Kimi Azahra, memiliki keluarga yang lengkap. Orang tua yang sehat, kakak yang baik, juga adek yang cerdas. Ia miliki semuanya.
Namun, nyatanya itu semua belum cukup untuk Kimi. Ada dua hal yang belum bisa ia miliki. Perhatian dan kasih sayang.
Bersamaan dengan itu, Kimi bertemu dengan Ehsan. Lelaki religius yang membawa perubahan dalam diri Kimi.
Sehingga Kimi merasa begitu percaya akan cinta Tuhannya. Tetapi, semuanya tidak pernah sempurna. Ehsan justru mencintai perempuan lain. Padahal Kimi selalu menyebut nama lelaki itu disetiap doanya, berharap agar Tuhan mau menyatukan ia dan lelaki yang dicintainya.
Belum cukup dengan itu, ternyata Kimi harus menjalankan pernikahan dengan lelaki yang jauh dari ingin nya. Menjatuhkan Kimi sedemikian hebat, mengubur semua rasa harap yang sebelumnya begitu dasyat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmbunPagi25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Malam Kelam Dan Gadis Berambut Pendek
"Nanti kalau sudah lulus kuliah, jadi mantu nya om, yah. Ar?" Canda Om Galang saat mereka duduk bersama dikursi panjang di teras belakang sembari bermain catur. Om Galang seakan tidak ada bosan nya bermain catur meski sudah dua kali kalah melawan Ayahnya dan kini justru memintanya bermain melawan Om Galang.
"Sama Yana tuh, usia kalian kan sama." Lanjutnya, membuat Arkan meringis. Ia tahu di seberang mereka, Ayah terus menghela napasnya.
"Jangan terlalu memaksa anak-anak, Lang. Mereka saja masih SMA. Biarkan mereka menentukan pilihan mereka. " Sahut Ayah sembari mecomot pisang goreng diatas piring putih diatas meja.
Pisang goreng kesukaan Ayah yang dihidangkan oleh Bunda.
Om Galang nampak tidak terima, "Kamu tidak mau besanan dengan ku, Ndan?" Tanya Om Galang yang mulai memusatkan perhatian nya pada Ayah.
"Bukan begitu, Lang. Yana kan juga pasti punya rencana sendiri dengan masa depannya. Kita hanya perlu mendukung mereka."
"Gampang lah. Yana anaknya nurut, lagian aku yakin Arkan bisa membahagiakan putriku." Ucap Om Galang lagi dengan senyum terkembang.
"Iya, kan. Ar? Kamu mau kan?"
Membuat Arkan hanya menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal. Lalu mengalihkan kan nya dengan permainan catur didepan mereka.
"Skakmat! Om Galang kalah," ujarnya dengan jumawa ketika raja milik Om Galang berada dalam posisi yang dikepung oleh dua benteng miliknya.
"Waah... kamu pasti curang ini, Ar."
Om Galang geleng-geleng kepala, ia terus menggerutu menunjukan wajah tidak terima, meski Arkan tahu bahwa wajah tegas itu tidak bisa menyembunyikan senyum bangga nya.
"Kamu sudah seperti ayahmu, dalam segala hal. Om pulang saja lah." Ucap Om Galang seperti ingin menunjukkan bahwa ia sedang merajuk. Hal itu justru membuatnya tertawa.
"Arkan putraku, Lang. Sudah semestinya dia seperti ku." Sambung Ayah dengan tawanya.
Om Galang mendengkus, lalu mulai beranjak menjauh. Ucapannya masih terdengar bahkan hingga mereka ke teras depan.
"Oke, Ar! Kamu harus jadi mantunya Om, Yah!" Itu bukan lagi pertanyaan, itu lebih ke sebuah pernyataan.
Bahkan ketika motor Om Galang melaju meninggalkan pekarangan rumah. Ucapan itu terus memenuhi kepalanya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Ar. " Ucap Ayah mencoba menenangkan nya seraya menepuk pundaknya.
Arkan bisa melihat senyum di wajah teduh Ayah, yang membuatnya tak ayal melebarkan senyumnya.
Arkan tahu Om Galang dan ambisi nya itu. Ia bukannya menolak, ia hanya tidak ingin memberi janji untuk suatu hal yang tidak pasti. Karena ia tahu. Seiring waktu, hati dan pikiran manusia itu akan berubah.
Begitu juga dengan kehidupan manusia. Ia tidak bisa selalu hidup dalam zona nyaman nya sendiri. Termasuk Arkan, ia tidak menduga semesta akan mengujinya sedemikian rupa. Dunia nya luruh bersamaan dengan hilangnya senyum Ayahnya yang menenangkan itu.
Malam gulita tanpa bintang itu menjadi saksi atas pahitnya kenyataan yang harus Arkan terima.
Tepat saat kabar, bahwa motor yang Ayah kendaraan itu hilang kendali dan keluar jalur, menabrak sebuah batang pohon. Saat itulah ia dapat merasakan dunianya runtuh bersamaan dengan semua semangat nya. Ayahnya mengalami kecelakaan tunggal hingga merenggut nyawanya.
Semesta selalu punya kejutan.
"Yang kuat yah, Ar." Ucap Bibinya dengan isak tangis, mencoba menenangkan nya yang hanya terdiam dengan tatapan kosong.
