Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Janji
Damian berjalan mendekati mereka. Revan menatapnya, ada sedikit kecanggungan di antara mereka. Namun, saat Damian membuka mulutnya untuk bicara, Valeria tiba-tiba membalikkan badan dan berjalan pergi.
"Val!" panggil Revan, tapi Valeria tidak menoleh. Ia terus berjalan hingga menghilang di tikungan koridor.
Damian menatap Revan, bingung. "Kenapa dia?" tanyanya.
Revan menggeleng, matanya masih menatap ke arah Valeria pergi. "Gue nggak tahu. Yang pasti, ada sesuatu. Tapi gue nggak tahu apa."
Revan kembali menatap Damian, sorot matanya berubah serius. "Lo sendiri gimana? Keadaan lo setelah lo tahu kebenarannya tentang Fara?"
Damian menghela napas. "Gue... nggak tahu. Rasanya campur aduk."
"Dan kalau Fara datang ke sekolah ini, apa yang bakal lo lakuin?" tanya Revan. "Tapi apapun itu, tolong jangan libatkan Valeria dalam masalah lo dan Fara."
Damian menatap Revan dengan tatapan tegas, tidak ada lagi keraguan di matanya. "Ya, tentu, lo tenang aja, Revan," katanya. "Tapi yang jelas, gue akan lindungi Valeria kalau Fara berani menyentuhnya."
Revan terkejut mendengar ucapan Damian. Ada sedikit rasa cemburu, tapi ia jauh lebih merasa lega. Damian bukan lagi musuh, melainkan sekutu yang peduli pada Valeria sama sepertinya.
"Oke," jawab Revan, mengangguk. "Gue pegang omongan lo."
Kini, dua laki-laki yang tadinya saling membenci itu berdiri bersama, disatukan oleh kekhawatiran mereka terhadap Valeria.
"Kalau begitu, kita beri Valeria sedikit ruang dulu," usul Revan. "Dia kelihatan butuh waktu sendiri. Kita fokus ke Fara."
Damian mengangguk setuju. "Lo benar. Tapi kita harus tetap awasin Valeria."
"Pasti," jawab Revan. "Sekarang, kita harus siap-siap. Gue punya firasat buruk tentang kedatangan Fara."
Damian mengangguk ke arah Revan, lalu bergegas menuju kelasnya. Saat ia masuk, matanya langsung tertuju pada Valeria. Gadis itu duduk di bangkunya, menunduk termenung. Tasnya tergeletak di sampingnya, dan ia tidak menyentuhnya sama sekali.
Damian berjalan mendekatinya dengan langkah ragu. Ia duduk di kursi di sebelahnya, di mana biasanya ia duduk.
"Val," bisik Damian. "Lo nggak apa-apa?"
Valeria mendongak, terkejut melihat Damian. Ia memaksakan senyum yang tidak sampai ke matanya.
"Gue... nggak apa-apa," jawab Valeria, suaranya pelan dan hampa. "Udah, nggak usah khawatir."
Damian tahu Valeria berbohong. Sama seperti Revan, ia bisa merasakan ada tembok yang tiba-tiba berdiri di antara mereka. Namun, ia tidak memaksa. Ia hanya duduk diam di samping Valeria, memberinya ruang. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan kata-kata yang tidak terucapkan.
Pelajaran pun dimulai. Guru mata pelajaran masuk, dan kelas yang tadinya hening menjadi ramai dengan suara salam dan persiapan buku. Suara guru mulai memenuhi ruangan, menjelaskan materi dengan antusias. Namun, Valeria tidak mendengarkan. Pikirannya melayang, diselimuti awan gelap yang dibawa dari rumahnya.
Ia melirik Damian di sebelahnya. Damian juga tidak fokus. Tatapannya kosong, sesekali melirik Valeria, seolah ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Valeria menunduk, merasa bersalah karena telah membuat Damian dan Revan khawatir.
Di kelas yang berbeda, Revan juga merasakan hal yang sama. Ia tidak bisa fokus, pikirannya terus-menerus memikirkan sikap aneh Valeria. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres, dan ia harus mencari tahu apa itu.
