi. Namun dugaan buruknya benar: sinyal hilang di sepanjang rute yang mereka lalui. Layar datar menampilkan simbol buffering yang berputar tanpa henti. Beberapa siswa menatap layar itu, matanya seakan tersedot dalam lingkaran hipnotis, membeku dalam keheningan yang menyesakkan.

Tiba-tiba, benturan keras mengguncang kaca bus. Semua orang terkejut. Tepat di kaca samping, sesuatu menabrak dengan dahsyat—dan noda merah membekas.

“Darah?” suara satu murid bergetar saat menatap kaca.

“Yang barusan apaan, Mel?” tanya Kevin pada Melani, yang duduk di dekat jendela, wajahnya tegang. Namun Melani tak sempat menjawab dengan pasti.

“Mungkin… burung,” gumamnya ragu.

Detik berikutnya, tujuh gagak hitam muncul, terbang bersamaan, menabrak kaca dengan keras. Semua murid menjerit, bus mengerem spontan. Burung-burung itu tampak linglung, terus menabrak kaca, sayap dan kepala mereka berdarah.

Bobi melongo, buru-buru mengeluarkan ponsel. Beberapa anak lain ikut memotret, mengabadikan kejadian aneh itu.

Ratna, yang selalu peka terhadap pertanda buruk, bangkit. “Burung-burung itu… berperilaku aneh. Ini pertanda buruk,” gumamnya.

Vani, yang ikut melongo, menolak mendengar. “Daripada ngomong nggak-enggak, mending sumpal mulut lu pake kain!” bentaknya.

Ucapan Ratna masih terngiang di kepalanya, tentang kehati-hatian setelah pulang dari kemah. Vani merasa ketakutan sekaligus kesal, seolah kata-kata Ratna adalah kutukan.

Melia mencoba menutupi wajahnya dengan jaket. Ia tak mau menyaksikan burung-burung malang itu seolah ingin mati. Namun belum sempat kain menutupi matanya, sesuatu yang lebih mengerikan menabrak kaca.

“Aaakh!! Ada kepala!” jerit Melia histeris. Sebuah wajah pucat berlumuran darah seolah menempel di kaca, matanya melotot menatap lurus ke dalam bus.

Ia terisak, merangkul teman di sampingnya, menimbulkan rasa penasaran dan kebingungan di antara murid-murid lain.

“Kepala? Mana ada kepala?” gumam Kevin dan teman-temannya, menyadari bahwa yang menabrak kaca hanyalah gagak-gagak itu. Tapi bayangan pucat, darah, dan jeritan Melani membekas di mata mereka, membuat keheningan malam bus terasa semakin dingin dan menakutkan.

“Banyak yang halu,” bisik Agam, namun tidak ada seorang pun yang benar-benar percaya diri untuk menertawakannya.

"Sudah-sudah. Tenangkan diri kalian. Kayaknya gagak-gagak tadi lagi migrasi, tapi gak sengaja nabrak bus kita!" ujar salah seorang pengurus OSIS. Ia bertugas di sana, karena Pak Agus ikut bus yang lain.

"Perjalanan kita masih jauh, ya, anak-anak. Jadi harap tenang dan baca doa dalam hati, semoga perjalanan kita selamat sampai rumah," lanjut kondektur bus, menenangkan semua penumpang.

Mereka kembali duduk, bus mulai melaju, dan suasana di dalam kabin terasa makin mencekam. Beberapa menebak rasa tak nyaman itu karena gerimis yang membasahi luar bus. Namun, tangisan Melia yang tak henti-hentinya menambah kesan suram selama perjalanan.

Kevin, duduk di kursi paling belakang bersama Kila, melangkah kesal ke deretan kursi tempat Melia dan Tika duduk.

"Lu bisa berhenti nangis, gak? Berisik anjir," katanya dengan nada jengkel.

Tika membela. "Kalem dong, Kev. Dia masih syok."

