Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Bab 12. Air Mata di Balik Gudeg
Gudeg yang dipesan dengan segala cara akhirnya tiba di kediaman megah Leon di Jakarta. Eric sendiri yang membawanya ke penthouse itu, masih heran kenapa bosnya bisa sampai segitunya hanya untuk semangkuk gudeg.
“Ini, Bos. Gudeg pesananmu, berhasil didatangkan langsung dari Yogya. Masih anget. Dikirim langsung pakai jet pribadi. Puas?” ucap Eric sambil meletakkan boks makanan yang dibungkus rapi di atas meja makan.
Leon menatapnya dengan antusias, seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan favoritnya. Ia langsung duduk dan membuka boks tersebut perlahan, aroma manis gurih khas gudeg langsung menyeruak memenuhi ruangan.
Begitu suapan pertama menyentuh lidahnya, Leon memejamkan mata. Suara lirih lolos dari bibirnya. “Ini dia … rasa ini .…”
Eric yang semula hanya menatap dari jauh mulai curiga melihat ekspresi aneh di wajah Leon.
Leon mengunyah pelan, seperti ingin mengabadikan setiap rasa. Lalu tanpa peringatan, air matanya menetes. Ia terdiam, membiarkan setetes air mata jatuh ke piring gudegnya.
“Leon?” Eric melangkah maju, benar-benar bingung. “Serius kamu nangis karena gudeg?” ucap Eric nyaris tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang ia saksikannya malam ini. Leonardo Xavier Reynaldi–seorang laki-laki arogan dan dingin, bisa meneteskan air mata hanya karena semangkuk gudeg?
Leon tertawa kecil, tetapi suaranya bergetar. “Kamu nggak ngerti, Ric. Rasa ini … entah kenapa, terasa begitu dekat. Hangat. Mengingatkanku pada sesuatu yang ... hilang.”
Eric menyipitkan mata, lalu duduk di seberang meja sambil menatap Leon tajam.
“Jangan-jangan kamu bukan ngidam makanan, tapi ngidam orangnya?” ejek Eric.
Leon tidak menjawab. Ia hanya mengambil suapan berikutnya, kali ini lebih pelan, lebih hening. Hanya napasnya yang terdengar berat.
Eric bersedekap. “Aku makin yakin, ini pasti ada hubungannya sama cewek misterius yang kamu suruh aku cari. Cewek yang tiba-tiba ilang gitu aja setelah mengungkapkan kehamilannya."
Leon menatap gudeg itu sekali lagi. Kali ini bukan hanya karena rasa lapar atau ngidam semata, tapi ada gejolak rindu yang mendalam, yang bahkan tak ia sadari sebelumnya.
“Aku harus ketemu dia, Ric. Apapun caranya.”
Eric mengangguk pelan, lalu menatap Leon dengan sedikit cemas. “Kamu tau nggak, Leon ... kadang hal sepele kayak makanan bisa jadi petunjuk takdir.”
Leon menoleh ke arah Eric.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa—mungkin memang bukan kebetulan kalau rasa gudeg ini begitu familiar. Mungkin, jejak Sharon memang sudah mulai mendekat, meski secara tak kasat mata. Meskipun ia tak tahu di mana Sharon kini berada, ia tahu, ikatan takdir itu ada. Dan sekuat tenaga ia berusaha untuk menemukannya, bila memang belum waktunya, mereka takkan mungkin dipertemukan. Namun, bila waktunya tiba dan akhirnya mereka kembali dipertemukan, Leon berjanji akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya.
---
Siang itu, suasana kantor LXR Holdings seperti biasa, sibuk, profesional, dan penuh tekanan. Para staf berlalu-lalang membawa dokumen dan laptop, namun semuanya terhenti sejenak saat seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan langkah pasti.
Meylania Reynaldi.
Ibunda Leon. Sosialita kelas atas, pemilik beberapa galeri seni dan salah satu perempuan paling berpengaruh di Jakarta. Gayanya tetap anggun, mengenakan blus sutra berwarna perak dan rok pensil hitam yang elegan. Wajahnya dipulas tipis, tapi sorotan matanya tak bisa disembunyikan—tajam dan penuh maksud.
Sekretaris Leon berdiri tergagap. “Ma—Maaf, Bu. Tuan Leon sedang rapat—”
“Panggilkan dia,” potong Meylania datar. “Atau saya akan masuk sendiri.”