Saat pelajaran berlangsung, Valeria sesekali melihat ponselnya, tetapi tidak ada pesan masuk. Ia merasa sendirian, seolah-olah ia adalah satu-satunya orang di dunia yang harus menanggung semua beban ini.
Bel istirahat berbunyi, memecah keheningan yang tegang. Para siswa berhamburan keluar, meninggalkan Valeria yang masih duduk termenung. Damian melihat Valeria yang masih duduk termenung. Ia menepuk pundaknya dengan pelan.
"Val, ayo ke kantin. Gue laper banget," ajak Damian, mencoba mencairkan suasana.
Valeria mendongak, matanya yang sembab menatap Damian. Ia memaksakan senyum tipis. "Makasih, Dam. Tapi... gue mau ke perpus aja. Ada buku yang harus gue cari."
"Yakin? Lo kelihatan pucat banget," balas Damian, khawatir.
Valeria mengangguk. "Gue nggak apa-apa. Lo duluan aja."
Melihat keteguhan Valeria, Damian akhirnya mengalah. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu kelas. Namun, saat ia berbalik, ia melihat Revan berdiri di depan pintu. Revan menatap Valeria, lalu beralih menatap Damian dengan tatapan penuh tanya.
"Valeria mau ke perpus," kata Damian, tanpa basa-basi. "Dia nggak mau ke kantin."
Revan mengangguk, lalu berjalan masuk ke kelas. Damian hanya menatap mereka berdua, lalu akhirnya pergi ke kantin.
Revan mendekati Valeria dan memanggilnya. "Val, lo nggak ke kantin?"
Valeria mendongak dan menggeleng. "Nggak, Van. Gue mau ke perpus." Tanpa menunggu jawaban Revan, ia pun berdiri dan bergegas meninggalkan Revan.
Revan merasakan ada yang aneh dengan sikap Valeria. Ia tidak lagi ceria, dan terus-menerus menghindarinya. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi, dan ia tidak akan membiarkannya begitu saja. Revan pun memutuskan untuk mengikuti Valeria, menjaga jarak agar tidak ketahuan.
Valeria tiba di perpustakaan. Ia berjalan di antara rak-rak buku, mencari ketenangan. Namun, saat ia berbalik, ia melihat Revan berdiri di belakangnya.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Aku udah bilang, Van," ucap Valeria, suaranya dingin. "Gue mau sendiri. Lo ke kantin aja."
Revan tidak bergerak. "Nggak, Val," jawabnya. "Gue nggak akan pergi. Gue tahu ada sesuatu yang nggak beres. Sejak tadi pagi, lo aneh banget. Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa," balas Valeria, mencoba berjalan pergi.
Tapi Revan menahan tangannya dengan lembut. "Valeria, lo nggak bisa bohongin gue. Mata lo nggak bisa bohong." Revan menatap matanya dalam-dalam. "Apa ini ada hubungannya sama Damian? Atau Fara?"
Valeria menggelengkan kepalanya. Air matanya mulai menggenang. "Ini nggak ada hubungannya sama mereka. Tolong... biarin gue sendiri."
Revan menatapnya dengan penuh kepedulian. "Gue nggak akan biarin lo sendirian, Val. Nggak akan pernah."
Valeria mendongak, matanya berkaca-kaca ia mendekat menatap Revan.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Revan, tinggalin gue!" teriaknya.
Petugas perpustakaan yang sedang membereskan buku menoleh. "Sstt, jangan berteriak! Ini perpustakaan."
Valeria tidak memedulikan teguran itu. "Keluar, Revan! Gue mohon, pleaseee... Atau lo mau gue teriak lagi?"
Revan menatapnya, hatinya teriris melihat Valeria seperti itu. "Tapi lo belum makan siang, Val. Lo bisa makan dulu, habis itu..."
"Stop!" potong Valeria, suaranya bergetar. "Keluar!"
Dengan berat hati, Revan mengangguk. Ia tahu, memaksakan diri tidak akan membuahkan hasil. Ia pun berbalik dan berjalan keluar perpustakaan, meninggalkan Valeria yang kini terisak pelan di balik rak buku.
