Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Ina... selamat tinggal mama, aku akan membalas kematian mu.
Hujan mengguyur pemakaman itu dengan derasnya. Tetesan air membasahi tanah yang sudah lembek, membentuk genangan-genangan kecil di antara batu nisan. Angin bertiup kencang, menerbangkan daun-daun kering dan membawa aroma tanah basah yang menyengat hidung. Reina, tubuhnya basah kuyup, terus berjalan dengan langkah gontai, matanya memerah dan bengkak, wajahnya pucat pasi. Bunga mawar merah yang masih ia genggam erat kini layu dan basah, kelopak-kelopaknya mulai berguguran, menyerupai harapannya yang juga mulai sirna. Isak tangisnya memecah kesunyian pemakaman, suaranya terputus-putus di antara rintik hujan yang semakin lebat.
"Mama... hikss... Mama..." gumamnya, suara parau seakan tertelan oleh deru hujan. Setiap langkahnya terasa berat, kakinya seperti terbebani oleh beban yang tak terkira. Ia terus berjalan, mencari, mata nya yang sembab itu mencari, seperti seseorang yang hilang arah dalam labirin duka. Hujan semakin deras, membasahi pakaiannya hingga tembus ke kulit, merasuk ke tulang-tulangnya yang dingin.
Tubuhnya menggigil hebat, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena hantaman emosi yang bergelombang di dalam dirinya. Kesedihan, penyesalan, dan keputusasaan bercampur baur, menciptakan badai emosi yang dahsyat di dalam hatinya. Setiap hembusan angin terasa seperti tamparan, mengingatkannya pada kenyataan pahit yang harus ia terima.
Tiba-tiba, kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang yang cukup dalam. Tubuhnya terhuyung, jatuh terduduk ke tanah yang basah dan berlumpur. Reina merintih kesakitan, tangannya mencengkram tanah yang dingin dan basah, jari-jarinya menggali tanah itu dengan putus asa. Air mata bercampur dengan lumpur, membasahi wajahnya yang sudah tak karuan. Ia mencoba berdiri, namun tubuhnya terasa lemas, tak berdaya.
"Mama..." suaranya nyaris tak terdengar di tengah deru hujan. Ia menatap ke depan, pandangannya buram karena air mata yang terus mengalir. Di depannya, di antara batu nisan yang berdiri tegak, terlihat sebuah batu nisan yang sederhana. Ukiran di atasnya terlihat samar-samar, namun ia bisa membacanya:
Hasane Ina
12 Desember 2024
Seketika itu juga, tangis Reina pecah. Tangis yang selama ini ia tahan dengan susah payah kini meledak tak terkendali. Tubuhnya terguncang hebat, isak tangisnya menggema di tengah guyuran hujan lebat. Ia merangkak, tanpa memperdulikan lumpur dan air hujan yang membasahi tubuhnya. Ia merangkak menuju batu nisan itu, semakin dekat ke tempat peristirahatan terakhir ibunya.
"Mama... kenapa... kenapa kamu meninggalkan aku...?" racau Reina, suaranya tersedak oleh isak tangis yang tak tertahankan. "Mama... maafkan... maafkan aku..." Ia memeluk batu nisan itu erat-erat, menempelkan wajahnya yang basah kuyup ke permukaan yang dingin dan lembab. Tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa besarnya kesedihan yang tengah ia rasakan.
Rambutnya yang basah dan berantakan menutupi sebagian wajahnya, menambah kesan pilu pada sosoknya yang ringkih dan lemah. Ia terisak semakin keras, tangisnya yang begitu pilu seakan ingin mencurahkan seluruh duka dan penyesalan yang terpendam dalam hatinya. Tubuhnya terhuyung-huyung, seperti pohon yang diterjang badai, lemas dan tak berdaya. Ia merasakan kepedihan yang amat sangat, kehilangan yang begitu mendalam, dan kesedihan yang tak terperi.
Di tengah guyuran hujan yang tak kunjung reda, Reina memeluk erat batu nisan ibunya. Di sana, di bawah guyuran hujan lebat, di antara batu-batu nisan yang berdiri tegak, ia merasakan kehangatan yang datang dari sebuah kenangan, kenangan tentang ibunya yang telah tiada. Kenangan itu begitu nyata, begitu hidup, seakan-akan ibunya masih ada di sisinya, memeluknya dengan penuh kasih sayang.
Namun, kenangan itu juga menyakitkan, mengingatkannya pada kenyataan pahit bahwa ibunya telah pergi untuk selamanya. Reina tetap memeluk batu nisan itu, menahan tangisnya yang tak kunjung berhenti, menyesali segala sesuatu yang belum sempat ia lakukan untuk ibunya.
