"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Sebelum dokter datang, Riko sudah sadar.
“Melati...” gumam Riko pelan.
Melati segera menghampiri.
“Ayah... maafin Melati, ya. Melati janji nggak akan ingat Mamah lagi,” ucap Melati panik sambil menatap ayahnya.
“Melati, sudah makan belum?” tanya Riko dengan suara lembut.
Melati nggak mau makan kalau Ayah sakit,” ucap Melati dengan suara lirih.
“Ayah mau tidur lagi kalau Melati nggak mau makan,” jawab Riko pelan.
Melati tertegun, diam sejenak, lalu mulai panik.
“Ya... ya... Melati makan, tapi Ayah jangan sakit, ya,” kata Melati ragu.
Akhirnya, Melati duduk dan mulai makan di depan Riko.
“Anak pintar,” ucap Riko tersenyum lemah.
Tak lama kemudian, datang seorang dokter.
Setelah memeriksa, dokter berkata,
“Sebaiknya Bapak dirawat, Pak. Bapak kena tipus,” ucap dokter serius.
Riko menggelengkan kepala.
“Bisa rawat di sini, nggak, Pak?” tanya Riko.
“Bisa, tapi di kosan Bapak tidak ada orang dewasa. Kalau begitu, siapa yang akan mengurus?” jawab dokter.
“Gampang, Dok, ada saya,” sahut ibu kos.
“Ya sudah, kalau begitu dirawat di kosan saja, ya,” jawab dokter.
Selanjutnya, Riko dipasang infus.
“Melati, maaf ya, Ayah nggak bisa mengurus Melati sekarang,” ucap Riko lemah.
“Ayah harus sembuh. Melati janji nggak akan ingat sama Mamah lagi,” balas Melati penuh harap.Riko merasa bersalah karena dia sakit dan sepertinya itu membuat melati merasa bersalah
Setelah dua hari dipasang infus, akhirnya Riko sembuh.
Senyum Melati kembali merekah. Ia bertekad untuk selalu ceria agar Ayahnya tidak sakit lagi—itu pula yang selalu didoktrinkan oleh ibu kos. “ayo kita jualan lagi sayang” ucap riko
“Ok, yah... ayo kita cari uang yang banyak,” ucap Melati semangat.
Seperti biasa, pagi itu mereka berkeliling ke tempat proyek. Sayang, sekarang sudah banyak pedagang kopi keliling di sana, jadi Riko punya banyak saingan.
Namun, meskipun banyak saingan, banyak orang tetap memilih membeli di tempat Riko karena ada Melati yang selalu menyenangkan.
Melati dengan cekatan bolak-balik memberikan kopi dan minuman dingin kepada para pembeli, lalu mengambil uang mereka.Namun didunia tak akan pernah kekurangan orang julid
“Kalau dia berdagang di sini, dagangan kita nggak laku,” ucap Karna.
“Iya, kenapa dia dagang di sini, sih? Padahal dua hari yang lalu dia nggak ada,” sambut Goni.
“Apa kita kerjain saja?” tanya Karna.
“Caranya gimana?” tanya Goni penasaran.
“Sini, gue bisikin,” jawab Karna sambil menunduk.
Mereka pun mulai merancang rencana jahat untuk Riko dan Melati.
Setelah nongkrong di tempat proyek, Riko dan Melati berkeliling seperti biasa.
Adzan Dzuhur menggema dengan lantang menggema di ke seantero tanah abang. Riko segera mengayuh sepedanya pelan-pelan hingga berhenti di depan masjid.
“Shalat dulu, ya,” ucap Melati sambil melepas topinya
“Iya, se sibuk apapun kita, harus tetap shalat,” jawab Riko sambil tersenyum, menanamkan nilai agama pada Melati sejak dini
“iya yah ayo kita shalat” ucap melati
Riko mengusap kepala melati bangga, melati anak baik gampang diatur dan menyenangkan
Riko menaruh sepedanya rapi di dekat pagar masjid. Suasana terasa ramai banyak orang yang akan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah kebanyakan para pengunjung yang sedang belanja di Tanah abang.
Karena waktu awal wakhtu shalat riko shalat berjamaah tak etis rasanya dia shalat sendirian sedangkan yang lain berjamaah, dan shalat berjamaah memang lebih utama daripada shalat sendirian,.
Usai shalat, Riko dan Melati berdoa dengan khusyuk penuh syukur.