Revan berjalan menuju kantin dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat muram dan sedih. Damian, yang sudah selesai makan, melihatnya dan segera menghampirinya.
"Van, gimana?" tanya Damian, cemas. "Valeria kenapa?"
Revan duduk di bangku kosong. "Dia... Dia suruh gue pergi," jawabnya, suaranya pelan. "Dia teriak-teriak di perpus, nyuruh gue keluar."
"Astaga," gumam Damian. "Dia pasti beneran ada masalah."
Sementara itu, Kian dan Liam, yang duduk tidak jauh dari mereka, mendengar percakapan itu. Kian yang biasanya pendiam, tiba-tiba menghentikan makannya. Tanpa bicara, ia menghabiskan makanannya dalam satu suapan.
"Mau ke mana, Kian?" tanya Liam, bingung.
"Perpus," jawab Kian singkat, lalu berdiri dan berjalan cepat ke luar kantin.
Kian berjalan menuju perpustakaan. Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi ia tahu Valeria sedang tidak baik-baik saja. Saat ia masuk, ia melihat Valeria duduk di sudut ruangan, wajahnya tersembunyi di balik buku-buku. Bahunya terlihat bergetar.
Di kantin, Damian baru saja akan berdiri dari bangkunya, wajahnya terlihat cemas. "Gue mau ke perpus," katanya, "Gue nggak bisa biarin dia sendirian."
Namun, Revan dengan cepat menahan tangannya. "Jangan, Dam. Biarin dia sendiri dulu," ucap Revan. "Gue baru aja dari sana, dia suruh gue pergi. Dia teriak-teriak. Dia butuh waktu."
Damian kembali duduk, tatapan matanya penuh kekhawatiran. "Jadi... kita cuma bisa nunggu?"
Revan mengangguk. "Ya. Kita beri dia ruang. Kita nggak mau bikin dia makin tertekan."
Mereka berdua duduk dalam diam, diselimuti oleh kekhawatiran yang sama terhadap Valeria.
Sementara itu, Kian sudah tiba di perpustakaan.
Kian masuk ke dalam perpustakaan. Ia tidak langsung menghampiri Valeria. Sebaliknya, ia berjalan santai, mengambil sembarang buku dari rak, lalu duduk di kursi tepat di hadapan Valeria, di seberang meja. Ia membuka buku itu, tetapi matanya tidak membaca. Ia hanya memperhatikan Valeria, menunggu dengan sabar.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Tiga puluh menit berlalu dalam keheningan. Valeria, yang sudah tidak bisa lagi menahan beban pikirannya, akhirnya mendongak dan meletakkan bukunya. Ia terkejut melihat Kian duduk di depannya.
"Kian?" ucap Valeria, suaranya parau.
Kian menutup bukunya dan menatap Valeria. Wajah Valeria terlihat pucat, matanya sembab, dan ada jejak air mata di pipinya. Kian tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapnya dengan tatapan lembut, seolah berkata, "Aku di sini."
Valeria kemudian berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Kian.
"Hah, gue mau ke kelas," jawab Valeria.
"Gue antar," kata Kian, berdiri.
"Nggak usah, gue bisa sendiri," tolak Valeria. Ia pun berjalan menuju pintu perpustakaan.
Namun, Kian tetap mengikutinya dari belakang, menjaga jarak. Saat tiba di koridor, Valeria merasa pusing. Pandangannya buram. Beberapa detik kemudian, tubuhnya tidak bisa menahan beban. Ia terhuyung. Kian yang berada di belakangnya, melihat hal itu. Ketika Valeria hampir terjatuh, dengan cepat Kian berlari.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Akhirnya kian berhasil menangkap nya sebelum terjatuh, ia pun bekata kepada valeria.
"Val, lo kenapa?" bisik Kian, suaranya terdengar panik.
"Pu... Pusing," bisik Valeria, suaranya sangat lemah.
