Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Pilu Anna
Riuh suasana kantin menemani makan siang sekaligus makan malam Anna. Meski tubuhnya berada di kantin, namun pikirannya seakan tersangkut kepada dua orang tadi.
Harga diri Anna terluka. Kemarin dia menangis dan sempat merajuk ke neneknya karena pria tua itu. Tapi hari ini orang itu seperti tidak mengenalnya sama sekali.
Ah... mungkin saja, orang itu belum kenal wajah Lo Anna! Kan cuma ketemu bentar doang! bathin Anna. Anna pun menyuap makanan se-sendok lagi dengan malas-malasan.
Tapi... masa iya, pria itu tidak ingat sama sekali! Kan udah ngaku-ngaku jadi kakeknya seseorang. Masa ga cari tau wajah cucunya sendiri!
Tiba-tiba Anna menggeleng. Tidak. Kenapa gue harus mikirin itu terus sih! Nenek lagi sakit, belum bangun sejak keluar kamar operasi. Kenapa Gue harus mikirin orang lain! Cuih!
Drrrrt. Drrrt.
Ponsel yang diletakkan Anna di atas meja makan bergetar.
Ampun! 7 panggilan tak terjawab!
Anna tidak sadar ponselnya sudah bergetar sejak tadi.
DEGH!
Jantung Anna berdebar kencang. Jika Tony sampai menelpon berkali-kali seperti ini, jangan-jangan ini kabar buruk.
Tidak.
"Ish! Kenapa sih Ton, giliran gue telpon balik ga diangkat!" Anna bicara sendiri saat teleponnya di-reject.
[Anna! gwt!]
Anna membaca pesan dari Tony.
Deg.
Deg.
Deg.
Jantung Anna memompa kencang. Ini pasti yang dikhawatirkan Anna. Tergesa, gadis itu berlari-lari kecil, menerobos lalu-lalang manusia yang masih ramai di basement rumah sakit itu.
Nenek. Bertahan lah! ucap Anna dalam hati saat memencet berulang kali tombol lift. Meski ia tahu, itu tidak berguna.
Ting.
Please, Nek!
Bertahanlah demi Anna!
Anna mulai terisak saat masuk ke dalam lift menuju ruang intensif. Ia berlari menuju pintu masuk CVCU di mana di depannya Tony tampak bercucuran keringat -cemas.
"TONY, ADA APA!" Anna tidak bisa menahan suaranya. Beberapa orang yang ada di lorong CVCU itu menatap Anna sebentar, lalu kembali kepada aktivitas masing-masing. Mungkin karena saking seringnya menghadapi keadaan seperti itu.
"Ne-nenek...." Tony tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Gue masuk!" Anna mendorong Tony yang berdiri di depan pintu.
"Jangan Anna! Kita tidak boleh masuk!"
"Ga peduli!" seru Anna dengan suara serak, menerobos masuk.
"Kak! Belum boleh masuk!"
Seorang petugas berlari menghentikan Anna.
"NE-NEK!!"
"Kak! Pasien lain akan terganggu. Mohon tunggu di luar. Kami sedang berusaha sebaik mungkin. Mohon kakak tunggu di luar atau kami panggil keamanan!" perawat yang sudah biasa menghadapi tingkah polah keluarga pasien terpaksa men-skak mat.
Lutut Anna terasa lemas, ia pun jatuh ke lantai sambil menyaksikan dari kejauhan... tempat tidur nenek nya dikelilingi banyak orang.
Laksana menyaksikan slow motion Anna yang dipapah keluar ruangan itu melihat dokter dan perawat menggunakan alat kejut jantung. Tubuh Nenek nya tampak terguncang ketika alat itu ditempelkan ke dada sang nenek.
Anna merasa penglihatannya buram dan telinganya berdenging.
Gelap.
Anna hilang kesadaran. Jatuh pingsan.
***
"Kamu sudah sadar?"
Suara Tony membuat pandangan Anna yang buram perlahan jernih kembali. Anna mengedarkan pandangan. Sekeliling.
"Ini di mana?"
Ubin putih
Dinding bercat putih.
Bau karbol menyengat.
Kenapa aku berada di pangkuan Tony?
"Ah!" Anna seperti ingat sesuatu. "Nenek! Gue harus melihat Nenek!" ucap Anna saat ingat nenek nya sedang dirawat. "Nenek lagi sakit sendiri di sana, kenapa gue malah tidur di sini!" Anna bangkit.
"Anna!! Sadarlah!" Tony meraih pergelangan tangan Anna, menyentak nya.
Gadis itu terdiam.
"Nenek sudah meninggal, Anna..."
Hening.
Kepala Anna kembali terasa berat. Kilasan-kilasan memori sebelum ia pingsan kembali muncul.
Tony menarik Anna ke pelukan nya.
Anna menggeleng.
Meraung.
Terguncang.
"Nee...neeek... hiks. Nenek belum mening... gal, Tooon!"
