Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10 Tahun Kemudian
Melati yang berdiri dengan dibantu tongkat itu tak berhenti menatap makam ayahnya, di sisinya ada makam Karsih, wanita malang itu meninggal dunia setelah lima tahun berjuang walau akhirnya tak kuasa lagi menahan guna-guna kiriman suaminya.
"Semoga kalian tenang di sana," gumam Melati seraya menabur bunga di atas makam. mereka.
"Bu, Pak. Sebentar lagi Melati lulus SMA. Melati mau melanjutkan kuliah, mungkin, kalau kalian masih ada, Melati bisa membanggakan ibu dan bapak," ucapnya dan kali ini sambil mengusap air matanya.
Gadis remaja itu merindukan sosok orang tuanya, beruntung ada si mbok yang setia mengabdi pada Melati dan Kemuning.
"Doakan ibu dan bapak, Non. Bibi selalu ada untuk kalian, menjaga kalian," timpal si mbok yang berdiri tepat di belakang anak-anak itu.
"Terima kasih, Mbok Sum," ucap Melati dan Kemuning yang berdiri di sisi Melati itu ikut tersenyum.
Setelah ziarah, sekarang mereka semua pulang, karena jarak yang tak terlalu jauh dari makam, mereka pun memilih untuk jalan kaki.
Saat itu, Kemuning yang memiliki sebuah pertanyaan tiba-tiba menghentikan langkah, dia menoleh, menatap si mbok yang juga ikut menghentikan langkah.
"Ada apa, Non?" tanya si mbok.
"Mbok Sum, Muning nggak suka sama kalung ini, jelek. Muning jadi sering diledekin sama temen-temen, katanya kaya anak bayi aja pakai sambetan."
si mbok membalas dengan sedikit senyumnya, sementara Melati, dia menghela nafas. "Pasti mau nanya kenapa nggak boleh lepasin kalung itu, kan?" tanya Melati dan Kemuning menjawab dengan mengangguk.
"Itu amanah dari Juragan dan Ibu, anggap saja kenang-kenangan dari mereka, jangan pernah dilepas apapun keadaannya, ya, Non!" Si mbok mencoba menjelaskan, berharap gadis itu mengerti dan akan terus menurutinya.
Waktu telah berlalu, dari sore kini menjadi malam, Kemuning yang baru saja berbaring di ranjangnya itu berbaring dengan tangan kanan yang menggenggam kalung hitamnya yang menggantung di lehernya.
Tiba-tiba saja dia mendengar sesuatu yang berbisik, "Lepaaaasssss!" M enyuruhnya untuk melepaskan kalung itu. Seperti terhipnotis, tatapannya kini kosong, Kemuning segera merubah posisinya jadi duduk, dia melepaskan kalung itu, klik!
Lalu, suara pintu terbuka, Melati yang membukanya, dia yang juga hendak tidur itu masuk ke kamar, dia membulatkan matanya saat melihat adiknya seperti orang linglung.
"Muning!" teriak Melati, gadis pincang pasca kecelakaan sepuluh tahun lalu itu berjalan cepat, menyeret kakinya yang lumpuh, dia segera memeluk adiknya, lalu memasang lagi kalung itu.
"Jangan lepaskan!" kata Melati, dia berbisik tajam saat itu.
"Mbak Melati, ada apa Mbak? Kenapa panik gitu?" tanya Kemuning seraya melepaskan pelukan itu.
"Tolong jangan lepas kalung ini, cuma kamu yang mbak punya di dunia ini, Muning!" Melati menangis sesenggukan, dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada adiknya.
"Mbak, apa hubungannya, memangnya yang kasih kita kehidupan di dunia ini kalung ini?" Kemuning tersenyum, dia mengusap air mata di pipi Melati.
"Muning, kamu belum tau apa-apa, yang harus kamu tau dan lakukan, kamu harus menurut sama Mbak!" Melati membelai pipi adiknya dan Kemuning pun mengangguk untuk menenangkan sang kakak.
Sekarang, mereka berdua berbaring di ranjang yang sama, menatap langit-langit kamarnya dan malam ini begitu terasa dingin, dingin yang sampai menusuk ke tulang.
Melati turun dari ranjang, kakinya memakai sandalnya dan saat itu, Melati merasa ada sesuatu yang menahan kakinya.
Sentuhan itu terasa dingin, sangat dingin seperti es. Dengan cepat, gadis yang rambutnya dibiarkan tergerai itu menunduk, memperhatikan kakinya dan tak ada apapun di bawah sana.
Tapi, sentuhan yang barusan menggenggam kakinya itu masih jelas terasa.