Kian tidak ragu. Dengan sigap, ia menggendong Valeria dan membawanya lari menuju Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Valeria terkulai di pelukannya, kepalanya bersandar di bahu Kian. Kian hanya fokus pada satu hal: memastikan Valeria baik-baik saja.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Sesampainya di UKS, Kian membaringkan Valeria di salah satu ranjang. Ia memanggil perawat, yang langsung memeriksa Valeria.
"Terima kasih," kata perawat kepada Kian. "Kamu bisa tunggu di luar, ya."
Kian mengangguk dan keluar, hatinya masih dipenuhi kecemasan. Ia duduk di kursi depan UKS, menunggu. Tak lama kemudian, Revan dan Damian datang tergesa-gesa. Wajah mereka terlihat panik.
"Kian!" seru Revan. "Apa yang terjadi sama Valeria? Tadi ada yang bilang dia pingsan."
"Dia cuma pusing," jawab Kian, mencoba menenangkan mereka. "Sekarang lagi diperiksa sama perawat."
Revan dan Damian menghela napas lega, tetapi kekhawatiran masih terlihat di mata mereka. Ketiga laki-laki itu kini duduk bersama, menunggu kabar dari dalam UKS.
Revan berdiri, memecah keheningan yang tegang. "Gue nitip Valeria," ucapnya kepada Damian dan Kian. "Gue mau beli makan dulu."
Damian dan Kian menatapnya. Mereka mengerti. Valeria belum makan sejak pagi, dan Revan, meski khawatir, tetap memprioritaskan kesehatan Valeria.
Damian mengangguk. "Santai, Van. Lo pergi aja. Kita tunggu di sini."
Revan membalas anggukan Damian, lalu berjalan pergi. Sementara itu, Damian dan Kian duduk dalam diam, menunggu perawat keluar dari UKS. Pintu UKS terbuka, dan perawat pun keluar.
Perawat keluar dari UKS. Wajahnya tenang, tapi Damian dan Kian langsung berdiri, cemas.
"Bagaimana keadaannya, Sus?" tanya Damian.
"Dia baik-baik saja," jawab perawat itu dengan nada menenangkan. "Hanya kelelahan dan kurang istirahat. Dia juga belum sarapan, itu yang membuat dia pingsan."
"Lalu, apa ada yang lain, Sus?" tanya Kian, matanya fokus.
Perawat menghela napas. "Sepertinya dia juga sedang banyak pikiran dan stres. Saya sarankan dia istirahat di sini sampai pulang sekolah. Kalian bisa bilang ke gurunya."
Damian dan Kian saling menatap. Perkataan perawat itu mengonfirmasi dugaan mereka. Masalah Valeria bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Tiba-tiba, Revan datang dengan sekantung plastik berisi makanan.
"Gimana, Val... baik-baik aja kan?" tanya Revan, melihat wajah serius teman-temannya.
Damian dan Kian mengangguk. "Valeria nggak apa-apa," jawab Damian. "Tapi... dia butuh istirahat. Dia kelelahan dan stres."
Revan menatap kantong makanan di tangannya, lalu ke pintu UKS. Kecemasan di wajahnya kini bercampur dengan rasa bersalah.
Revan menoleh ke arah Damian. "Dam, lo minta izin ke guru ya, bilang kalau Valeria sakit dan harus istirahat di UKS sampai pulang sekolah."
Damian mengangguk. "Siap, Van."
Kemudian, Revan menoleh ke Kian. "Kian, lo juga. Bilang ke guru kalau gue nggak bisa ikut pelajaran karena harus jagain Valeria di sini."
Kian mengangguk, tatapannya tenang. "Oke."
Revan berjalan masuk ke UKS, membuka pintu perlahan. Ia melihat Valeria terbaring di ranjang, matanya terpejam. Perawat yang berada di sana tersenyum.
"Dia sudah makan?" tanya perawat.
"Belum, Sus. Ini saya bawakan makanan," jawab Revan. Ia berjalan mendekati Valeria, meletakkan kantong makanan di meja samping ranjang. Revan duduk di kursi, menunggu Valeria bangun.
