NovelToon NovelToon
Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Slice of Life
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Kara_Sorin

Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7_Sarapan Pertama Pertengkaran Pertama

Berita tentang skandal video tidak pantas yang menimpa ayah Namira, Dr Arman Maxzella, perlahan mulai tenggelam dari headline media. Sejak pernikahan Namira dan Sean diumumkan secara resmi oleh PR perusahaan keluarga Maxzella, publik seakan menemukan sensasi baru untuk diperbincangkan.

Alih-alih membicarakan rekaman suara dan gambar yang memalukan, kini media sosial dipenuhi dengan opini tentang pasangan tak biasa: seorang CEO perempuan muda yang menikah dengan kurir ekspedisi

Romantis...

Langkah strategis untuk meredam isu.

Bukankah ini cinta beda kasta modern?

Komentar-komentar itu bertebaran, dari forum bisnis hingga grup ibu-ibu facebook dan bagi keluarga Maxzella, itu sudah lebih dari cukup.

Di meja makan ruang tengah, Rudi paman Namira menyeruput kopi sambil membaca artikel online.

“Kamu lihat ini?” katanya pada Mirna, ibu Namira, sambil mengacungkan Ipad.

“Engagement naik lima puluh persen sejak pengumuman pernikahan. Saham Maxzella Global juga mulai stabil.”

Mirna menyilangkan tangan.

“Itu belum berarti Namira sudah menerima perannya. Tapi ya, minimal publik lupa dulu soal ayahnya.”

“Anak itu keras kepala. Tapi dia tak sebodoh itu untuk menyabotase krisis reputasi keluarganya sendiri,” gumam Rudi.

***

Pagi itu, aroma roti panggang dan telur orak-arik menyambut Namira saat ia keluar dari kamarnya. Ia mengernyit. Biasanya, dapur apartemen hanya menyala saat ia sendiri yang mengaktifkannya atau assisten rumah tangga.

Saat ia sampai di dapur, Sean sedang menuang jus jeruk ke dalam dua gelas tinggi. Ia mengenakan kaus polos abu-abu dan celana panjang hitam. Penampilannya sederhana, tapi tertata.

“Apa-apaan ini?” tanya Namira, nadanya tidak senang.

Sean menoleh tenang.

“Sarapan. Saya berpikir, mungkin kita bisa mulai berbagi ruang, setidaknya sesekali. Tidak perlu membangun dinding di semua sisi.”

Namira menatap piring-piring yang sudah ditata rapi di meja makan. Ada roti gandum, salad sayuran segar, telur, dan sedikit buah potong.

“Ini bukan kesepakatan kita,” ujarnya tajam.

“Kita sudah sepakat hidup terpisah. Kamu tidak perlu bermain suami-suamian.”

Sean diam sejenak, lalu berkata pelan.

“Saya tidak bermain apa pun. Saya hanya membuat sarapan. Tidak ada makna tersembunyi di baliknya.”

Namira melangkah mendekat, suaranya meninggi.

“Sarapan itu intim, Sean. Itu ruang personal. Ini melanggar batas.”

Sean meletakkan gelasnya.

“Namira, kadang saya bingung… kamu ini ingin hubungan yang benar-benar tanpa kontak, atau kamu hanya takut jika kita mulai saling mengenal?”

Namira mendesis, “Kamu tidak berada di posisi untuk menganalisis saya.”

“Kamu juga tidak berada di posisi untuk mengatur semua hal seolah saya hanya perabot.” balas Sean, nadanya tetap tenang tapi tegas.

“Kamu ingin kontrol penuh, tapi lupa bahwa pernikahan, meski palsu, tetap melibatkan dua manusia.”

“Saya tidak lupa. Justru karena itu saya membatasi semuanya. Saya tidak mau hidupku diintervensi oleh orang yang tidak tahu tempat.”

Ada jeda. Keheningan di antara mereka menegang.

Sean memandangi wajah Namira, lalu berkata, “Kalau itu yang kamu pikirkan, maka saya salah menilai kapasitas emosionalmu. Saya kira kamu lebih dari sekadar produk keluarga Maxzella—yang percaya semua bisa dikendalikan lewat kontrak.”

Namira membuang napas kasar.

“Jangan sok tahu tentang saya. Kamu di sini karena kesepakatan. Bukan karena peduli.”

Sean mengangguk pelan.

“Baik. Maka mulai sekarang, saya tidak akan membuat sarapan lagi. Tapi jangan salahkan saya kalau rumah ini terasa seperti museum yang dingin.”

Namira tidak menjawab. Ia hanya berjalan cepat menuju ruang kerjanya, membiarkan aroma sarapan yang semula hangat berubah hambar dalam udara yang membeku.

Hari-hari berikutnya kembali kaku. Mereka kembali ke ritme semula kamar terpisah, jadwal makan berbeda, dan interaksi minim. Namun, sesuatu sudah berubah, meskipun keduanya tidak mau mengakuinya. Namira mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu ia abaikan.

Cara Sean selalu mencuci gelas yang dipakainya sendiri, meski ia tahu ada asisten rumah tangga. Cara ia meninggalkan catatan pendek berisi hal-hal praktis, seperti “air galon diganti” atau “lampu balkon mati saya laporkan ke teknisi.”

Semuanya dilakukan dengan rapi. Tanpa paksaan. Tanpa pretensi.

Tanpa ia sadari, Namira mulai menanti bukan kehadirannya, tapi... jejaknya.