"Alaah, baru ngeliat gagak nabrak aja kaget," Kevin berdecih. "Jangan berisiklah, yang lain pada pengen istirahat. Gue juga pengen tidur." Ia kembali melangkah ke kursi belakang dengan enggan. Tika hanya menghela napas, lalu menenangkan Melia.

"Gue gak bohong, Ti. Tadi di antara gagak itu ada kepala orang kayak dilempar. Gue gak ngarang," bisik Melia lirih.

"Iya, iya. Gue juga ngerasa ada yang aneh. Tapi lu yang tenang, ya. Kalau gini malah panik jadinya," Tika berusaha menenangkan lagi. Melia mengangguk, berusaha tak cengeng, sementara Tika menutup kaca samping Melia dengan gorden. Noda darah gagak yang menakutkan melebar karena gerimis yang terus jatuh.

......................

Bus yang membawa siswa SMK BINA KARYA akhirnya tiba di sekolah. Setiap murid yang turun sudah dijemput keluarganya. Namun, mereka tak bisa langsung pulang karena harus mengikuti briefing akhir, sekaligus Pak Robi melakukan absensi ulang. Tak ingin ada yang tertinggal tanpa sengaja saat di rest area.

Sore itu, anak-anak diperbolehkan pulang. Mereka berjalan lesu menuju mobil dan motor yang menjemput. Hanya Ratna yang berbeda, tak ada yang menjemput. Gadis yatim piatu itu hanya tinggal di kosan, hidup dari bantuan tantenya.

Kevin dan teman-temannya saling sikut, menatap Ratna yang berdiri terpaku, mengamati anak-anak lain yang dijemput. Semua bergerak hilir-mudik di pelataran parkir. Perhatian yang seharusnya dirasakannya, hilang begitu saja.

"Kasian, ada Anak Ayam," goda Kevin, senyum jahil mengembang di bibirnya. Ia mengajak teman-temannya mendekati Ratna. Menyadari gerakan Kevin, Ratna buru-buru ingin pergi, tapi langkahnya selalu berhasil dicegat.

"Kalian ngapain, sih? Lepas!" teriak Ratna saat digiring ke dalam gedung sekolah. Kevin membawanya ke area belakang.

"Kita tunggu jemputan di dalem aja, Rat. Ngapain bengong di depan?" ujar Agam sambil tertawa. Semua tertawa, kecuali Vani yang hanya berdecak lelah. Ia ingin segera pulang, mandi, dan tidur. Namun Kevin dan teman-temannya tetap mengerjai Ratna.

"Gue tungguin di sini, ah. Capek," kata Vani, duduk di kursi koridor, meluruskan kakinya yang pegal. Teman-temannya menoleh sebentar, lalu terus mendorong Ratna ke salah satu kelas.

"Please, Kev... aku pengen pulang."

"Ngapain pulang. Yang penting kan bisa tidur. Di sini juga bisa," balas Kevin sambil mendorong Ratna lebih jauh. Ransel dan barang-barangnya berhamburan di lantai.

"Ayo, Gaes!" Kevin mengajak teman-temannya lari, menutup pintu kelas rapat-rapat, tawa puas menyertai langkah mereka.

Ratna, awalnya memunguti barang berserakan, berlari ke pintu, tapi Kevin menguncinya dari luar. "Kev! Buka! Kila ... aku mohon bukain pintunya!" pikirnya, berharap hati Kila tersentuh. Tapi gadis itu sama girangnya dengan Kevin.

Keempatnya pergi begitu saja, meninggalkan Ratna yang hanya bisa tergugu-gugu, kelelahan, tanpa menangis. Ia merunduk, meraih ransel, memasukkan barang yang berserakan. Saat meraih jaket, tangannya menyentuh buku bersampul cokelat kehitaman yang ditemukannya di gua. Ratna menatapnya beberapa saat, seolah ada cerita tersimpan di dalamnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!