Satu jam kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan istirahat selesai dan pelajaran dimulai kembali. Suara langkah kaki siswa di koridor perlahan mereda. Keheningan kembali menyelimuti ruang UKS.
Valeria mengerjapkan matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, tetapi ia bisa melihat siluet seseorang duduk di samping ranjang. Ia mencoba bangkit, namun Revan dengan lembut menahannya.
"Tidur aja, Val," bisik Revan. "Lo masih butuh istirahat."
Valeria menatap Revan. Ia merasa malu dan bersalah karena telah membentak Revan di perpustakaan tadi. "Revan... maafin gue," ucapnya lirih.
Revan menggeleng, tersenyum lembut. "Nggak ada yang perlu dimaafin. Ini makanan, lo belum makan kan?" Revan menyodorkan kotak makanan yang tadi ia beli.
Valeria mengambil kotak makanan itu dan menatapnya. Air matanya kembali menggenang.
"Val, kalau lo nggak mau cerita, nggak apa-apa," kata Revan. "Tapi gue mau lo tahu, gue nggak akan kemana-mana. Gue di sini. Lo nggak sendirian."
Mendengar kata-kata itu, tangis Valeria pecah. Semua beban yang ia tahan sejak semalam, kini tumpah. Revan menarik kursi lebih dekat dan membiarkan Valeria menangis di bahunya.
"Revan... mama gue...," ucap Valeria tersendat-tersendat.
"Iya, gue dengerin," balas Revan, membelai lembut rambut Valeria.
Revan Mendengarkan
Valeria, sambil sesenggukan, menceritakan semua yang terjadi semalam. Ia menceritakan tentang Mama Diandra yang ingin ia fokus pada bisnis, tentang larangan untuk bergaul dengan teman yang "tidak penting," dan tentang tekanan untuk berpacaran dengan Revan demi masa depan.
Revan mendengarkan dengan sabar, hatinya dipenuhi kemarahan dan rasa iba. Ia marah pada Mama Diandra karena telah menekan Valeria sedemikian rupa, dan ia iba melihat Valeria yang rapuh. Setelah Valeria selesai bercerita, Revan menarik napas panjang.
"Val, dengar baik-baik," kata Revan, suaranya tenang tapi tegas. "Gue nggak peduli sama bisnis, sama masa depan yang Mama lo bilang. Yang gue peduliin, lo. Lo nggak harus jadi apa yang Mama lo mau. Lo punya hak untuk bahagia, untuk berteman sama siapa pun, termasuk gue."
Revan menatap mata Valeria yang sembab. "Mulai sekarang, kita hadapin ini bareng-bareng. Gue, lo, Damian, dan Kian. Kita semua tim lo."
Valeria menatapnya, ada sedikit harapan di matanya. Ia tidak lagi merasa sendirian.
Valeria menatap Revan, matanya masih berkaca-kaca. "Makasih, Revan," ucapnya, suaranya bergetar. "Tapi gue... gue mau terus sahabatan sama lo."
Revan terdiam sejenak. Hatinya sedikit perih, tapi ia mengerti. Valeria tidak ingin perasaannya menjadi bagian dari rencana bisnis ibunya. Ia ingin menjaga ketulusan hubungan mereka. Revan mengangguk, tersenyum lembut.
"Apapun keputusan lo, gue hargain, Val," kata Revan. "Gue nggak peduli kita pacaran atau sahabat. Yang terpenting, lo tahu kalau gue akan selalu ada buat lo. Lo nggak akan sendirian."
Valeria tersenyum, kali ini tulus. Air matanya kembali menetes, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Revan membalas senyumnya, lega melihat Valeria akhirnya bisa tersenyum.
Tak lama kemudian, Damian dan Kian masuk ke UKS. Mereka menatap Valeria dan Revan dengan cemas.
"Val, lo udah bangun?" tanya Damian, mendekat.
Valeria mengangguk. "Udah, Dam. Kalian nggak usah khawatir."
Kian hanya mengangguk, tatapannya menyiratkan kelegaan.