"Ada apa, Mbak?" tanya Kemuning yang melihat sang kakak terdiam tanpa suara.
Melati menoleh, dia tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak papa, malam ini sangat dingin, Mbak mau ambil selimut," jawab Melati.
Setelah mendapatkan selimutnya, sekarang, Melati menutup lemarinya, dia menoleh dan saat itu, dia melihat sesuatu yang mampu membuatnya tertegun, yaitu bayangan hitam yang menembus dinding, kini menghilang dari pandangannya.
"Apakah sosok itu yang membuat aku dan Muning selalu sial? Sebenarnya siapa dia?" tanya Melati dalam hati.
Perlahan, Melati pun kembali mendekati ranjang, dia memakaikan selimut itu untuk adiknya. "Kamu tidur dulu, ya. Ingat, jangan lepas kalungnya lagi, Mbak ada perlu dulu sama Mbok," pesan Melati dan Kemuning menjawab dengan mengangguk.
****
Di depan kamar Mbok Sum, Melati mengetuk pintu itu, tidak lama kemudian penghuni kamar membukakan pintunya.
"Non Melati, ada apa?" tanya si mbok dengan begitu sopannya.
"Ada yang ingin Melati tanyakan, Mbok."
"Apa itu? Atau sama pertanyaannya seperti pertanyaan Non Muning?"
"Lebih jelasnya lagi, sebenarnya kenapa kami pakai jimat? Bahkan mbok juga pakai dan sosok yang selalu mengikuti kami, siapa dia?" Melati bertanya dengan hati-hati.
Mbok Sum menunduk, menarik nafasnya dalam, dia sendiri kurang begitu yakin.
"Malam itu, Mbok mau manggil Juragan dan Ibu, tapi Mbok dengar pertengkaran mereka, Non. Dan itu... " Mbok Sum menggantung ujung kalimatnya, dia merasa ragu untuk menceritakannya, Mbok takut cerita itu akan membuat anak-anak membenci ayahnya.
"Kejadiannya sudah lama, Mbok kurang ingat jelas, yang pasti ada yang dendam sama keluarga juragan, mungkin persaingan bisnis."
"Oh, begitu ya, Mbok." Melati mengangguk perlahan, dia mengerti sekarang.
"Ya sudah, kalau begitu mbok lanjutkan istirahatnya, maaf udah ganggu," kata Melati yang kemudian tersenyum manis.
Gadis pincang itu kembali ke kamarnya.
Sementara Mbok Sum, dia kembali ke kamar, menutup pintu itu rapat, lalu menyenderkan punggungnya ke pintu.
"Apa jimat itu udah nggak mempan? Buktinya mereka sering hampir celaka," gumam si mbok.
"Aku harus temui dukun itu," ucapnya.
Melati yang membuka pintu kamar itu tak menemukan Muning di ranjangnya, dia pun mulai mencari-cari, di kamar mandi pun tidak ada.
"Muning!" panggilnya, Melati keluar lagi dari kamar, dia melihat ke kanan dan kirinya lalu dia melihat sosok adiknya yang berjalan ke arah dapur.
Melati mengikutinya, terlihat kalau Kemuning menarik kursi meja makan, lalu duduk di sana.
"Oh, dia lapar mungkin," gumam Melati yang kemudian menepuk dua bahu adiknya dari belakang.
"Kamu nggak takut gendut makan malam-malam begini?" tanya Melati dan Kemuning hanya menjawab dengan menggeleng pelan, sangat pelan.
"Ya, sudah. Mbak temani di sini, jangan banyak-banyak makannya, udah malam lho, ini," kata Melati yang menarik kursi sebelah Kemuning duduk.
Melati tersenyum, dia juga merapikan anak rambut adiknya yang menutupi wajahnya. Lalu, Kemuning menoleh, dia menawarkan ayam panggang yang ada di tangan kirinya.
"Mbak mau?" tanya Kemuning dengan lirih, kali ini Melati merasa kalau yang di depannya itu bukanlah adiknya.
Tatapan mata gadis yang ada di depannya itu kosong, makan menggunakan tangan kirinya, tak seperti biasanya. Melati menelan ludah, kenapa dia merasa selalu diteror, sebenarnya apa yang diinginkan oleh si peneror itu?
Lalu, seseorang memanggil Melati dari pintu dapur, di sana ada Kemuning yang mengucek matanya. "Mbak, Mbak ngapain di situ?" tanyanya.
Deg!
Dunia seolah berhenti berputar, Melati membeku melihat adiknya berdiri di pintu ruang makan. Kalau Kemuning berdiri di sana, lalu siapa yang sekarang duduk bersamanya?
Bersambung dulu, ya.