Hujan masih terus turun. Langit masih gelap. Pemakaman masih sunyi. Hanya ada Reina, seorang gadis yang berduka, memeluk erat batu nisan ibunya, di tengah badai duka yang tak kunjung reda. Aroma tanah basah dan bunga mawar yang sudah layu bercampur menjadi satu, menciptakan aroma yang begitu menyayat hati. Aroma duka yang mendalam, yang akan selalu terukir dalam ingatannya. Dalam kesunyian pemakaman itu, Reina menemukan kedamaian di tengah kepedihannya yang amat sangat. Ia telah menemukan makam ibunya dan menumpahkan segala kesedihan dan penyesalannya di hadapan pusara sang ibu. Ia akan selalu mengingat ibunya, dan ia akan selalu menjaga kenangan tentang ibunya di dalam hatinya.
Hujan masih membasahi pemakaman, rintiknya seperti isak tangis yang tak pernah berhenti. Reina tetap memeluk erat batu nisan ibunya, tubuhnya gemetar hebat. Rambutnya yang basah melekat di pipinya, menutupi sebagian wajahnya yang pucat pasi. Tangisnya masih menggema di antara batu nisan, suaranya terputus-putus, campuran antara kesedihan yang mendalam dan penyesalan yang amat sangat.
"Mama... jangan..." lirihnya, suara serak seakan tercekik oleh rasa sesak di dadanya. Tangannya terangkat, mengusap pelan permukaan batu nisan yang dingin dan basah. Gerakannya lembut, penuh kasih sayang, namun juga gemetar karena menahan tangis yang hampir meledak kembali.
"Mama... aku tidak sempat melihatmu yang terakhir kali... aku... tak sempat memandikan jenazahmu..." suaranya terisak, tiap kata keluar dengan susah payah. "Aku juga... juga tidak berkata terima kasih karena telah mendidikku dari kecil sampai sekarang..." Tangisnya kembali pecah, tubuhnya terhuyung-huyung, menunjukkan betapa rapuhnya ia di tengah badai duka ini.
Ia kembali memeluk erat batu nisan itu, menempelkan wajahnya ke permukaan batu yang dingin. "Mama... jangan cari aku di surga ya... aku... sebenarnya belum mati..." bisiknya, suara hampir tak terdengar di tengah derasnya hujan. "Jangan ya... mungkin di atas sana... Mama sudah tahu bahwa aku masih hidup dan melihatku menangis di depan makammu..."
Tiba-tiba, suara-suara memanggilnya dari belakang. "Reina!!" teriakan Alice, disusul Alisiya, Jimmy, dan Mike terdengar nyaring di antara deru hujan. Namun, Reina tetap tak bergeming, ia masih memeluk erat makam ibunya, seakan-akan dunia di sekitarnya telah lenyap, hanya ada ia dan ibunya.
Alice dan Alisiya berlari mendekat, mereka memeluk Reina erat-erat. "Ada apa, Reina? Kenapa...?" tanya Alice dengan suara khawatir, dada Reina berdebar di dada Alice, ia dapat merasakan getaran tubuh Reina akibat tangisan yang masih tersisa. Reina menggeleng, kepalanya tertunduk di dada Alice. "Tidak... Mamaku..." jawabnya lirih, suara teredam oleh tangisan yang masih membasahi tenggorokannya.
Alisiya yang memeluk Reina melepaskan pelukannya, pandangannya tertuju pada batu nisan ibunya Reina. Ekspresinya berubah, dari khawatir menjadi tak percaya, kemudian menjadi simpati yang mendalam. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan, kata-kata seakan macet di tenggorokannya.
Helena, dengan langkah tenang namun pasti, mendekat ke arah makam. Ia mengeluarkan jam tangan canggihnya, layar hologramnya menyala, menampilkan antarmuka yang rumit. Dengan sentuhan ringan, Helena mengaktifkan fitur penglacak di jam tangannya, perangkat itu memancarkan sinar berwarna biru muda yang menembus tanah, menembus peti mati. Layarnya menampilkan gambar tiga dimensi dari dalam peti mati. Di sana, terbaring jasad ibunya Reina, dengan tenang dan damai.