Tak sampai lima menit kemudian, Leon membuka pintu ruangannya, berdiri dengan jas abu-abu gelap dan dasi longgar.
“Ma, ada apa datang tiba-tiba?”
Meylania tersenyum kecil. “Apa Mama tidak boleh mengunjungi anak Mama sendiri?”
Leon menyipitkan mata. “Kita berdua tahu Mama tidak pernah datang tanpa tujuan.”
Mereka masuk ke ruangannya. Leon duduk di belakang meja besar kayu mahoni. Meylania memilih duduk di kursi tamu, menyilangkan kaki dengan anggun.
“Mama ingin kau datang malam ini ke restoran La Vie en Rose,” ucap Meylania tenang. “Ada makan malam keluarga kecil. Mama ingin kau hadir.”
Leon mengernyit. “Dan siapa yang akan hadir?”
“Metha. Dan keluarganya.”
“Metha?” Leon memutar kursinya, menatap jendela tinggi yang menghadap gedung-gedung Jakarta. “Mama masih belum menyerah dengan urusan perjodohan itu?”
Sebelumnya, Leon pernah menemui mamanya untuk menghentikan rencana perjodohan tersebut. Leon mengatakan kalau ia tidak berminat sama sekali. Ia pun tidak sengaja mengiyakan karena saat itu ia sedang banyak pikiran.
“Leon, Metha adalah gadis yang baik. Keluarganya terpandang. Ia berpendidikan, cantik, punya prinsip—”
“Dan bukan tipeku,” potong Leon dingin.
Meylania menarik napas dalam. “Ini bukan soal ‘tipe’. Ini soal masa depanmu. Kamu sudah tiga puluh dua tahun, Leon. Sampai kapan Mama harus melihatmu berganti pasangan seperti berganti dasi?”
Leon tidak langsung menjawab.
Dalam hatinya, bayangan Sharon kembali muncul. Bukan Metha yang memenuhi pikirannya belakangan ini. Bukan wanita manapun yang dikenalkan ibunya selama bertahun-tahun terakhir. Hanya Sharon.
Dan kini, bahkan ketika ibunya berbicara panjang lebar, ia tak bisa menyingkirkan gambar hasil USG yang tersimpan di laci meja kerjanya.
“Mama, aku tidak tertarik menikah dengan orang yang bahkan belum pernah aku ajak bicara lebih dari sepuluh menit.”
“Kamu belum pernah mencoba mengenalnya,” sanggah Meylania. “Dan Mama sudah membuat janji dengan keluarganya. Leon, jangan membuat Mama kehilangan muka.”
Leon menghela napas panjang.
Meylania memperhatikan wajah anaknya dengan tatapan penuh perhitungan. “Kalau kau ingin bebas memilih hidupmu, setidaknya buktikan dulu bahwa kamu bisa membedakan nafsu dan komitmen. Metha bukan wanita yang mengejarmu karena uang atau kekuasaan. Dia punya masa depan. Dan dia pantas diberi kesempatan.”
Leon bangkit dari kursinya, menyandarkan tangan ke meja.
“Mama tau aku tidak suka dipaksa.”
“Tapi kali ini, Mama memaksa.”
Keheningan merambat di antara mereka.
Akhirnya, Leon mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi hanya makan malam. Dan setelah itu, Mama tidak akan menyuruhku ikut acara macam ini lagi ... setidaknya untuk tahun ini.”
Meylania tersenyum puas. “Kesepakatan yang adil.”
Saat ia bangkit dan hendak pergi, Leon menambahkan, “Satu hal lagi. Jangan harap aku akan pura-pura jatuh cinta di depan mereka.”
Meylania berhenti sejenak, lalu menoleh dengan angkuh. “Kau tidak perlu pura-pura. Metha bisa membuat pria mana pun jatuh cinta dengan sendirinya," ucap Meylania penuh keyakinan. Ia pikir, laki-laki bodoh mana yang mampu menolak pesona seorang Metha Adi Prawira.
Leon tidak menjawab. Ia hanya memandangi punggung ibunya yang menjauh, sebelum kembali menatap jendela.
Dan dalam diam, ia berbisik, “Tapi sayangnya aku sudah jatuh cinta dengan seseorang yang bahkan tidak ingin aku menemukannya.”
Bersambung
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho