Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sentuhan Masa Lalu
"Kenapa terburu-buru sekali, Reyhan? Tamu kita masih ada di sini," tanya Ny. Jonathan saat Reyhan ingin berjalan pulang.
Langkahnya terhenti, namun Emma masih di tempat yang sama. Hanya menatap.
"Kenapa ibu undang dia?"
"Siapa? Emma maksudmu? Tentu saja ibu undang karena Emma pantas menjadi menantuku. Dan kau ... tiba-tiba kembali di waktu yang tepat, ada apa? Apa hatimu mulai berubah? Jika ya, ibu sangat senang, Nak."
"Aku datang hanya untuk menjenguk mu, Bu. Tidak untuk hal lain." Reyhan bersikap keras.
"Bukan karena ... soal warisan yang ingin kau tanyakan padaku? Rey, ibu ini bukan orang lain. Aku sangat paham kalau apa yang sudah kamu bangun bertahun-tahun di bawah kekuasaan ayahmu, itu sangat berarti. Jadi ... belum terlalu terlambat. Tinggalkan wanita itu, dan kembali pada ibu."
"Bu, kamu tidak punya hak atas hidupku. Aku sudah dewasa."
"Baiklah. Itu terserahmu saja. Hanya saja karena kamu sudah ada di sini. Ibu ingin kasih tahu kalau besok malam kita akan adakan pesta."
"Pesta? Pesta apa tiba-tiba?"
"Jika kamu tidak datang. Maka namamu, ibu anggap telah lenyap dari silsilah keluarga. Dan jangan ... bawa wanita itu."
Ancaman kecil, namun membuat Reyhan terpaku. Ny. Jonathan memilih mengajak Emma melangkah bersama, meningkatkan Reyhan di tempat.
Acara keluarga besar Jonathan diadakan di villa mewah milik mereka di Puncak. Kolam renang yang luas, lampu-lampu gantung yang memantul di permukaan air, serta barisan tamu dari kalangan elite yang datang untuk memperkuat citra keluarga—semua tampak sempurna.
Termasuk Emma Clarissa yang hadir dengan gaun merah menyala, melingkarkan lengannya di lengan Reno, yang berdiri gagah mengenakan jas biru dongker.
Namun satu hal yang membuat malam itu semakin aneh, Adelia tidak diundang. Reyhan tahu, dan justru sengaja tidak memberitahunya.
Bukan karena tidak ingin, tapi karena tahu, melihat Emma dan keluarganya akan jadi luka baru untuk Adelia.
Reyhan berdiri tak jauh dari meja utama, menatap Emma yang tertawa kecil sambil menyuapi Reno buah ceri dari gelas wine-nya. Hatinya mengeras, meski wajahnya tetap dingin. Tapi saat mata mereka bertemu, Emma melemparkan senyum penuh kemenangan.
Dan puncaknya, di dekat kolam renang, Emma mencium bibir Reno. Singkat, namun penuh simbol. Semua mata melihat. Semua tamu menyambutnya dengan tepuk tangan, seolah itu pertunjukan romansa yang pantas disorot.
Reyhan mengepalkan tangan, lalu melangkah cepat. Ia menarik tangan Emma dengan tegas, menjauhkan dari keramaian dan membawanya ke sudut taman villa yang gelap dan sepi.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam.
Emma tersenyum kecil, merapikan rambutnya. "Berakting, seperti yang biasa kau lakukan ketika mencintai seseorang yang bukan aku."
"Jangan main-main, Em. Ciuman itu—apa maksudmu? Di depan semua orang?"
Emma menatap tajam. "Kau cemburu?"
Reyhan tidak menjawab.
"Begitu cepat kau lupa ya? Siapa yang dulu kau tunggu di setiap kafe, siapa yang kau telepon di malam sepi? Siapa yang pertama kali kau cium bukan karena mabuk?"
"Emma, cukup," desis Reyhan.
Emma tertawa pendek. "Lucu ya. Dulu kamu terlalu datar. Nggak romantis, nggak ekspresif. Tapi sekarang, kamu meledak hanya karena melihatku mencium pria lain."
"Aku tidak meledak," balas Reyhan.
"Wajahmu berkata lain."
Mereka diam. Di antara pohon palem dan suara musik dari villa, hanya ada ketegangan yang menggantung di udara.
"Kau mencintai Adelia?" tanya Emma, tiba-tiba.