Helena menunduk, pandangannya tertuju pada Reina yang masih terisak dalam pelukan Alice. Ekspresinya menjadi berat, campuran antara simpati, sedih, dan kepasrahan. Ia tahu, tak ada kata-kata yang mampu meringankan kesedihan Reina saat ini. Hujan terus turun, membasahi mereka semua, menciptakan suasana yang semakin pilu dan mengharukan. Keheningan menyelimuti mereka, hanya diiringi oleh suara hujan yang terus membasahi tanah dan isak tangis Reina yang perlahan mulai mereda, digantikan oleh kesunyian yang pekat dan menyayat hati. Semua orang terdiam, menyaksikan kesedihan Reina yang begitu dalam, merasakan duka yang juga menyelimuti mereka. Mereka berdiri di sana, di tengah hujan, memberikan dukungan diam-diam kepada Reina, menghargai duka yang sedang dirasakannya.
Hujan mulai mereda, meninggalkan udara yang dingin dan basah. Langit masih mendung, menciptakan suasana yang suram namun tenang. Reina, Alice, Alisiya, Mike, Jimmy, dan Helena berdiri di depan makam Hasane Ina. Helena, dengan sigap, memayungi Reina yang masih basah kuyup, tubuh Reina bersandar lemas di bahu Helena. Kepala Reina tertunduk, rambutnya yang basah melekat di pipinya, menutupi sebagian wajahnya yang masih tampak pucat dan lelah.
Mike dan Jimmy mendekat, mereka berjongkok di depan makam, menatap batu nisan dengan pandangan yang hormat. Mike, dengan tatapan yang serius, berbicara dengan suara lembut, suaranya sedikit bergetar karena terharu.
"Salam, Bibi... Aku Mike Wilson, rekan agen Reina... Maaf karena tak sempat menyelesaikan misi kami dan membantu Reina kembali bersama kalian semua..." suaranya terhenti sejenak, ia menunduk, menunjukkan rasa penyesalan yang mendalam. Ia mengusap permukaan batu nisan dengan lembut, gerakannya hati-hati, penuh penghormatan.
Jimmy, dengan kepala botaknya yang basah kuyup, mengucapkan salam dengan suara yang berat namun penuh kesungguhan. Air hujan masih terus mengalir di wajahnya, mencampur dengan air mata yang mungkin tak terlihat oleh orang lain.
"Salam juga... Bibi. Aku Jimmy Hopkins dari Rusia... Senang melihat Anda, walaupun sekarang hanya sebuah batu nisan... Tenang di alam sana... Bibi, dan jangan khawatir, kami semua akan melindungi Reina..." suaranya sedikit bergetar, menunjukkan kesedihan yang terpendam. Ia menunduk, menatap batu nisan dengan tatapan yang penuh hormat dan kasih sayang.
Alisiya dan Alice berjalan mendekat, mereka juga berjongkok di depan makam. Alice, dengan rambut hitam panjangnya yang terurai, mengusap permukaan batu nisan dengan lembut. Ekspresinya tampak sedih, namun ada juga sedikit senyum yang berusaha ia perlihatkan untuk menghibur suasana.
"Bibi... namaku Alice Neviza, aku juga rekan Reina dari Rusia..." suaranya lembut, penuh empati. "Bibi pasti memiliki wajah yang cantik seperti Reina. Mungkin aku tidak bisa berkata-kata apa pun untuk menahan duka Reina... tapi tenang saja, Bibi! Reina kuat kok... Dia bisa menghadapi kejamnya dunia yang telah menghadapinya..." Ia tersenyum, sebuah senyum yang tulus dan penuh dukungan.
Alisiya, dengan rambut pelanginya yang panjang diikat rapi, berbicara dengan suara yang sedikit bergetar. Ekspresinya bercampur aduk, antara sedih, hormat, dan syukur.
"Bibi... namaku Alisiya, aku tak memiliki nama keluarga, karena semua keluargaku telah dibunuh..." suaranya sedikit terbata-bata, menunjukkan kesedihan masa lalunya. "Namun, apakah kamu tahu, Bibi? Reina itu sangat baik. Awalnya, saat aku bertemu dengan Reina di Moskow, aku hampir membunuhnya karena aku menganggap Reina mengarang-ngarang tentang sahabatku, Andras... Namun, nyatanya, ia menghadapi aku sambil menyadariku, suaranya lembut, tatapannya menyentuh, semua kebaikan melekat di jiwa Reina... Bibi... terima kasih telah mendidik Reina sampai membuat Reina menjadi wanita yang tangguh... Aku berjanji... aku akan selalu menjaga Reina seperti dulu waktu aku melindungi Andras..." Air matanya mulai mengalir, menunjukkan betapa tulusnya ia mengagumi dan menyayangi Reina.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya diiringi oleh suara angin yang berhembus lembut dan rintik hujan yang masih sesekali jatuh. Mereka semua berdiam diri sejenak, mengheningkan cipta untuk almarhumah Hasane Ina, menghargai jasa-jasanya, dan memberikan dukungan kepada Reina yang tengah berduka. Suasana pemakaman yang tadinya dipenuhi dengan kesedihan mendalam, kini terasa sedikit lebih tenang, dipenuhi oleh rasa hormat, simpati, dan kasih sayang. Mereka semua berdiri di sana, bersatu dalam duka dan dukungan, menjaga Reina di tengah kehilangan yang begitu besar.