Pemakaman telah usai dilaksanakan pada pagi harinya. Namun, Arkan masih dengan diamnya. Ia hanya mengangguk merespon ucapan bela sungkawa dari orang-orang yang datang.
Arkana tidak menduga jika hari itu adalah hari terakhirnya menatap wajah teduh itu, terakhir kalinya untuk bisa mendengar tawanya, mendengar suara lembut nya, juga yang terakhir kalinya melihat Ayah dengan pisang goreng kesukaan nya.
"Maafkan Om, Ar." Bahkan saat Om Galang memeluknya dengan ungkapan maaf yang tidak ia ketahui alasannya. Ia tetap bergeming.
Juga Yana yang kini menepuk pundaknya seraya berucap lirih. "Yang sabar yah, kamu harus kuat, Ar. Biar Om Hamdan tenang disana. " Kata itu tidak cukup mampu membuatnya beranjak dari kursi panjang yang jadi tempat duduk favorit Ayahnya saat diteras belakang.
Ia hanya bisa beranjak saat matanya menangkap sosok wanita yang terlihat begitu rapuh dipelukan Tante Amy.
Bunda masih dengan isak tangisnya. Kelopak matanya sudah bengkak, namun air mata itu tiada hentinya mengalir membasahi wajah sayu itu.
Arkan mendekat, membuat Tante Amy melepaskan pelukannya. Disana lah ia bisa memandang wajah sendu itu. Membuatnya melebarkan tangannya demi memeluk Bundanya. Tangis Bunda pecah dalam rengkuhannya.
Anehnya, hal itu belum cukup mampu membuatnya menangis, Air matanya seakan raib tak bersisa. Arkan hanya bisa diam sembari mengelus punggung Bundanya.
Ucapan Ayah dulu saat ia masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama melintas dikepalanya, membuat air mata itu semakin kosong.
"Kalau Ayah tidak ada dirumah. Arkana lah yang harus melindungi Bunda. Janji dengan Ayah. Oke!" Tautan jari kelingking itu sekarang menjadi nyata.
Seharusnya ia tidak pernah menyanggupi janji itu agar Ayahnya tidak pergi.
Lambat laut orang-orang mulai pulang, hanya bersisa karib dan kerabatnya. Bunda sudah mulai baikan ditemani Tante Amy dan juga saudara Bunda. Om Galang juga ke teras depan mengantar tamu usai tahlilan itu selesai.
Sementara Arkan kembali duduk dikursi panjang diteras belakang. Ia seolah bisa melihat Ayah nya diseberangnya. Namun, lamunannya terinterupsi oleh kehadiran seorang gadis berambut pendek yang kini mendudukan dirinya di kursi panjang tempat Ayah biasanya.
Ia mengerutkan keningnya, menyadari siapa gadis itu. Yang Kini meletakan sekaleng kopi instan didepannnya.
"Ngga cape, apa? Cuma diam gitu terus." Tanyanya dengan wajah datar.
Arkan hanya melengos, tahu apa memangnya gadis yang baru menduduki kursi sekolah menengah pertama itu?.
"Sekarang cuma kita berdua disini. Kaka boleh nangis." Lanjut gadis itu lagi.
"Aku ngga boleh nangis, Kim." Jawabnya pada Kimi, putri kedua Om Galang. Ia sekarang tidak terlalu dekat dengan gadis itu, karena selama kunjungannya bersama Ayah ke kediaman Om Galang. Gadis itu selalu menyembunyikan dirinya didalam dikamarnya. Membuat pertemuan mereka terbatas dan hanya bisa bersua lebih lama, saat-saat acara penting saja.
Jadi saat kali ini, gadis itu mau duduk dan bicara langsung dengannya. Cukup membuatnya tertegun.
"Kata siapa ngga boleh?"
"Aku anak lelaki sendiri, Kimi. Aku harus kuat untuk Bunda." Ucapnya.
Gadis itu diam, meski matanya menyiratkan ketidaksetujuan. Kimi membuka kaleng kopi instan tadi dan menyerahkan padanya.
Arkan mengambilnya dengan malas dan mulai meneguknya. Rasa kopi yang kuat yang perpaduan dengan krim yang manis dan creamy itu membasahi tenggorokan nya yang terasa kering.
Kimi Azahra. Disaat orang-orang meminta Arkan untuk kuat, gadis itu justru merintahnya untuk menangis. Disaat yang lainnya hanya menyuruhnya untuk tetap makan dan minum. Kimi justru yang membawakan sekaleng kopi instan untuknya.
"Kaka ngga harus selalu kuat, karena Kaka juga berhak untuk rehat. Berhak juga untuk mengutarakan isi hati. Dan menangis ngga akan, buat Kaka kelihatan lemah." Lanjut gadis itu.
Arkan menatap Kimi, dan ia temukan tatapan menguatkan dari gadis itu yang tidak ia dapati dari yang lainnya, yang hanya menatapnya dengan sorot mata prihatin. Membuat hati Arkan terenyuh. Hingga tanpa sadar sebulir air bening itu akhirnya jatuh melewati pipinya.
Kimi benar, Arkan berhak untuk mengutarakan rasa sakitnya. Ia tidak bisa selalu terlihat kuat, ia perlu rehat meski sejenak.