Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...
Matahari sudah hampir terbenam, tapi Aurora malah asik berada di depan pagar rumah. Gadis itu berjongkok di depan dua anak kucing berwarna hitam dan putih. Dia mendengar mereka mengeong keras, sepertinya itu adalah kucing buangan. Jadilah Aurora merasa kasihan dan memberi kedua kucing tersebut makanan. Sekarang, keduanya sedang asik makan dengan lahap, membuat senyum Aurora terbit.
"Makan yang banyak, semuanya untuk kalian," ujarnya seolah kucing-kucing itu bisa mengerti ucapannya.
Bodyguard yang berjaga terus mengawasi nona mereka dengan wajah datar. Jika sang nona butuh bantuan, barulah mereka bergerak.
Hati Aurora yang dasarnya lembut membuat dirinya kasihan pada dua kucing tersebut. Badan mereka kotor, terlebih bagian mata dan hidung. Namun, mereka terlihat gemuk dengan bulu lebatnya, tidak kurus kering, sepertinya keturunan kucing ras.
Suara deru mobil membuat gadis itu mengangkat kepalanya. Dia memandang Skala yang baru menutup pintu mobil.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Skala. Ia melirik dua kucing yang sedang makan.
"Memberi makan mereka. Kasihan, aku tadi mendengarnya mengeong keras, jadi aku beri makan. Tidak apa-apa, kan?" Masih dengan berjongkok, dia mendongak menatap suaminya yang berdiri menjulang.
Skala mengamati dua kucing tersebut sebelum kembali menatap istrinya. "Bawa masuk."
"Bawa masuk ke mana?" tanya Aurora sembari menggaruk pipinya.
"Ke rumah. Ayo." Setelah itu, Skala kembali masuk ke mobil.
Aurora terbelalak. Dia menatap kedua kucing tersebut dengan berbinar, tanpa menunggu lama, ia segera menuruti perintah Skala. Namun, gadis itu tidak ikut masuk ke mobil, melainkan langsung berlari ke arah rumah.
Skala berdecak, padahal dia sudah menunggu Aurora untuk masuk ke dalam mobil.
"Gadis itu benar-benar," gumamnya lalu menjalankan mobil menuju garasi.
"Apa ini Aurora?!" pekik Evanda.
Aurora menatap takut pada ibu mertuanya. Dia semakin memeluk kedua kucing tersebut.
"Mommy..."
"Kenapa kamu bawa masuk kucing gelandangan ini?! Rumah ini akan kotor nanti!"
"Maaf, Mommy ... Rora—"
"Aku yang menyuruhnya," celetuk Skala.
Tatapan Evanda semakin menajam. "Tidak bisa! Mommy tidak setuju!"
Mata Aurora berkaca-kaca melihat kucing yang ada di dalam dekapannya. "Kalau begitu, boleh aku membuat rumah-rumahan untuk mereka di dekat pos satpam?" Ia mendongak menatap Evanda dengan mata berkaca-kaca.
"Terserah! Asal jangan bawa mereka masuk ke dalam!" Setelah mengatakan itu, Evanda langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
Aurora memandang Skala yang masih menatapnya.
"Titipkan mereka di pos satpam," ujar Skala.
Aurora mengangguk pelan. Dia melangkah menuju pos satpam dan meletakkan kucing tersebut di sana. Dia juga memberi mereka makanan dan minum agar tidak kelaparan lagi.
"Om, tolong jaga kucing-kucing ini, ya?" ujarnya pada si satpam.
"Baik, Nona."
Meski tidak diperbolehkan masuk ke rumah, Aurora tetap senang karena bisa melihat kucing-kucing itu lagi. Dia teringat macan kumbang milik Skala, ukuran tubuh mereka sangatlah jauh. Bagaimana kalau ia pertemukan dua jenis kucing tersebut? Apakah si mungil akan dimakan oleh macan kumbang itu?
"Aurora."
Aurora menoleh ke arah Skala yang menunggunya di teras. Gadis itu buru-buru keluar dari pos satpam dan menghampiri suaminya.
"Sudah?" tanya Skala.
Aurora mengangguk. Dia mengusap hidungnya yang sedikit gatal, lalu mendongak menatap Skala.
"Skala, boleh aku belikan mereka makanan dan obat?"
Tanpa ragu Skala mengangguk. "Nanti aku akan menyuruh salah satu penjaga untuk membelikannya. Sekarang mandilah, karena sebentar lagi makan malam tiba."
Aurora mengangguk patuh. Mereka berjalan berdampingan menuju kamar.
Tanpa mereka sadari, Evanda melihat interaksi keduanya. Hanya interaksi biasa, tapi di mata Evanda, itu tetap tidak biasa.
"Semakin lancang," desisnya.
****
"Skala."
Skala menghentikan langkahnya yang hendak masuk mobil. Dia menoleh ke arah Evelyn.
"Bisa bicara sebentar?" Langkah Evelyn semakin dekat.