Tony mengusap punggung, Anna. Menenangkan gadis itu. "Nenek sudah tenang, Anna!"
"Tidak mau! Tidak boleh! Anna mau nenek! Nenek tidak boleh pergi... Huuuu...." Anna menangis seperti anak kecil.
Tony memapah Anna, menjauh, menuju balkon. Ia membiarkan gadis itu merosot dan bersandar pada dinding.
Anna memeluk lututnya. Terisak.
***
"Perasaanku ga enak, Mas!" ucap seorang wanita awal lima puluh tahun memegang sambil memijit sendiri pundaknya di depan kaca.
"Kamu kecape'an?" Suaminya yang duduk bersandar di atas tempat tidur mengalihkan pandangan dari tablet yang dipegangnya ke arah istrinya yang membelakangi nya duduk di meja rias. "Mau aku pijitin?"
"Bukan itu, Mas..." perempuan itu berbalik. "Akhir-akhir ini aku rasa ada sesuatu yang disembunyikan ayah."
"Huh!" Lelaki itu mendengus. "Kalau soal menyembunyikan sesuatu, bukan akhir-akhir ini saja, Saras," sambungnya. "Bukan nya dari dulu, kakek tua itu memang banyak menyembunyikan sesuatu!" nada suara lelaki itu makin tinggi.
"Tapi Mas Agus-"
"Lebih baik kamu khawatir sama Wirautama!" Sang suami memotong ucapan Saras. "Kamu tau? Ruang gerak ku makin dipersempit oleh pria itu. Apalagi beberapa proyek ku juga diserobot oleh William, putra dari sepupu mu itu. Harusnya kamu punya usaha lebih buat menyampaikan kepada Ayah mu, agar mempercayai menantunya sendiri daripada keponakan nya itu! Wirautama itu licik, Saras. Licik!"
Agus berdiri dari tempat tidur dan berlalu ke kamar mandi. Membicarakan tentang sikap ayah mertuanya, membuat lelaki itu mual. Ia merasa, menikahi Saras ternyata tidak membuat ia menjadi orang nomor satu di Wijaya Grup. Padahal ia sudah berupaya menyingkirkan satu-satunya putra Adi Wijaya, mertuanya.
"Saras...." Agus memijit pundak Saraswati Wijaya setelah keluar dari kamar mandi. "Saat ayah pulang nanti, kamu sampaikan pada ayah agar Mas diberi kepercayaan penuh mengurus bisnis properti. Bisnis itu yang paling besar keuntungan nya. Jangan biarkan William mengacau!"
"Maas...." Saras menatap suaminya pada pantulan kaca. "Aku itu cuma anak angkat. Sedangkan Mas Wira, meskipun hanya keponakan, punya hubungan darah sama ayah."
"Tidak bisa begitu, Saras!" Agus kembali emosi. "Meski anak angkat, kamu tetap putri Adi Wijaya. Tidak ada seorangpun yang bisa membantah itu. Bahkan dunia taunya kamu itu putri kandung Adi Wijaya." Seperti aku yang tertipu untuk menikahimu!
Saras terdiam. Ia merasa ucapan suaminya memang benar. Ia sudah dijadikan anak oleh Adi Wijaya sejak bayi. Bahkan statusnya di kartu keluarga adalah anak kandung. Meski perlakuan ayah angkatnya berubah akhir-akhir ini, namun tetap saja ia sudah dibesarkan selayaknya putri seorang Adi Wijaya. Pemilik Wijaya Grup.
"Baiklah Mas. Kamu benar. Aku akan mencari waktu untuk ngomong ke ayah."
"Nah... Gitu. Itu baru istriku yang cantik."
Cup. Agus mengecup pundak sang istri.
***
Matahari bersembunyi malu-malu di balik awan hitam, saat siang menuju sore itu Anna terduduk di depan gundukan tanah merah bertabur bunga di pemakaman pinggir Desa.
Bau mawar, kenanga dan pandan yang ditabur di atas kuburan sang nenek, memenuhi indra penciuman Anna.
Matanya terasa bengkak. Hidungnya terasa panas dan perih karena sering kali diseka dengan tisu.
"Anna! Mari kita pulang!" suara lembut Nimas membuat Anna mengalihkan pandangan ke arah asalnya suara.
Lesu. Anna mengangguk. Anna mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya dirinya dan Tony sekeluarga yang tertinggal di pekuburan itu. Tony beserta ayahnya tampak habis membersihkan kuburan anak kecil, tak jauh dari kuburan nenek-kakek serta ibunya Anna.
Arah pandangan Anna juga membuat Nimas tercekat. Itu adalah kuburan putrinya. Putrinya yang apabila masih hidup, pasti sudah sebesar dan secantik Anna.
Dan saat ini atau mungkin besok, Anna harus mengetahui semuanya. Hal-hal yang belum pernah diceritakan Badriah kepada Anna. Nimas bertekad.