Hujan telah berhenti sepenuhnya, meninggalkan udara yang dingin dan bersih. Matahari mulai muncul dari balik awan, menciptakan cahaya redup yang menerangi pemakaman. Helena membantu Reina berdiri, menyangga tubuhnya yang masih lemas. Langkah Reina masih gontai, tubuhnya masih gemetar, namun ada sedikit tekad yang mulai terlihat di matanya. Helena membimbing Reina menuju batu nisan ibunya, mereka berdua berjongkok di depan makam.
Helena, dengan mata silvernya yang tajam dan rambut coklat tua pendeknya yang terikat rapi, mengatur kacamatanya yang bulat. Ia menunduk, mencabut rumput liar yang tumbuh di sekitar batu nisan dengan gerakan yang lembut namun pasti. Ekspresinya serius, penuh hormat dan kesedihan.
"Salam hormat dariku... Hasane Ina... Namaku Zhivago Helena... Aku adalah penasehat Reina... supaya misi yang dijalankan Reina berjalan lancar tanpa ada sebuah hambatan," suara Helena tenang, namun penuh dengan kesungguhan. Ia menatap batu nisan dengan pandangan yang dalam dan penuh arti. "Bibi... memang kenyataannya, anakmu masih hidup... Dan anakmu sekarang berada di sisiku, tak berdaya dengan kematian seorang ibu yang sangat dicintainya, keluarga satu-satunya Reina...." Ia berhenti sejenak, menatap Reina dengan ekspresi yang penuh empati.
"Dan pastinya, dunia kalian berdua sangat berbeda... Aku tahu itu... Aku akan selalu mendoakanmu dan rekannku, dan membantu Reina kembali bersama sahabat-sahabatnya... Tak usah berterima kasih... karena dunia dengan sengaja memberikan sosok yang tangguh, kuat, dan sangat menginspirasi kita yaitu anakmu sendiri, Hasane Reina... Akan kami pastikan darah di dalam tubuhku akan suka rela melindungi Reina... Dan menyelamatkan kebahagiaannya yang terakhir, yaitu berkumpul dengan Kei dan yang lainnya... Tenang di alam sana, Hasane Ina..." Helena menyelesaikan kalimatnya dengan suara yang sedikit bergetar, menunjukkan betapa tulusnya ia menghormati dan menyayangi almarhumah.
Reina menatap makam ibunya, air mata kembali mengalir di pipinya. Ia mengusap permukaan batu nisan dengan lembut, jari-jari nya terasa dingin, mengenang sentuhan terakhirnya dengan sang ibu.
"Mama... aku janji akan menyelesaikan misi ini supaya Kei dan yang lainnya tidak diburu oleh Papa dan Alexander," suara Reina terdengar parau, namun tegas. "Dan... selamat tinggal, Mama... Aku akan membalas kematianmu... Dengan membunuh Papa dan Alexander... Tenang ya, dan berkumpullah bersama Mama dan Papa Andras, Mama Lynn, dan juga semua keluarga Alisiya yang telah dibunuh oleh Alexander..." Ia menunduk, menunjukkan tekad yang kuat dan rasa penyesalan yang mendalam.
Reina mengangguk pada Helena, kemudian kembali menatap makam ibunya. Ada sedikit senyum yang terukir di bibirnya, sebuah senyum yang memaksa namun menunjukkan rasa syukur dan harapan.
"Mama... aku pergi dulu ya... Aku janji akan selalu membersihkan kuburanmu... Dan doakan kami semua ya..." suaranya semakin lirih, menunjukkan betapa beratnya perpisahan itu.
Mereka semua berdiri, meninggalkan makam Hasane Ina. Langkah mereka pasti, menunjukkan tekad yang kuat untuk melanjutkan hidup dan menyelesaikan misi yang telah mereka emban. Mereka pergi menjauh, meninggalkan pemakaman yang sunyi dan tenang, membawa kesedihan dan harapan di hati mereka. Matahari semakin meninggi, menciptakan cahaya yang lebih terang, mengusir kegelapan yang sempat menyelimuti pemakaman, menandakan sebuah awal yang baru bagi mereka semua. Aroma tanah basah masih tercium samar-samar, mengingatkan mereka pada kenangan yang telah berlalu, dan juga harapan untuk masa depan yang lebih baik.