***

Suatu malam, setelah rapat virtual yang melelahkan, Namira membuka kulkas. Ia hendak mengambil yoghurt, tapi malah menemukan kotak bekal kecil yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Di atasnya ada catatan tempel:

Untuk Namira. Jika lapar tengah malam. Tidak mengandung bawang. ---S.

Namira menatap kotak itu lama. Lalu membuka isinya.

Potongan ayam panggang dengan bumbu rosemary, quinoa, dan salad wortel dingin. Semua sesuai dengan alerginya dan selera makannya. Tidak mewah, tapi penuh perhatian. Ia tidak tahu apakah harus tersentuh… atau kesal karena merasa dianggap lemah.

***

Keesokan paginya, ia bertemu Sean di lorong dekat ruang cuci.

“Kotak makan malam itu… kamu yang buat?” tanyanya, suaranya datar.

Sean menoleh.

“Ya. Kalau kamu tak menyukainya, saya bisa berhenti.”

“Kenapa kamu melakukan semua ini?”

Sean diam sesaat, lalu menjawab, “Karena saya tidak ingin hidup seperti dua orang asing dalam satu rumah. Kita bisa tetap menjaga batas, tapi tetap manusiawi.”

Namira menatapnya, kali ini tanpa amarah.

“Kamu tahu ini semua tidak akan berakhir indah, kan?”

“Saya tidak mengharapkan akhir yang indah. Saya hanya ingin kita bisa melalui ini tanpa saling melukai.”

Untuk pertama kalinya, tidak ada sinisme dalam respons Namira. Ia hanya mengangguk pelan. Lalu berlalu ke ruang kerjanya, tapi langkahnya sedikit melambat.

Di suatu malam yang lengang, Namira duduk sendirian di ruang tamu, dengan secangkir kopi Americano kesukaannya. Televisi menyala, tapi suaranya nyaris tak terdengar. Ia memandangi foto-foto di meja, potret keluarga, pencapaian karier, dokumentasi kegiatan perusahaan.

Semuanya teratur. Indah. Kosong. Lalu pikirannya kembali pada Sean. Ia mulai mengingat caranya menatap dengan tenang, cara ia berbicara dengan jeda seperti mempertimbangkan kata-kata. Bukan karena takut, tapi karena menghargai percakapan. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi pencari, dan kembali mengetik:

“Sean Mahendra, relawan kebakaran, kisah viral.”

Ia menemukan video beberapa minggu lalu. Sean, mengenakan helm berlari masuk ke sebuah rumah yang terbakar, membawa seorang nenek tua yang hampir pingsan.

Wawancaranya singkat. Ia tidak mengaku sebagai pahlawan. Hanya berkata,

“Kalau saya tidak bantu, siapa lagi? Saya hanya lewat.”

Namira menonton video itu dalam diam. Lalu memutar ulang. Dua kali. Tiga kali. Ada sesuatu dari pria itu yang tak bisa ia mengklasifikasikan. Ia bukan orang biasa, tapi juga tidak mencari pengakuan. Ia tak mencolok, tapi juga tak bisa diabaikan. Namira menutup ponsel, lalu berbaring di sofa.

Pikirannya tak lagi jernih. Untuk pertama kalinya, ia merasa… bingung karena orang yang selama ini ia pikir bisa ia atur lewat kontrak perlahan mulai mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya. Bukan dengan romantisme, tapi dengan kehadiran yang… stabil. Bagi Namira, hal itu jauh lebih berbahaya.

1
NurAzizah504
jgn takut melawan kebenaran /Good/
NurAzizah504
/Determined//Determined//Determined/
NurAzizah504
semoga kalian baik2 saja
Kara: aamiin 🤲🤣
total 1 replies
NurAzizah504
keliatan bgt sean benar2 yakin kali ini
Kara: harus yakin 😁
total 1 replies
NurAzizah504
eh eh eh
NurAzizah504
akhirnya /Sob/
NurAzizah504
bakalan menggemparkan bgt ini
NurAzizah504
mantap. kalo disebar, pasti bakalan cepat viral
Kara: memanfaatkan opini publik 😂 sebagai senjata
total 1 replies
NurAzizah504
awas kalo ninggalin nam nam lagi
NurAzizah504
syukurlah sean udh sadar /Sob/
NurAzizah504
meleleh aku, makkk
NurAzizah504
sen-sen mu itu lohhh
Author Sylvia
yang sabar ya sean, Namira itu banyak banget yang harus dipikirin.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.
Author Sylvia
capek banget jadi Namira, keluarganya nggak ada yang peduli sama beban yang ada di pundaknya.
Riddle Girl
ceritanya keren, dari pembawaan, dan alur, bikin pembaca ikut merasakan suasana dalam cerita.
Kara: waah terimakasih sudah mampir dan mendukung ☺
total 1 replies
Riddle Girl
aku kasih bintang 5 ya, Thor. semangat nulisnya/Smile//Heart/
Kara: siap 👌
total 1 replies
Riddle Girl
mawar mendarat, Thor. ceritanya bagus/Smile/
Kara: terimakasih sekali dukungannya❤
total 1 replies
Riddle Girl
waahhh Namira yang biasanya tidak peduli kok bisa penasaran?/Grin//Chuckle/
Riddle Girl
mulut Namira sarkas juga yaa/Sob//Facepalm/
Riddle Girl
bener banget, mah ini. sampai ada kata "Lo cantik, Lo aman.", waduhh kasian orang-orang burik macam saya/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!