Mereka berempat kini berkumpul, disatukan oleh kepedulian yang sama. Situasi ini menunjukkan bahwa ikatan mereka jauh lebih kuat dari sekadar masalah sepele. Mereka adalah sebuah tim.
"Gue udah denger semuanya," kata Revan, suaranya kembali tegas. "Sekarang, kita harus bikin rencana. Kita harus hadapin Fara dan juga Mama lo."
Damian dan Kian saling menatap, bingung. "Mama lo maksudnya?" tanya Damian.
Revan menoleh ke Valeria, yang duduk di sampingnya. Valeria dengan cepat menggelengkan kepalanya, matanya memohon agar Revan tidak menceritakan apa pun. Ia belum siap.
Revan mengangguk, mengerti. Ia menoleh kembali ke Damian dan Kian.
"Itu masalah internal. Nanti gue ceritain," kata Revan, suaranya pelan. "Sekarang, kita fokus ke Fara dulu. Kita harus bikin dia nggak bisa ganggu Valeria lagi."
Damian dan Kian mengangguk. Mereka percaya pada Revan.
"Oke, jadi apa rencana kita?" tanya Kian, suaranya tenang dan tegas. "Fara pasti akan datang ke sekolah, kita harus siap."
Revan mengambil napas dalam-dalam. "Rencana pertama, kita biarin dia datang. Kita nggak akan menghindar," ucapnya. "Kita hadapi dia secara langsung, dan kita tunjukin kalau kita udah tahu semua kebohongannya."
"Oke," kata Damian, mengangguk setuju.
Kian hanya mengangguk, tatapannya tenang.
Revan kemudian menoleh ke arah Valeria. "Val, ayo kita pulang," ajaknya. "Lo butuh istirahat."
Valeria mengangguk, merasa sedikit lebih baik. Ia memiliki teman-teman yang peduli padanya, yang siap melindunginya. Itu memberinya kekuatan baru.
Kian dan Damian ikut berjalan bersama Revan dan Valeria keluar dari UKS, lalu keluar dari gerbang sekolah. Hari yang dimulai dengan kesedihan, kini berakhir dengan harapan. Mereka berempat, yang tadinya saling bermusuhan dan terpisah, kini menjadi sebuah tim yang solid.
sesampainya dirumah valeria, Revan, Damian, dan Kian mengantar Valeria sampai di depan gerbang rumahnya. Suasana terasa canggung, tapi juga penuh kehangatan.
"Val, ingat," bisik Revan. "Kita hadapin ini bareng-bareng. Lo nggak sendirian."
Valeria tersenyum, mengangguk, dan mengucapkan terima kasih kepada mereka bertiga. Setelah teman-temannya pergi, ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu, Mama Diandra sudah menunggu dengan wajah datar. "Dari mana saja? Kenapa terlambat?" tanyanya, suaranya dingin.
"Tadi di UKS, Ma. Valeria pusing," jawab Valeria pelan.
"Pusing?" ulang Mama Diandra, tatapannya tidak percaya. "Itu karena kamu kurang istirahat dan terlalu banyak main. Cepat ganti baju, Pak Bimo sudah menunggu."
Valeria mengangguk dan bergegas naik ke kamarnya. Diandra, yang tidak pernah menunjukkan kekhawatiran, membiarkan putrinya pergi.
Setelah mengganti baju, Valeria turun dan menemukan seorang laki-laki paruh baya duduk di ruang tamu. Itulah Pak Bimo, tutor bisnisnya.
Valeria duduk di meja kerja yang besar, di hadapannya adalah Pak Bimo. Pria paruh baya itu tersenyum ramah, namun ada ketegasan di matanya. Di kejauhan, Mama Diandra duduk di sofa, mengawasi dengan pandangan tajam.
"Selamat sore, Valeria," sapa Pak Bimo, suaranya tenang dan profesional. "Nama saya Bimo. Saya akan menjadi mentor bisnis kamu mulai hari ini."
Valeria hanya mengangguk, merasa tertekan oleh suasana yang kaku.
