NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 REZA KAMU TERLALU

 Galih teriak seperti orang kesurupan.

Rangga berlari ke dapur dengan napas memburu.

Tanpa pikir panjang, dia langsung melepas selang gas dari kompor.

Tangannya gemetar saat membuka regulator, dan…

“KALIAN GILA?! MAU BAKAR RUMAH INI?!”

teriak Narti, si asisten rumah tangga yang baru saja masuk dapur sambil membawa ember air.

“Jangan banyak tanya!” bentak Rangga, tetap panik.

“Kalau mau cabut regulator, matiin dulu kompornya, goblok,” kata Narti, tenang tapi kesal, tangannya menyambar knop kompor dan memutarnya.

“Kalian mau ngapain sih pagi-pagi begini bawa tabung gas segala?”

“Jangan banyak tanya! Reza terkunci di toilet belakang!” jawab Rangga sambil memanggul tabung gas seperti memanggul bom waktu.

Narti terdiam sejenak, keningnya berkerut.

“Reza terkunci di toilet?” gumamnya pelan.

Matanya melirik ke arah kamar belakang.

Baru saja jam tiga pagi tadi… dia sempat mengintip ke kamar Reza.

Dan Reza masih tidur di sana.

Nafasnya teratur. Selimut setengah menutupi wajah. Tidur nyenyak seperti bayi.

Sekarang… dia terkunci di toilet?

“Ada yang aneh…” bisik Narti pada dirinya sendiri, jantungnya mulai terasa tidak enak.

Rangga tiba di depan toilet dengan napas tersengal. Tangannya gemetar saat memasang regulator gas ke tabung.

"Klik...

Krek...

Klak!"

Salah pasang. Dua kali. Tiga kali.

“KALIAN TIDAK BERGUNA!!”

“KALIAN ANJING SEMUA!!!”

teriak Galih, nyaris kehabisan napas karena emosi.

Akhirnya, setelah beberapa kali hampir merusak ulir gasnya, regulator berhasil terpasang.

Mereka berdiri di depan pintu toilet, cutting torch sudah di tangan.

Galih menatap mereka penuh harap—dan tekanan darah tinggi.

Tapi saat momen itu tiba…

“Anjing… gua lupa bawa koreknya…” gumam Rangga dalam hati, wajahnya mulai pucat.

Rangga dan Rimin saling lirik, seperti dua penjahat yang baru sadar pistol mereka mainan.

“Koreknya mana?” bisik Rangga pelan, panik.

Rimin langsung merogoh saku kanan, kiri, belakang... nihil.

Biasanya rokok dan korek itu soulmate mereka. Tapi entah kenapa, pagi ini dunia tidak berpihak.

“KENAPA CUMA DIAM?! CEPAT NYALAKAN LASANNYA!!” teriak Galih dari belakang, suaranya sudah seperti peluit ambulans.

“Koreknya nggak ada, Tuan…” bisik Rangga nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membakar amarah Galih yang sudah meledak sejak 5 adegan lalu.

“ANJINGGGG!! GOBLOKKKK!!!”

Galih melempar kunci pas ke tanah, dan hampir melempar jantungnya sendiri saking frustrasinya.

“CEPAT CARI KOREK!! KALAU REZA MATI, LU BERDUA GUA TEMBAK PALING PERTAMA!!!”

Sementara itu, dari balik pintu toilet…

Reza menyandarkan kepalanya ke dinding, tersenyum simpul sambil menutup mulutnya agar tak terdengar.

Rangga berlari membabi buta menuju pos keamanan.

Napasnya pendek-pendek. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.

Sudah lima menit dia jungkir balik mencari korek. Meja, laci, loker satpam—semua dia bongkar. Tapi nihil.

“Kalian cari apa sih, pagi-pagi ngacak-ngacak?” tanya Narti dari arah dapur sambil membawa ember cucian.

“Korek, Narti! Mana korek?! Manaaaa?!” teriak Rangga, matanya merah.

Narti mengerutkan dahi. Dengan tenang, ia menunjuk ke atas meja makan dekat dapur.

“Astaga… itu korek dari tadi ada di depan kalian. Di situ tuh, dari tadi nggak gerak.”

Rangga mematung. Matanya menatap korek gas oranye itu yang tampak bersinar seperti harta karun.

Dia menepuk jidat keras-keras, frustrasi.

“Anjing! Reza, nyusahin hidup gue aja, lu!” gumam Rangga sambil menggeram seperti gigi gergaji aus.

Narti hanya menggeleng pelan, tak paham dengan drama pagi buta ini.

Sementara Dimas dan Vanaya hanya mengintip dari balik pilar, tak berani mendekat ke toilet. Mereka tahu, kalau kena semprot Galih, bisa-bisa jatah mobil barunya ditarik lagi.

Rangga dan rimin jongkok di depan pintu toilet

Akhirnya… suara “pssstt–ttzzttt” yang ditunggu terdengar.

Nyala api dari lasan menyala terang. Asap mengepul pelan.