"Tidak. Aku sibuk." Skala membuka pintu mobil, namun tangan Evelyn langsung mencegahnya.
"Skala, kamu tidak rindu dengan kebersamaan kita? Kita bisa saja seperti dulu, aku bisa menerima status mu sekarang." Ucapan itu meluncur tanpa ragu dari bibir Evelyn.
Skala terdiam dengan rahang mengeras. "Jangan mengganggu ku," tekannya.
"Aku tidak akan mengganggumu kalau kamu mau kembali padaku. Bagaimana?" Evelyn memasang wajah menyesal. "Aku menyesal, harusnya aku tidak pergi ke luar negeri di saat kita masih bersama. Dan sekarang ... izinkan aku untuk menebus semuanya. Aku yakin, kamu pasti mau kembali padaku, kan?"
Skala menepis tangan Evelyn yang memegang tangannya. Tidak kencang, tapi cukup membuat Evelyn terkejut.
"Jaga batasan mu, Evelyn. Kita sudah selesai. Jangan ganggu aku, mengerti?" tekan Skala. Matanya menatap tajam ke arah perempuan itu.
"Skala, aku—"
Brak
Skala masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan Evelyn yang menggedor-gedor pintu mobilnya.
Aurora terdiam menatap keduanya dari teras. Seperti baik Skala maupun Evelyn tidak ada yang menyadarinya.
"Astaga, Evelyn!" Evanda berjalan cepat untuk menghampiri Evelyn, bahkan matanya sama sekali tidak melirik Aurora.
"Skala, dengarkan aku dulu!"
Evanda segera memeluk Evelyn agar berhenti mengejar mobil Skala. Sedangkan Skala sendiri, memang tidak peduli dengan perempuan itu.
"Jangan seperti ini, Sayang," ujar Evanda.
"Mommy, Skala tidak peduli denganku lagi." Evelyn terisak kecil.
"Masih ada kesempatan lain. Kamu jangan seperti ini, nanti Skala semakin risih, pelan-pelan saja, ya?" Evanda mengelus punggung Evelyn dengan lembut.
Tak kuasa melihat pemandangan di depannya, Aurora pun memilih kembali masuk ke dalam.
Lebih baik dia menghabiskan waktu dengan melukis daripada memikirkan hal yang membuatnya sakit hati.
"Rora..."
"Nenek?" Aurora tersenyum. Dia tidak jadi menaiki tangga dan memilih menghampiri Nenek Aster.
"Hari ini Nenek ingin berobat, kamu baik-baik di rumah. Kalau Evanda menyakitimu, bilang pada Nenek, ya?" Tangan Nenek Aster mengelus kepala Aurora.
"Baiklah! Hati-hati, Nek," ujar Aurora dengan senyum manisnya. Dia menatap Binar yang setia berada di belakang Nenek Aster untuk mendorong kursi rodanya.
"Bibi Binar juga hati-hati, ya?"
Binar mengangguk sambil tersenyum. "Iya."
Aurora beranjak dari jongkok nya dan membiarkan Binar mendorong kursi roda yang diduduki nenek.
"Aurora."
Gadis itu menoleh pada Evanda yang masuk bersama Evelyn. "Iya, Mom?" Ia mencoba tersenyum meski canggung.
"Buatkan jus buah untuk kami berdua. Kata Skala, jus buatanmu enak, bolehkah aku mencobanya?"
Aurora langsung mengangguk. "Boleh! Sebentar, Rora buatkan!" Gadis itu langsung menuju dapur.
"Mom, aku juga bisa membuat jus," ucap Evelyn, dia cemberut. Kenapa harus Aurora? Kan dia juga bisa.
"Sssttt, itu alasan Mommy supaya dia mau disuruh. Dia akan patuh kalau dipuji," ujar Evanda.
Evelyn tertawa kecil. "Ah, aku pikir Mommy mulai menyukainya."
Kedua perempuan itu tertawa puas akibat berhasil membuat Aurora mau diperintah.
"Ayo kita ke kolam renang, matahari pagi sehat untuk kulit."
Sedangkan Aurora sibuk berkutat dengan blender di hadapannya. Beberapa kali pelayan mengajukan diri untuk membantu, semuanya Aurora tolak, karena ini adalah jus sepesial untuk ibu mertuanya.
"Biar saya yang mencuci alat kotor nya, Nona," celetuk pelayan saat Aurora hendak menyalakan keran wastafel.
"Baiklah. Terimakasih," ujar Aurora, setelahnya dia langsung mencari keberadaan mertuanya sambil membawa nampan.
"Aurora, di sini!"
Aurora berbalik menatap area kolam renang, dia tersenyum dan segera menuju ke sana.
"Wahhh, terlihat segar," puji Evanda membuat Aurora tersenyum malu.
"Semoga kalian suka. Kalau begitu aku permisi," ujar gadis itu. Dia memeluk nampan dan berbalik.
Namun kakinya tak sengaja tersandung sesuatu, hingga...
Byur!
bersambung...
lanjuuuut