"Kita akan mulai dari dasar," lanjut Pak Bimo, membuka laptopnya. "Bisnis adalah tentang logika dan strategi. Ada satu hal yang harus kamu pahami, emosi tidak boleh terlibat dalam bisnis."
Valeria mengerutkan kening. Pikirannya langsung melayang ke Revan dan teman-temannya, kepada Fara dan semua drama yang melibatkan perasaan.
"Bisnis juga adalah tentang membangun jaringan," kata Pak Bimo, sambil menunjukkan sebuah bagan di layar. "Kamu harus bisa membedakan mana pergaulan yang bisa membawa keuntungan di masa depan, dan mana yang hanya membuang-buang waktu."
Kata-kata itu bagai tamparan keras bagi Valeria. Ia merasa Pak Bimo sedang berbicara langsung tentang teman-temannya. Ia mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang.
Pak Bimo menyadari ketidak fokusan Valeria. Ia menatapnya dengan tenang. "Valeria, saya tahu ini sulit. Tapi jika kamu tidak bisa fokus, kita tidak akan bisa maju."
Valeria hanya mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Pak Bimo. Sementara itu, mama diandra pergi kehalaman belakang meninggalkan valeria dan tutornya, di halaman belakang rumah. Mama Diandra menghubungi rekan bisnisnya, Daniel, yang tak lain adalah Papa Revan.
"Halo, Diandra. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Daniel, suaranya terdengar ramah.
"Ya, Daniel. Saya membutuhkan bantuanmu," jawab Diandra dengan nada serius. "Saya berencana untuk menjalin kerja sama bisnis."
"Bisnis apa? Saya tentu akan membantu kamu dan saya setuju untuk berbisnis denganmu. Kapan kita bisa memulainya?" tanya Daniel, antusias.
"Bukan 'kita', Daniel," koreksi Diandra.
"Maksudnya, siapa?" tanya Daniel, bingung.
"Maksud saya, saya berencana membuat kerja sama bisnis antara Valeria dan Revan. Saya sangat berharap mereka berdua bisa belajar dan membangun bisnis bersama," jelas Diandra.
"Bisnis antara Valeria dan Revan?" ulang Daniel, suaranya terdengar terkejut.
"Iya. Kamu bisa kan, Daniel, untuk mengatur mereka berdua agar mau belajar bisnis dan membangun bisnis bersama juga?"
Daniel menghela napas. "Maaf, Diandra, bukannya saya tidak setuju. Justru ini adalah kesempatan yang sangat bagus. Hanya saja, mereka berdua masih sekolah dan masih kelas 2 SMA. Belum waktunya mereka memikirkan tentang bisnis. Mungkin belajar bersama bisa, tapi untuk menjalankan dan membangun bisnis selain kerja sama yang baik, tentu juga mereka harus fokus membangun bisnis ini agar berkembang dengan baik. Jika mereka masih sekolah, konsentrasi mereka akan terpecah antara sekolah, tugas mereka di sekolah, ditambah lagi mereka akan disibukkan dengan ulangan kenaikan kelas. Jika ditambah dengan menjalankan bisnis, kasihan kepada mereka. Itu pasti akan menguras konsentrasi mereka."
"Mungkin kita bisa menjalin kerja sama antara Valeria dan Revan setelah mereka berdua lulus sekolah," lanjut Daniel.
"Jadi kamu menolak kerja sama ini?" tanya Diandra, suaranya terdengar dingin.
"Bukan, Diandra. Saya menerimanya, hanya saja nanti. Saya cuma mengundur waktunya sampai mereka lulus sekolah, baru kita bicarakan lagi dan memulai kerja sama. Bukan menolak."
"Itu sama saja kamu menolak, Daniel," bantah Diandra, tidak sabar.
"Astaga, bukan begitu, Diandra. Hanya mengundur waktunya," ucap Daniel, mencoba sabar. Ia akhirnya menyerah. "Baiklah, saya akan coba tanya Revan. Apa dia mau belajar bisnis dan menjalin kerja sama ini."
"Baik, saya tunggu, Daniel," jawab Diandra, mengakhiri percakapan.
Bersambung....