Reyhan memalingkan wajah. "Dia istriku."
"Jawaban yang diplomatis," ujar Emma, melangkah pelan mendekat. "Tapi aku tahu tatapan matamu. Kau belum benar-benar sembuh. Dan bagian paling menyedihkan? Kau tidak tahu siapa yang lebih kau cintai. Dia, atau kenanganmu tentangku."
"Kenapa kau lakukan ini?" tanya Reyhan, suaranya lirih.
Emma menatapnya dengan sorot mata dingin. "Karena aku ingin kau tahu rasanya dilupakan. Aku ingin kau lihat aku bahagia, meski cuma pura-pura. Dan aku ingin ... kau tersiksa. Sama seperti aku dulu."
Reyhan menghela napas berat, tapi belum sempat bicara, Emma tiba-tiba mendekat dan menarik kerah jasnya. Dalam detik berikutnya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang panas dan menyakitkan sekaligus.
Ciuman yang penuh dendam, penuh kerinduan, penuh luka yang tak pernah sempat dijahit.
Tangan Reyhan sempat mencoba mendorong, tapi lalu perlahan menggenggam pinggang Emma. Membalas sentuhan itu dengan lebih erat, hingga mata keduanya terpenjam menikmati irama ciuman yang terus menyesakkan dada.
"Rey, aku menginginkanmu. Aku ingin ... malam ini denganmu," lirih Emma dengan napasnya yang masih tidak stabil, dengan tatapan mata yang penuh nafsu sambil menarik jas Reyhan agar bisa ia lepaskan. Sebelum akhirnya sentuhan itu kembali terasa.
Mereka seperti terjebak dalam putaran masa lalu, dalam kenangan yang belum sepenuhnya mati. Lidah mereka saling bertemu, saling mencari kepastian yang tak lagi ada, dan dunia di sekitar mereka seperti lenyap.
Hanya ada dua orang yang pernah saling mencintai dan saling menyakiti. Ciuman itu berlangsung lama. Intens. Emosional.
Tapi saat mereka saling melepaskan, hanya napas yang tersisa. Nafas yang terengah, dan pandangan yang tak lagi bisa disembunyikan.
"Aku benci kamu," ucap Emma pelan. "Tapi aku juga … belum selesai denganmu."
Reyhan menatapnya, matanya sedikit memerah. "Aku sudah menikah, Emma."
"Dengan perempuan yang tak akan pernah kau cintai sebesar kau mencintaiku?"
Reyhan tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya. Dan itu cukup bagi Emma untuk tersenyum tipis.
"Jangan khawatir, Rey. Ini belum berakhir."
Emma melangkah pergi, membiarkan Reyhan berdiri dalam badai pikirannya sendiri.
Di dalam villa, Reno memandangi mereka dari kejauhan. Ia tahu peran Emma, dan tahu bahwa permainan ini bisa melukai banyak orang. Tapi selama tujuannya tercapai—mendapat kepercayaan penuh dari keluarga dan menjatuhkan Reyhan—ia tak peduli.
Sementara itu, Karin berdiri bersama para tamu wanita lainnya, sesekali mencibir dari balik kipas mungilnya. Ia melirik ke arah Emma dan Reno, lalu berbisik, "Biar saja mereka main drama. Yang penting aku tetap pegang aset suamiku."
Seorang wanita di sampingnya bertanya, "Bukankah Emma itu teman dekat Reyhan dulu?"
"Dan sekarang teman dekat suamiku," jawab Karin enteng. "Semua hanya soal waktu. Dan soal siapa yang lebih pintar memainkan hati."
Adelia duduk di rumah, mengelus perutnya yang kini makin membulat. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres, tapi Reyhan tak banyak bicara malam ini. Ponselnya hanya menunjukkan satu pesan dari suaminya.
'Maaf aku pulang telat. Ada acara keluarga. Aku ceritakan nanti.'
Delia menatap layar ponselnya lama. Ada kekosongan yang perlahan menyusup.
Sementara itu, Emma melangkah meninggalkan Reyhan setelah memberikan kecupan singkat di pipinya, seperti menusuk luka lama yang belum benar-benar sembuh.
Dan Reyhan berdiri di sana, terdiam, dikelilingi suara pesta ... tapi pikirannya penuh kabut. Ia tak pernah merasa serumit ini. Ia pikir sudah selesai dengan Emma. Tapi ternyata ... belum.