Rangga mulai mengiris pintu besi perlahan, peluh mengalir di dahinya.

Sementara itu, Galih berdiri tak jauh, mondar-mandir seperti orang kerasukan.

“Kenapa lama sekali, hah?!” bentaknya panik.

“Pintunya besinya tebal banget, Bos…” jawab Rimin, tangannya sibuk memegang bagian pinggir agar api tetap terarah.

Rangga tetap fokus, tapi tangannya gemetar.

Percikan api menghantam kulitnya—beberapa menyambar lengannya—tapi rasa sakit tak ia pedulikan.

Kepalanya cuma dipenuhi satu hal: jangan sampai Reza mati di dalam.

Galih makin frustasi.

“Perasaan dulu pintu toilet ini dari plastik…”

“Kenapa sekarang kayak lemari besi bank?! Heran! Toilet atau brankas sih?!”

Galih menatap pintu itu dengan mata membelalak.

“Siapa yang ganti pintu ini jadi besi, hah?! SIAPA?!?”

Semua diam.

Rimin menunduk pelan, pura-pura fokus ke tabung gas.

Karena ia tahu pasti siapa dalangnya.

Riko.

Riko yang dulu merancang pintu besi itu khusus untuk menyiksa Reza—tebal, kuat, anti bobol.

Ironisnya…

Sekarang justru mereka sendiri yang dibuat kelabakan oleh “penjara buatan sendiri”.

“SIAPA JAWAB!!” bentak Galih lagi, suaranya menggema.

“Den Riko, Tuan…” akhirnya Rimin menjawab pelan, nyaris berbisik.

Galih terdiam. Matanya menyipit, wajahnya mengeras.

“Riko?” gumamnya.

“Ini… bukan toilet biasa. Bukan juga ruang simpan harta...”

Ia menatap pintu besi yang makin panas karena lasan, asap mengepul, dan bau besi terbakar memenuhi udara.

“Gila... ini pasti dibuat khusus untuk menyiksa Reza.”

Galih mulai mengusap wajahnya dengan tangan gemetar.

“Anak-anakku… kalau sikapnya begini terus… bisa bikin aku mati berdiri.”

Dia menggeleng-geleng, bukan karena sedih—tapi frustrasi.

“Kenapa sih mereka nggak bisa sabaran? Tinggal nunggu 7 tahun lagi. Setelah itu mereka bisa berbuat apapun pada Reza, dan aku lepas tangan.”

Pikirannya terus berputar. Setiap detik yang berlalu seperti menambah tekanan di dadanya.

Reza belum bersuara.

Sunyi. Mencekam. Menyesakkan.

Galih mulai panik.

“Jangan-jangan dia mati…”

“Jangan-jangan ketakutan gara-gara tikus-tikus itu…”

Galih menatap pintu yang belum juga terbuka penuh, dan tanpa sadar dia mundur dua langkah.

Dari dalam, tak ada suara…

Tak ada gerakan…

Tak ada tangisan…

Dan itu membuat Galih semakin takut.

“Tolong jangan mati dulu, Reza…”

“Kalau kamu mati… Aku akan jatuh miskin”

Sementara percikan las terus menari di luar,

di dalam toilet… Reza tengah menyelesaikan “panggung kematiannya”.

Tikus-tikus yang awalnya berlari panik, satu per satu jatuh tak bergerak.

Dengan hanya satu jentikan jari, tepat ke titik syaraf leher—Reza membunuh mereka tanpa setetes darah.

“Hewan juga tahu… siapa mayat yang sesungguhnya di ruangan ini,” bisiknya pelan.

Kemudian, Reza mengeluarkan sepotong spons—spons bekas cuci piring yang sebelumnya telah ia siapkan dan isi dengan sabun. Ia remas hingga keluar busa putih.

Perlahan, ia tempelkan spons itu ke dekat hidung dan bibirnya.

Busa menempel samar di sekitar mulutnya, tampak seperti air liur korban keracunan.

“Oke. Saatnya... pingsan,” ucapnya lirih.

Reza merebahkan diri, perlahan, mengatur posisi badannya agar terlihat natural tapi mengenaskan.

Tangannya menjulur lemah.

Matanya setengah tertutup.

Di saat bersamaan…

Clank!

Lubang kecil di dekat engsel pintu berhasil ditembus las.

Rangga menyelipkan tangannya, membuka kait pengunci dari dalam.

Suara “klik!” terdengar jelas.

Pintu besi terbuka perlahan… berdecit.

Lalu—panik meledak.

“ASTAGA!!!”

Reza tergeletak di lantai.

Mulutnya berbusa.

Matanya setengah putih.

Tikus-tikus mati berserakan di sekelilingnya.

Galih terpaku.

Matanya membulat.

Napasnya tercekat.

Ini... ini hal yang paling ia takutkan.

Kalau Reza mati…

warisan, mafia, kehancuran—semuanya datang dalam satu waktu.

“REZAAAAA!!” teriak Galih.

1
Agus Rubianto
keren
Aryanti endah
Luar biasa
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!