Setelah berdoa, Riko melihat Melati merapikan mukena di lemari masjid dengan hati-hati.
Keduanya pun keluar dari masjid.
Namun, begitu melangkah keluar, mata Melati terbelalak.
“Ayah... sepeda kita hilang, Ayah...” ucap Melati setengah berteriak, suara penuh panik..
Riko dan Melati duduk di depan musala, di tempat terakhir sepeda jualan mereka terparkir.
“Yah… gimana dagangan kita?” tanya Melati dengan wajah cemas.
Riko tersenyum tipis. “Tuhan sedang bercanda dengan kita,” jawabnya pelan.
“Jadi yang mencuri itu Tuhan, ya?” tanya Melati polos.
“Tentu saja bukan. Tuhan itu Mahakaya, untuk apa Tuhan mencuri?” Riko mengelus kepala Melati.
“Yah… terus gimana dong? Sepeda dan dagangannya nggak ada,” ucap Melati lagi.
“Dagangannya ada, hanya saja sedang dipakai oleh orang yang mungkin lebih membutuhkan dari kita,” jawab Riko tenang.
“Terus gimana dong, Yah?” Melati menunduk.
Riko menatapnya penuh keyakinan. “Dagangan boleh hilang, tapi semangat tidak boleh hilang.”
Riko bangkit, menatap langit dengan mata berkaca-kaca. Seperti seorang penyair, ia mengangkat tangan terkepal tinggi-tinggi.
“Tuhan…” suaranya bergetar, namun tegas.
“Tak peduli berapa kali Kau menjatuhkanku… aku tahu, Kau hanya ingin melihatku bangkit.”
Ia menunduk sebentar, lalu kembali menatap langit.
“Jatuh…” napasnya berat.
“Bangkit lagi.”
“Jatuh…”
“Bangkit lagi.”
Kata-kata itu menggema, seolah menjadi sumpah hidupnya.
“Yeh… Ayah hebat!” ucap Melati, matanya berbinar senang.
Riko tersenyum melihat putrinya kembali ceria. “Kamu tidak boleh sedih, walau Ayah juga bingung besok mau apa,” batinnya.
Baginya, kehilangan apa pun tidak masalah—asal jangan sampai kehilangan senyum Melati.
..
Hampir tiga bulan berlalu, tapi sengketa rumah itu tak kunjung selesai.
Laras sudah lelah bolak-balik ke pengadilan, kantor pengacara, polisi, dan BPN.
“Kalau kamu capek, nggak?” tanya Laras dengan suara pelan, merasa tidak enak pada Doni.
“Aku nggak akan lelah, sayang. Aku selalu ada untuk kamu,” ucap Doni lembut sambil membelai rambut Laras.
Aku tidak akan menyerah sebelum semua asetmu jadi milikku, pikir Doni.
“Kamu menganggur, sayang,” ucap Laras pelan. “Tabunganmu habis, ya, gara-gara aku?”
Riko menarik napas panjang sejenak, mencoba menenangkan diri.
“Tenang saja, aku nggak tega meninggalkan kamu sendirian mengurus masalah ini. Memang seharusnya aku kembali ke Jepang, tapi kalau aku pergi, bagaimana dengan tanah kamu? Semua itu milik kamu, dan harus jadi milik kamu, sayang,” ucap Doni dengan suara penuh keyakinan.
“Tapi bagaimana dengan hidup dan karier kamu? Aku takut kamu kehilangan pekerjaan,” ucap Laras penuh penyesalan.
“Demi kamu, aku akan lakukan semuanya. Kamu jangan terlalu khawatirkan aku,” jawab Doni dengan suara lembut dan penuh kelembutan.
“Dasar bodoh... aku nggak pernah ke Jepang, dan aku juga nggak pernah bekerja di sana. Ke Jepang cuma cita-citaku saja,” pikir Doni dalam hati.
Setelah itu, Doni berjalan ke dapur, sementara Laras duduk menonton televisi di ruang tamu.
Ponsel Doni berdering. Ia melihat layar, ternyata Heru yang menelpon.
“Bro, gimana? Istrimu bisa nggak malam ini?” tanya Heru dengan nada santai.
“Berapa bayarannya?” balas Doni.
“20 juta,” jawab Heru cepat.
“Mmm, nggak jadi deh...” jawab Doni ragu.
“20 juta buat lu, 10 juta buat gue,” goda Heru.
“Nah, ngomong gitu yang jelas,” sahut Doni dengan senyum tipis.